-->

Konsep Khalifah di Muka Bumi

Post a Comment

Makalah Konsep Khalifah di Muka Bumi

KATA  PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt yang telah membuat manusia dengan sebaik-baik ciptaan. shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang telah membimbing insan kepada cahaya Illahi, dan kepada keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti ajarannya.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi Tugas Tafsir Tarbawi yang sekaligus pengamalan ilmu ihwal Konsep Khalifah Di Muka Bumi. Dan Alhamdulillah berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunia Tuhan SWT serta do’a dan dorongan semua pihak, kami sanggup menuntaskan makalah ini. Dari itu kami ucapkan terima kasih yang  sebesar-besarnya.
Karya ini kami persembahkan khusus untuk Dosen kami, dan umumnya untuk teman-teman semuanya. Semoga perjuangan yang amat sederhana ini sanggup membawa manfaat bagi semuanya dan menjadi amal jariyah kami dan keluarga di Hari kemudian. Kritik dan saran selalu kami nantikan, demi perbaikan di masa yang akan datang. Karena insan tidak ada yang sempurna, hanya Tuhan yang mempunyai kesempurnaan dan Maha segalanya. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


            ALLAH SWT membuat alam semesta dan memilih fungsi-fungsi dari  setiap elemen alam ini. Mata hari punya fungsi, bumi punya fungsi, udara punya fungsi, begitulah seterusnya; bintang-bintang, awan, api, air, tumbuh-tumbuhan dan seterusnya hingga makhluk yang paling kecil masing-masing mempunyai fungsi dalam kehidupan. Pertanyaan kita ialah apa bergotong-royong fungsi insan dalam pentas kehidupan ini? Apakah sama fungsinya dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan? atau mempunyai fungsi yang lebih istimewa ?


Agama Islam mengajarkan bahwa insan mempunyai dua predikat, yaitu sebagai hamba Tuhan (`abdullah) dan sebagai wakil Tuhan (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah, insan ialah kecil dan tak mempunyai kekuasaan. Oleh alasannya itu, tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi sebagai khalifatullah, insan diberi fungsi sangat besar, alasannya Tuhan Maha Besar maka insan sebagai wakil-Nya di muka bumi mempunyai tanggung jawab dan otoritas yang sangat besar.

Sebagai khalifah, insan diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan umat manusia, alasannya alam semesta memang diciptakan Tuhan untuk manusia. Sebagai wakil Tuhan insan juga diberi otoritas ketuhanan; membuatkan rahmat Tuhan, menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, menegakkan keadilan, dan bahkan diberi otoritas untuk menghukum mati manusia. Sebagai hamba insan ialah kecil, tetapi sebagai khalifah Allah, insan mempunyai fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh alasannya itu, insan dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai bagi insan untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah dibanding binatang.

B.     Rumusan Masalah
1.    Pengertian Khalifah
2.    Fungsi Khalifah
3.      Implikasi Konsep Khalifah Terhadap Pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Khalifah
Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam Al-Quran, yaitu dalam Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26. Ada dua bentuk plural yang digunakan oleh Al-Quran, yaitu:
a.     Khalaif yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah Al-An'am 165, Yunus 14, 73, dan Fathir 39.
b.      Khulafa' terulang sebanyak tiga kali pada surah-surah. Al-A'raf 7:69, 74, dan Al-Naml 27:62.
Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafa' yang pada mulanya berarti "di belakang". Dari sini, kata khalifah seringkali diartikan sebagai "pengganti" (karena yang menggantikan selalu berada atau tiba di belakang, sehabis yang digantikannya).
Pengertian khalifah kalau dilihat dari akar katanya berasal dari kata khalafa, yang berarti di belakang atau menggantikan kawasan seseorang sepeninggalnya (karena yang menggantikan selalu berada atau tiba di belakang, sehabis yang digantikannya), alasannya itu kata khalif atau khalifah berarti seorang pengganti. Al-Raghib al-Isfahani menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya[1].  Lebih lanjut, Al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan tersebut sanggup terealisasi akhir ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan orang yang digantikan, dan sanggup juga akhir penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan. Kata al-khalifah juga memiliki arti al-imârat yaitu kepemimpinan, atau alsulthân yaitu kekuasaan[2].

Dalam tafsir al-Razi diterangkan bahwa alkhalifah adalah orang yang menggantikan orang lain dan ia menempati kawasan serta kedudukannya. Bentuk jamak al-khalifah ialah khala’if dan khulafa’. Seorang khalifah ialah orang yang menggantikan orang lain, menggantikan kedudukannya, kepemimpinannya atau kekuasaannya. al-Razi mencantumkan perbedaan pendapat ihwal siapa yang dimaksud dengan khalifah pada ayat tersebut. Ada yang menyatakan Adam berdasarkan info perusakan yang akan dilakukan (anak cucunya). Makara yang akan merusak bukan Adam. Disamping itu, Adam juga khalifah alasannya menggantikan Tuhan dalam memutus hukum. Tetapi ada pula yang menyatakan yang dimaksud ialah anak cucu Adam, alasannya Adam menjadi khalifah bagi bangsa jin yang mendahuluinya. Disamping itu, yang dimaksud dengan khalifah
adalah anak cucu Adam yang menggantikan sesama mereka[3]
Pada dasarnya, berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 30, kekhalifahan manusia mempunyai tiga unsur yang saling bekerjasama satu sama lain, dan ditambahkan unsur keempat yang berada di luar namun sangat memilih arti kekhalifahan berdasarkan Al-Qur’an. 1) manusia, yang kemudian dinamai khalifah; 2) alam raya; 3) kekerabatan antara insan dengan alam dan segala isinya, termasuk dengan manusia[4]. Hubungan di antara ketiganya tidak akan berarti bila tidak disertai dengan yang berada di luar yaitu yang memberi penugasan, yakni Tuhan Swt. Dialah yang memberi penugasan itu dan dengan demikian yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya[5].
Oleh alasannya itu, bila manusia sebagai khalifah menyadari arti kekhalifahannya sebagai yang ditugasi oleh Tuhan Swt, maka tidak perlu adanya kekuatiran terhadap perlakuan sewenang-wenang dari khalifah yang diangkat Tuhan itu. Karena, Tuhan sendiri memerintahkan kepada para khalifah-Nya untuk selalu bermusyawarah serta berlaku adil.
Mengutip pendapatnya Musa Asy’arie, menurutnya bahwa tugas seorang khalifah, sebagai pengganti yang memegang kepemimpinan dan kekuasaan, intinya mengandung implikasi moral, alasannya kepemimpinan dan kekuasaan yang dimiliki seorang khalifah sanggup disalahgunakan untuk kepentingan mengejar kepuasan hawa nafsunya, atau sebaliknya juga sanggup digunakan untuk kepentingan membuat kesejahteraan hidup bersama. Oleh alasannya itu, kepemimpinan dan kekuasaan insan harus tetap diletakan dalam kerangka eksistensi insan yang bersifat sementara, sehingga sanggup dihindari dari kecenderungan pemutlakan kepemimpinan atau kekuasaan, yang balasannya sanggup merusak tatanan dan harmoni kehidupan[6].


Selain itu kekuasaan seorang khalifah intinya tidaklah bersifat mutlak, alasannya kekuasaannya dibatasi oleh pemberi mandat kekhalifahan, yaitu Tuhan. Dan sebagai pemegang mandat Tuhan, seorang khalifah tidak diperbolehkan melawan aturan hukum yang ditetapkan Tuhan.
Selanjutnya terdapat pula persyaratan yang bersifat teknis dan keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang yang menjadi khalifah. Hal ini sanggup dilihat dari arahan yang terkandung dalam surat al Baqarah ayat 30 dan 31. Pada ayat ayat tersebut dijelaskan bahwa nabi Adam setelah di angkat sebagai khalifah dimuka bumi ia kemudian diberikan pengajaran. Ini mengisyaratkan bahwa seorang khalifah perlu mempunyai pengetahuan, ketrampilan, mental yang remaja serta pendidikan pada umumnya. Kemampuan lebih yang dimiliki nabi Adam yang digambarkan dengan kemampuanya mendapatkan pelajaran ihwal nama nama benda dan kemampuanya mengungkapkan nama-nama tersebut dihadapan malaikat, yang keseluruhannya ini sanggup diartikan sebagai kemampuan yang bersifat konseptual, justru menjadi salah satu modal yang melandasi nabi Adam ‘alaihi al-salam sebagai khalifah. Dengan kata lain, alasannya nabi Adam AS. mempunyai kemampuan yang bersifat konseptual yang dihasilkan melalui pendidikan itulah yang menjadi kunci kesuksesannya sebagai khalifah. Ini artinya bahwa sebagai seorang khalifah perlu mempunyai pendidikan yang cukup.
Sejalan dengan uraian tersebut di atas, Hasan Langgulung mengatakan, bahwa insan yang dianggap sebagai khalifah Tuhan tidak sanggup memegang tanggungjawab sebagai khalifah kecuali kalau ia diperlengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkannya berbuat demikian[7].


Lebih lanjut Langgulung menyampaikan bahwa al-Qur’an menyatakan adanya beberapa ciri yang dimiliki insan untuk bisa melaksanakan fungsi kekhalifahannya itu, ciri ciri tersebut antara lain dari segi fitrahnya yang baik dari semenjak awal. Ia tidak mewarisi dosa alasannya Adam as. Meninggalkan surga. Ciri lainnya ialah yang bersifat fisik. Al- Qur’an mengakui kebutuhan-kebutuhan biologikal yang menuntut pemuasan. Hal ini pada tahap selanjutnya memerlukan klarifikasi ihwal syarat-syarat yang mengakibatkan kebutuhan biologikal ini mungkin sanggup berdampingan dengan fitrah yang baik itu. Keduanya tanpa mengakibatkan masalah. Kedua hal inilah yang mendukung kiprah kekhalifahan manusia.
Menurut Musa Asy’arie, kiprah kekhalifahan yang diemban alasannya insan dipandang mempunyai kemampuan konseptual dengan tabiat keharusan eksperimen berkesinambungan hingga memperlihatkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup di muka bumi[8]. Dalam hal ini, Syahminan Zaini, menyatakan bahwa sebagai khalifah dan hamba Allah, insan berkewajiban mensyukuri segala nikmat itu dengan kehendak Sang Pemberi Nikmat, yakni dengan berupaya kreatif, memakmurkan bumi, dan membudidayakan alam.[9]
Tugas insan ini intinya secara implisit menggambarkan pandangan Islam yang memandang insan dengan pandangan yang positif dan konstruktif.[10] Dalam Islam, insan tidak hanya ditempatkan sebagai penggalan sistematik dari realitas alam, lebih jauh Islam menuntut kiprah kreatif insan untuk mengelola alam sebagai sumber daya material (material resource) sebagai pengejawantahan kiprah kemanusiaannya di muka bumi.

B.     Fungsi Khalifah

Pada  dasarnya,  akhlak  yang  diajarkan   Alquran   terhadap lingkungan bersumber dari fungi insan sebagai khalifah. Kekhalifahan  menuntut  adanya interaksi antara insan dengan sesamanya dan insan terhadap alam. Kekhalifahan  mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, biar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam  pandangan  akhlak Islam,  seseorang  tidak  dibenarkan mengambil  buah  sebelum  matang,  atau memetik bunga sebelum mekar, alasannya hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.

Ini  berarti insan dituntut untuk bisa menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua  proses yang sedang  terjadi. Yang demikian mengantarkan insan bertanggung jawab, sehingga  ia tidak melaksanakan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri insan sendiri.” Binatang, tumbuhan,  dan benda-benda  tak  bernyawa  semuanya diciptakan  oleh Tuhan Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua mempunyai ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya ialah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara masuk akal dan baik.


Karena itu dalam Alquran ditegaskan bahwa :
Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan  burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan  umat-umat (juga)  menyerupai manusia...”  (QS. Al-An’am  [6] : 38)


Bahwa semuanya ialah milik Allah, mengantarkan insan kepada kesadaran  bahwa  apapun  yang  berada  di  dalam  genggaman tangannya,   tidak lain   kecuali    amanat    yang    harus dipertanggungjawabkan. “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin yang berhembus di udara,  dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawabannya, insan menyangkut pemeliharaan  dan pemanfaatannya”, demikian   kandungan  penjelasan  Nabi  Saw. ihwal firman-Nya dalam Alquran

Kemudian kau niscaya akan ditanyai pada hari itu ihwal kemikmatan (yang  kamu  peroleh).” (At-Takatsur, [102]:  8)

Dengan demikian  manusia bukan  saja  dituntut  agar tidak  alpa  dan arogan terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang bergotong-royong dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.


Kami tidak membuat langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu yang ditentukan” (QS Al-Ahqaf [46]: 3).



Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan  kepentingan  diri  sendiri,  kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus  berpikir  dan bersikap  demi  kemaslahatan  semua pihak.  Ia  tidak  boleh bersikap  sebagai penakluk alam  atau  berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang,  istilah  penaklukan  alam tidak dikenal dalam anutan Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani  yang beranggapan bahwa  benda-benda  alam  merupakan dewa-dewa yang memusuhi  insan sehingga harus ditaklukkan.


Yang menundukkan alam berdasarkan Alquran ialah  Allah.  Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.


Mahasuci Tuhan yang menjadikan (binatang) ini gampang bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 13)

Jika demikian, insan tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya  tunduk  kepada  Allah, sehingga mereka harus sanggup bersahabat. Aquran menekankan biar umat Islam meneladani Nabi Muhammad Saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk membuatkan rahmat itu, Nabi Muhammad Saw. bahkan memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. “Nama” memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk erat dengan pemilik nama.

Ini berarti bahwa insan sanggup memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada ketika yang sama, manusia tidak  boleh  tunduk  dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Tuhan untuknya, berapa pun harga benda-benda  itu. Ia dihentikan diperbudak  oleh benda-benda  itu. Ia dihentikan diperbudak oleh benda-benda sehingga  mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apapun  asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di alam abadi kelak.

C.    Implikasi Konsep Khalifah Terhadap Pendidikan 

Masih berbicara khalifah, di samping insan berfungsi sebagai khalifah, juga bertugas untuk mengabdi kepada Tuhan sebagaimana dalam surat  Az-Zariyatayat 56. Dengan demikian insan itu mempunyai fungsi ganda, sebagai khalifah dan sekaligus sebagai ‘abd. Fungsi sebagai khalifah tertuju kepada pemegang amanah Tuhan untuk penguasaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pelestarian alam raya yang berujung kepada pemakmurannya. Fungsi ‘abd bertuju kepada penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah.


Untuk terciptanya kedua fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri langsung muslim, maka diharapkan konsep pendidikan yang komprehensif yang sanggup mengantarkan langsung muslim kepada tujuan simpulan pendidikan yang ingin dicapai. Agar penerima didik sanggup mencapai tujuan simpulan (ultimate aim) pendidikan Islam, maka diharapkan konsep pendidikan yang komprehensif yang sanggup mengantarkan langsung muslim kepada tujuan simpulan pendidikan yang ingin dicapai. 

Agar penerima didik sanggup mencapai tujuan simpulan (ultimate aim) pendidikan Islam, maka suatu permasalahan pokok yang sangat perlu menerima perhatian ialah penyusunan rancangan aktivitas pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum. Pengertian kurikulum ialah segala kegiatan dan pengalaman pendidikan yang dirancang dan diselenggarakannya oleh forum pendidikan bagi penerima didiknya, baik di dalam maupun di luar sekolah dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Berpedoman ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin dicapai, maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu:
1.    Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
2.    Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia)
3.    Tercapainya tujuan hablum minal’alam (hubungan dengan alam)


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Sebagai khalifah, insan diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan ummat manusia, alasannya alam semesta memang diciptakan Tuhan untuk manusia. Sebagai hamba insan ialah kecil, tetapi sebagai khalifah Allah, insan mempunyai fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh alasannya itu, insan dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai bagi insan untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah dibanding binatang.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Raghib al-Isfahani, Mufradat Gharîb al-Qur’ân, (Mesir: Al-Halabi, 1961),
Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir al-Kabîr, (Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1985), Jilid I,
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989),
Ibn Manzur, Lisân al-’Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969), Juz X
Muhammad Baqir al-Shadr dalam al-Sunan al-Tarîkhiyyat fi al-Qur’ân seperti dikutip M. Quraish Shihab,  Membumikan Al-Qur’an.,
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dar al- Ma’rifah, tth.), Jilid 1,
Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: LSIF, 1992),
Syahminan Zaini, Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984),
Tobroni dan Samsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI Press, 1994), 


[1] Al-Raghib al-Isfahani, Mufradat Gharîb al-Qur’ân, (Mesir: Al-Halabi, 1961), h. 156-157
[2] Ibn Manzur, Lisân al-’Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969), Juz X, h. 430
[3] Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir al-Kabîr, (Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1985), Jilid I, h.180-181
[4] Menarik pendapat al-Ustadz Muhammad ‘Abduh yang menganggap ayat-ayat yang berkaitan dengan kekhilafahan insan khususnya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30 termasuk ke dalam ayat mutasyabihat yang mustahil memahaminya berdasarkan zhahir ayat. Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dar al- Ma’rifah, tth.), Jilid 1, h. 251
[5] Muhammad Baqir al-Shadr dalam al-Sunan al-Tarîkhiyyat fi al-Qur’ân seperti dikutip M. Quraish Shihab,  Membumikan Al-Qur’an.,h. 158
[6] Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: LSIF, 1992), h. 38
[7] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), h. 57.
[8] Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: LSIF, 1992), h. 43.
[9] Syahminan Zaini, Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), h. 86.
[10] Tobroni dan Samsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI Press, 1994), h. 53

Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter