-->

Filsafat Manusia

Post a Comment

Manusia Sebagai Makhluk yang Berkehendak, Berakal, Bereksistensi, Fenomenal, Terkungkung Oleh Struktur, Memiliki Simbol dan Transenden


BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang


Filsafat Schopenhauer (1788-1860) yang sangat menarik dan kontrofersial, khususnya tentang (hakikat) manusia, dan lebih khusus lagi tentang kehendak, cinta, jenius, perempuan, dan perkawinan. Tidak seperti nama-nama filsuf barat lainnya, di dalam dunia intelektual di negeri kita (indonesia) nama dan filsafat Schopenhauer kurang dikenal secara luas. Padahal filsafat schopenhauer tidak kalah menariknya dari pemikiran-pemikiran para filsuf barat modern lainnya. Seperti halnya psikoanalisis Freud dalam disiplin psikologi dan psikiatri, filsafat Schopenhauer mampu mengajak kita untuk memikirkan atau merenungkan ruang-ruang gelap hidup kita yang tidak selamanya jelas.


Digambarkan oleh Spigelberg tentang bagaimana petualangan Sartre itu pada dasarnya di dorong oleh obsesinya untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan “apakah manusia itu?”, yang menurutnya selalu berada dalam konflik eksistensial antara ada dan tiada, antara pesona benda dan kecemasan terhadap kebebasan.


Gagasan-gagasan strukturalisme yang dikemukakan oleh lima orang strukturalis terkemuka Perancis : Levi-Strauss, Barthes, Foucault, Lacan, dan Derrida. Salah satu kesamaan pandangan dari kelima Strukturalis itu yakni pandangannya tentang manusia sebagai makhluk yang terkungkung di dalam struktur atau system, terutama struktur atau system bahasa dan kuasa simbolik. Disebabkan oleh Struktur atau system tersebut, para strukturalis menolak dominasi ego, kesadaran, individu, kemauan bebas, humanisme, sebagaimana yang doikemukakan, misalnya oleh filsafat-filsafat eksistensialisme dan rasionalisme.


B.    Rumusan Masalah


Bagaimana pengertian manusia sebagai makhluk yang berkehendak, berakal, bereksistensi, fenomenal, terkungkung oleh struktur, memiliki symbol dan transenden ?


C.    Tujuan penuliasan


Mengetahui penjelasan tentang manusia sebgai makhluk yang berkehendak, berakal, bereksistensi, fenomenal, terkungkung oleh struktur, memiliki symbol dan transenden.



BAB II

PEMBAHASAN


1.    Kehendak Manusia


    Schopenhaur menganjurkan kita untuk memulai berfilsafat secara langsung. Yakni dari diri kita sendiri, dan bukan dari objek luar (materi). “Kita tidak pernah bisa sampai pada hakikat benda-benda dari ketiadaaan. Semakin kita menyelidikinya, semakin kita sadar bahwa kita tidak mungkin mencapai sesuatu pun selain citra-citra dan nama-nama. Kita seperti seorang manusia yang berputar-putar secara sia-sia mengelilingi sebuah benteng untuk mencari pintu gerbang. Namun, karena pintu itu tidak ditemukan, maka kita lali membuat sketsa pada bagian mukanya. Oleh sebab itu, marilah kita masuk saja ke dalam. Kalau kita mampu menemukan hakikat jiwa kita sendiri, kita mungkin akan mempunyai kunci untuk membuka pintu dunia luar.”


DUNIA SEBAGAI KEHENDAK


a.    Kehendak Untuk Hidup


Hampir tanpa kecuali, semua filsuf sebelum Schopenhauer memandang kesadaran atau intelek atau rasio sebagai hakikat jiwa. Manusia disebut hewan  yang berakal, sebagai animale rationale. Schopenhauer mengkritik anggapan tersebut. Kesadaran dan intelek pada dasarnya hanya merupakan permukaan jiwa kita. Seperti dulu banyak orang tidak mengetahui hakikat bumi kecuali permukaannya, demikian pula para filsuf sampai sekaranng baru mengetahui permukaan jiwa, yakni intelek atau kesadaran, tetapi tidak mengetahui hakikat yang sesungguhnya.


Di bawah intelek sesungguhnya terdapat kehendak yang tidak sadar, suatudaya atau kekuatan hidup yang abadi, suatu kehendak dari keinginan yang kuat. Intelek kadang-kadang memang  mengendalikan kehendak, tetapi hanya sebagai pembantu yang mengantar tuannya. “Kehendak adlah orang kuat yang buta menggendong prang lumpuh yang intelek.” Kita tidak menginginkan sebua benda karena kita mempunyai rasional karena kita menginginkan benda itu. Untuk kemenangan-kemenangan yang telah diraih, kita mempunyai ingatan yang cukup panjang; tapi untuk kegagalan-kegagalan yang telah menimpa kita, dengan segera kita lupakan. Orang yang paling bodohpun akan cepat mengerti kalau objeknya merupakan objek yang dinginkannya. Pendek kata, intelek adalah alat keinginan. Kalau intelek menggantikan keinginan, maka akan timbullah kebingungan. Tidak ada yang lebih mudah mendapat kekeliruan daripada orang yang bertindak berdasarkan pada refleksi.” Intelek dirancang hanya untuk mengetahui hal-hal yang bersangkut-paut dengan kehendak. “ Kehendak adalah satu-satunya unsur yang permanen dan tidak dapat berubah di dalam jiwa. Kehendak merupakan pemersatu kesadaran, pemersatu ide-ide dan pemikiran-pemikiran. Kehendak adalah pusat organ pikiran.”


Karakter atau watak merupakan kontinuitas tujuan dan sikap, dan ia terletak  Di dalam kehendak, bukan di dalam intelek. Bahasa sehari-hari dengan tepat menunjukkan pada hati dan bukan pada kepala. Bahasa sehari-hari tahu betul (karena ia tidak merasionalisasikan), bahwa “kehendak baik” lebih mendalam dan lebih dapat dipercaya dari pada “pikiran yang jernih”. Semua agama menjanjikan ganjaran untuk keungggulan kehendak atau hati, tapi tidak untuk keunggulan kepala atau intelek.”


Tubuh pun merupakan hasil dari kehendak. Darah yang didorong oleh kehendak (dan biasanya kita namakan “kehidupan”), membangun salurannya sendiri dengan lekukan-lekukan tersebut lama kelamaan menjadi pembuluh darah dan urat-urat darah halus. Kehendak untuk mengetahui membangun otak, seperti halnya kehendak untuk menggenggam membuat tangan, atau sama persis dengan kehendak untuk makan membuat (saluran) pencernaan. Pasangan-pasangan tersebut bentubentuk kehendak dan bentuk-bentuk daging tubuh adalah dua sisi dari satu proses dan realitas. Relasi yang paling jelas tampak dalam emosi, perasaan dan perubahan-perubahan tubuh secara internal membentuk satu kesatuan yang kompleks.


b.    Kehendak Untuk Reproduksi


Setiap organisme yang normal, pada saat mencapai tingkat dewasa, segera mengorbankan dirinya untuk menjalankan reproduksi. Reproduksi adlah tujuan utama, dan naluri yang paling kuat, dari setiap organisme, karena hanya dengan cara itu kehendak menaklukkan kematian. Dan untuk menjamin penaklukkan atas kematian tersebut, kehendak untuk bereproduksi mengatasi kontrol pengetahuan dan refleksi.


Kehendak tidak memerlukan pengetahuan, ia bekerja dalam kegelapan, karena pada dasarnya ia tidak sadar. Dengan demiikian, organ-organ reprodukktif sesungguhnya merupakan titik pusat dari kehendak, dan membentuk kutub yang berlawanan dengan otak, yang diwakili oleh pengetahuan. Kehendak adalah prinsip yang menopang kehidupan.


Hukum daya tarik seksul adlah bahwa pemilihan pasngan hidup sebagian besar ditentukan oleh kecocokan di antara orang yang berpasangan untuk beranak-pinak. Setiap orang mencari pasangan yang kira-kira dapat menetralisir segala kekurangannya. Setiap orang secara khusus mengagumi keindahan orang lain yang ia sendiri tidak memilikinys. Manusia akan kehilangan daya tarik seksual atas lawan jenisnya, kalau lawan jenisnya itu sudah melewati masa beranak-pinak (moopause). Dalam banyak kasus, jatuh bukanlah masalah hubungan cinta timbal-balik antara dua manusia. Masalah pokoknya adalah adanya keinginan untuk memiliki apa yang tidak mereka punyai.


KEHENDAK SEBAGAI KEJAHATAN


Jika dunia merupakan kehendak, maka dunia adalah dunia penderitaan. Alasannya, kehendak mengisyaratkan keinginan, dan apa yang diinginkan selalu lebih besar dan lebih banyak daripada apa yang diperoleh. Keinginan selalu berhingga, sedangkan pemenuhannya selalu terbatas. Sepanjang kesadaran kita penuh dengan kehendak, sepanjang kita terperangkap oleh keinginan-keinginan kita, sepanjang kit tunduk pada kehendak kita, maka kita tidak akan pernah mempunyai kebahagiaan atau kedamaian abadi. Pemenuhan tidak pernah memuaskan. Nafsu-nafsu yang terlampiaskan lebih sering membawa ketidak bahagiaan. Tuntutan nafsu sering bertentangan dengan kesejahteraan pribadi kita, sehingga tuntutan-tuntutan tersebut justru membuat pribadi kita lemah.


    Hidup adalahb kejahatan karena yang menstimulasi hidup tidak lain adalah rasa sakit, sedangkan perasaan senang hanya merupakan tempat pemberhentian negatif dari rasa sakit. Aristoteles benar ketika ia berkata : “Orang bijaksana tidak mencari kesenangan, melainkan berupaya menciptakan keadaan yang bebas dari rasa sakit dan duka.


    Hidup adalah kejahatan, karena semakin tinggi organisme, semakin besar pula penderitaan. Bertambahnya pengetahuan bukan berarti bebas dari penderitaan, melainkan justru memperbesar penderitaan. Dengan demikian, setelah pengetahuan bertambah, setelah kesadaran  meningkat, maka rasa sakitpun meningkat pula, dan mencapai tingkat tertinggi pada manusia. Kemudia, semakin manusia banyak mengetahui semakin ia cerdas maka semakin ia lebih merasa sakit, manusia yang berbakat jenius adalah manusia yang paling menderita. Oleh sebab itu, orang-orangyang berusaha meningkatkan pengetahuannya, sama artinya dengan meningkatkan penderitaannya. Hidup adalah penderitaan, karena hidup adalah peperangan. Di mana-mana menyaksikan kekerasan, pertwntangan, kompetisi, konflik, dan perjuangan antara hidup dan mati. Setiap spesies bertarung, bahkan dengan cara melawan dirinya sendiri, untuk memperebutkan materi, ruang, dan waktu.


2.    Perkembangan akal Budi Manusia


Istilah positivisme paling tidak mengacu pada dua hal berikut : pada teori pengetahuan (epistemologi) dan pada teori tentang perkembangan sejarah (akal budi) manusia. Sebagai teori perkembangan sejarah manusia, istilah positivisme identik dengan tesis Comte sendiri mengenai tahap-tahap perkembangan akal budi manusia, yang secara linier bergerak dalam urut-urutan yang tidak terputus. Perkembangan itu bermula dari tahap mistis atau teologis ke tahap metafisis, dan berakhir pada tahapan yang paling tinggi.


Tahap-tahap perkembangan akal budi manusia


a.    Tahap teologis


Tahap ini merupakan tahap awal dari perkembangan akal manusia. Pada tahap ini manusia berusaha menerangkan segenap fakta/kejadian dalam kaitannya dengan teka-teki alam yang dianggapnya berupa misteri. Tahap perkembangan ini bias kita jumpai, misalnya pada manusia-manusia purba. Alam semesta, oleh mereka, dimengertisebagai keseluruhan yang integral yang terdiri dari makhluk-makhluk yang mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara dengan mereka. Dalam tahap teologis ini terdapat beberapa bentuk atau cara berfikir.


Bentuk yang pertama adalah fetiyisme dan animisme. Dalam kedua bentuk berfikir ini, kita bias menyaksikan bagaimana manusia menghayati alam semesta dalam individualitas dan partikularitasnya. Bentuk yang kedua adalah politeisme.


Cara berfikir ini lebih maju daripada berfikir yang pertama, karena sudah tampak adanya sejenis klasifikasi atas dasar kesamaan dan kemiripan. Individualitas dan partikularitas benda atau kejadian diganti oleh kelas-kelas benda atau kejadian, dan kemudian diekspresikan dalam bentuk konsep-konsep umum dan abstrak.


Cara berfikir yang lebih maju lagi adalah monoteisme. Cara berfikir ini tidak lagi mengakui adanya banyak roh (dewa) dari benda-benda dan kejadian-kejadian, tetapi hanya mengakui satu roh saja, yakni Tuhan. Cara berfikir ini membawa pengaruh yang besar pada kehidupan social, budaya, dan pemerintahan, monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama.


b.    Tahap metafisis


Pada tahap ini manusia mulai mengadakan perombakan atas cara berfikir yang lama, yang dianggapnya tidak sanggup memenuhi keinginan manusia, untuk menemukan jawaban yang memuaskan tentang kejadian alam semesta. Pada tahap ini semua gejala dan kejadian tidak lagi diterangkan dalam hubungannya dengan kekuatan yang bersifat supranatural atau rohani. Manusia pada tahap ini berusa keras untuk mencari hakikat atau esensi dari segala sesuatu. Untuk tujuan itu, dogma-dogma sudah mulai ditinggalkan dan kemampuan akal budi mulai dikembangkan. Manusia mulai mengerti bahwa irrasionalitas harus disingkirkan, sedangkan analisis pikir perlu dikembangbiakkan.


c.    Tahap positif


Pada tahap positif, gejala dan kejadian alam dijelaskan berdasarkan pada observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti. Akal tidak diarahkan untuk mencari kekuatan-kekuatan yang bersifat transenden dibalik atau, hakikat (esensi) didalam setiap gejala dan kejadian. Akal pun tidak lagi berorientasi pada pencarian sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan. Mulai sekarang, akal mencoba mengobsevasi gejala dan kejadian seacara empiris dan hati-hati untuk menemukan hukum-hukum yang mengatur (yang menjadi sebab musabab timbulnya) gejala dan kejadian itu. Hukum-hukum yang ditemukan secara demikian tidak bersifat irrasional atau kabur, melainkan nyata dan jelas karena sumbernya diperoleh secara langsung dari gejala-gejala dan kejadian-kejadian positif, yang dapat dialami oleh setiap orang. Hukum-hukum ini pun bersifat praktis dan bermanfaat, maka kita dapat mengontrol dan memanipulasi gejala-gejala dan kejadian-kejadian tertentu sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan dimasa depan yang lebih baik.


3.    Eksistensi Manusia Sebagai Individu


Sikap objektif ilmu pengetahuan yang menganjurkan kita untuk menjadi pengamat bisu atau penonton objektif, dilandasi oleh keyakinannya bahwa manusia pada prinsipnya bukan makhluk yang melulu rasional, atau “hantu” tanpa kehendak dan perasaan, melainkan makhluk yang merasa dan menghendaki secara bebas. Sikap “ideal” dan “objektif”, menuruut penilaian kierkegaard, mengandaikan dominasi intelek (rasio) manusia atas kehendak bebas dan afeksi manusia. Pada kenyataannya, segenap tindakan dan peristiwa manusia tidak melulu didasarkan pada rasio (intelek), tapi juga pada pilihan bebas dan emosi spontannya. pilihan dan pertimbangan-pertimbangan yang tidak rasional. Dengan perkataan lain, manusia bukan makhluk yang murni rasional, atau yang mampu menjadi pengamat objektif, atau sanggup mengambil jarak dari segala kejadian, tetapi makhluk yang mempunyai pertimbangan emosional dan praktis (in action). Adanya keterlibatan dan komitmen pada manusia, yang memungkinkan manusia menjadi aktor dalam panggung kehidupan yang maha luas ini, terutama disebabkan oleh afeksi dan kehendak bebasnya.


    Pandangan Kiergaard tentang peran kehendak bebas berhubungan erat dengan masalah kebebasan manusia. Ia mempunyai pandangan yang khas eksistensialis, bahwa manusia pada prinsipnya adalah individu dan individu adalah idnetik dengan kebebasan. Setiap manusia setiap individu mengkonstitusikan (menciptakan) diri dan dunianya melalui suatu pilihan bebas, yang dipilih dan diputuskan sendiri oleh manusia individu itu sendiri. Terlepas, misalnya, dari tuntutan keluarga yang otoriter, dari sistem politik yang represif ataupun dari sistem sosial budaya yang ketat dan kaku, eksistensi aktual seorang individu adalah eksistensi yang bersumber dari suatu inti, yakni eksistensi dirinya. Realitas dari luar dirinya boleh mempunyai kekuatan yang memaksa individu atau mempunyai pengaruh besar atas individu itu, tetapi sumber keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, terletak pada diri individu itu sendiri. Individu itulah yang menjadi kata kunci atau penentu dalam mengatakan “ya” atau “tidak” untuk suatu perbuatan tertentu.


    Satu aspek yang melekat pada kebebasan adalah tanggung jawab. Kebebasan dan tanggung jawab merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Tidak bisa dibenarkan seseorang yang mengaku dirinya bebas, tapi tidak mau bertanggung jawab atas kebebasannya itu. Konsekuensi apapun dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu adalah tanggung jawab individu itu. Orang lain bisa saja misalnya mengambil a;ih tanggung jawab itu, tetapi hati nurani si pelaku tidak bisa dibohongi bahwa tanggung jawab yang bersifat pribadi itu tidak bisa digantikan oleh siapapun. Ia, sejauh jujur tentang dirinya, akan menyadari bahwa seharusnya ia sendirilah yang bertanggung jawab atas segenap perbuatannya itu.


    Masalah kebebasan dan tanggung jawab adalah masalah yang fundamental dan krusial. Sumber permasalahan utama eksistensi manusia sesungguhnya terletak pada masalah kebebasan dan tanggung jawab itu. Kebebasan itu, tanggung jawab itu yang selalu diinginkan dan bahkan diperjuangkan oleh hampir setiap manusia, ternyata bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Sebaliknya, kebebasan justru sering mendatangkan persoalan, yakni menimbulkan rasa cemas dan gelisah. Manusia cemas, jangan-jangan dalam menentukan pilihannya itu akan dihadapkan pada akibat-akibat yang tidak menyenangkan, menyakitkan atau membahayakan. Maka dibutuhkan suatu kebijaksanaan tertentu agar kita bisa mengurangi atau meminimalkan resiko seperti itu. Kierkegaard sebenarnya tidak mengajarkan kebijaksanaan. Akan tetapi, belajar dari pengalaman hidupnya yang tragis, dan filsafatnya yang cenderung gelap dan tidak cukup transparan (meski sebetulnya cukup menyakitkan), kita masih bisa menangkap pesan kebijaksanaan itu. Menurut pendapatnya, yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah suatu passion, suatu antusiasme, suatu gairah, suatu semangat dan keyakinan pribadi, yang dilandasi oleh kehendak bebas dan afeksi (emosi). Dibutuhkan suatu greget tertentu dalam setiap sikap dan perbuatan kita. Perjalanan hidup Kierkegaard serta deskripsi filsafat eksistensinya tentang tahap-tahap eksistensi manusia, membuktikan penekanan Kierkegaard tentang hal itu.




TIGA TAHAP EKSISTENSI MANUSIA


a.    Tahap Estetis


Tahap estetis adalah tahap di mana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatka keuntungan . pada tahap ini manusia dikuasai oleh naluri-naluri seksual (libido), oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistik, dan biasanya bertindak menurut suasana hati (mood). Manusia estetis pun adalah manusia yang hidup tanpa jiwa. Ia tidak mempuyai akar dan isi di dalam jiwanya. Kemauannya adalah mengikatkan diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Yang menjadi trend dalam masyarakat menjadi petunjuk hidupnya, dan oleh sebab itu ia ikuti secara saksama. Namun semuanya itu tidak dilandasi oleh passion apapun, selain keinginan untu sekedar mengetahui dan mencoba. Hidupnya tidak mengakar dalam, karena dalam pandangannya, pusat kehidupan ada di dunia luar. Panduan hidup dan moralitasnya ada pada masyarakat dan kecenderungan zamannya.


Manusia estetis adalah manusia yang  pada akhir hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan, karena semakin bnayakbalternatif yang ditawarkan masyarakat dan zamannya. Jalan keluarnya hanya ada dua : bunuh diri (atau bisa juga lari dalam kegilaan) atau masuk dalam tingkatan hidup yang lebih tinggi, yakni tingkatan etis.


b.    Tahap Etis


Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubah pola hidup yang semula estetis menjadi etis. Jiwa individu etis sudah mulai terbentuk, sehingga hidupnya tidak lagi tergantung pada masyarakat dan zamannya. Akar-akar kepribadiannya cukup kuat dan tangguh. Akar kehidupannya ada di dalam dirinya sendiri, dan pedoman hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka dengan berani dan percaya diri, ia akan mampu mengatakan “tidak” pada setiap trend yang tumbuh berkembang dalam masyarakat dan zamannya, sejauh trend itu tidak sesuai dengan “suara hati” dan kepribadiannya. Manusia etis pun akan sanggup menolak tirani atau kuasa dari luar, baik yang brsifat represif maupun nonrepresif, sajauh tirani atau kuasa itu tidak sejalan dengan apa yang diyakininya. Setiap kuasa yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan akan ditentangnya dengan keras.


c.    Tahap Religius


Lompatan dari tahap etis ke tahap religius jauh lebih sulit dan sublim daripada lompatan dari tahap estetis ke tahap etis. Karena, seandainya kita hendak melompat dari tahap estetis ke tahap etis, maka secara rasional kita bisa mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin akan kita hadapi, sedangkan lompatan dari tahap etid ke tahap religius nyaris tanpa pertimbangan-pertimbangan rasional. Tidak dibutuhkan alasan atau pertimbangan rasional dan ilmiah di sini. Yang subjektif diperlukan hanyalah keyakinan subjektif yang berdasarkan iman.


Perbedaan lainnya terletak pada objektivitas dan subjektivitas nilai-nilai. Nilai-nilai kemanusiaan pada tahap etis masih bersifat objektif (universal), sehingga ada rujukan yang bisa diterima, baik secara rasional maupun secara common sense. Sebaliknya, nila-nilai religius bersifat murni subjektif, sehingga seringkali sulit diterima akal sehat. Tidak mengherankan kalau sikap dan perilaku manusia religius sering dicap “tidak masuk akal”, nyentrik, atau bahkan “gila”.


Hidup dalam Tuhan adalah hodup dalam subjektivitas transenden, tanpa rasionalisasi dan tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi atau mundane. Individu yang hendak memilih jalan religius tidak bisa lain kecuali berani menerima subjektivitas transendennya itu, subjektivitas yang hanya mengikuti jalan Tuhan tidak lagi terikat baik pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal (eksistensi etis) maupun pada tuntutan pribadi dan masyarakat atau zaman (tahap estetis).


4.     Fenomenal


Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam sebuah filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutic, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.


Istilah ini diperkenalkan oleh Johan Heinrich Lambert (1728-1777), seorang filsuf  Jerman. Dalam buku Neues Organon (1764). Ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata. Tradisi fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari individu-individu yang ada saling memberikan pengalaman satu sama lain. Yang dilakukan secara kominikasi atau informasi melalui dialog.


Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi tentang manusia. Dalam asumsi ini bahwa manusia aktif memahami dunia di sekelilingnya sebagai pengalaman hidup dan aktif menginterprestasikan pengalaman tersebut. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan.


Fenomenologi menjelaskan bahwa fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran. Fenomenologi emncari pemahaman  seseorang dalam membangun makna dan konsep yang bersifat intersubyektif. Natanson menggunakan istilah fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang menempatkan kesadaran msnusia dan makna subjektifnya sebagai focus untuk memahami tindakan sosial.


 Berdasarkan asumsi ontologies, penggunaan paradigm fenomenologi dalam memahami fenomena atau realitas , yamh akan menempatkan realitas konstruksi sosial kebenaran.


a.    Jenis-jenis tradisi fenomenal


Tradisi dalam fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam sesuatu yang alamiah. Tradisi memandang manusia secara aktif mengintreprestasikan pengalaman manusia sehinhgga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungannya. Titik berat tradisi fenomenologi adalah bagaimana individu menilai serta memberi interpretasi pada pengalaman  subyektifnya. Tradisi fenomenologi adalah sebagai berikut :

    Fenomena klasik, percaya pada kebenaran hanya bias didapatkan melalui pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sedut pandangnya tersendiri.
    Fenomena persepsi, percaya kepada kebenaran yang di dapatkan melalui sudutpandang yang berbeda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bias dikatakan lebih subyektif.
    Fenomenologi hermeneutic, percaya pada suatu kebenaran yang ditinjau baik dari aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan disertai dengan analisis untuk menarik suatu kesimpulan.


b.    Prinsip dasar fenomenologi


Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomena/fenomenologi:


    Pengetahuan ditentukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu sendiri.
    Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Bagaimana kita berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi kita.
    Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.


5.    Manusia sebagai kungkungan struktur


Strukturalisme adalah sebuah metode penyelidikan, suatu cara pendekatan yang khas, dan (seperti yang selalu dibanggalakan oleh para strukturalis) suatu cara penguraian data-data yang tengah diselidiki. Strukturalisme muncul secara tiba-tiba pada tahun 1960-an di Perancis, tapi dasar-dasarnya sudah ada beberapa tahun lebih awal di luar Perancis. Apa yang terjadi di Perancis pada tahun 1960-an adalah bahwa alat kognitif yang menjemukan itu, diubah ke dalam bentuk sebuah slogan “strukturalisme” dan kemudian menjadi sangat menarik dan menggairahkan; untuk pertama kalinya tercipta suatu mode intelektual yang kehilangan rasa keseimbangan. Fakta bahwa strukturalisme berubah nenjadi “strukturalisme”, yang dianggap merong-rong dan sekaligus banyak diperbincangkan, bersumber dari kejengkelan kepada seorang pemikir seperti Levi-Strauss, seorang stukturalis murni, yang percaya bahwa reputasi akademisnya akan terangkat justru kalau ia menentang kehendaknya untuk menjadi pimpinan dari pemujaan intelektual baru. Sejak itu, baik strukturalisme maupun “strukturalisme”, tersebut ke luar Perancis dalam skala kecil dan relative lesu, tapi menghasilkan tidak kurang dari beberapa akibat dan kesalahpahaman. Di satu pihak, ada yang menemukan di dalam strukturalisme suatu wahyu suci, yang dapat membimbing kembali seluruh pendekatan yang rapat dan ketat untuk suatu bidang studi khusus; dan, di lain pihak, ada yang menemukan di  dalam “strukturalisme” suatu slogan ampuh, yang dipakai untuk berlagak di hadapan lawan-lawannya atau lencana keanggotaan suatu persekutuan misterius.


Komitmen levi-strauss terhadap strukturalisme sangat terusterang dan total. Strukturalisme adalah sebuah metode, yang ia percayai sanggup menjadikan data-data empiris tentang institusi-institusi kekerabatan, totenisme-totenisme dan mite-mite lebih dapat dipahami daripada sebelumnya. Pada kenyataannya, strukturalisme melampaui penjelasan dan penguraian data-data belaka, karena dari data-data tersebut ia mengidentifikasikan sifat dasar spesifik dan yunifersal dari pikiran manusia itu sendiri. Kendati demikian, levi-strauss sanggup mengkomunikasikan penemuan-penemuan dan argument-argumennya kepada para pebacanya, sambil berpegang teguh pada konsistensi metodenya, rasionalismenya, dan tentusaja kefasihannya.



6.    Manusia memiliki Simbol dan Transenden


Manusia juga disebut mahkluk trasenden, Pertama manusia secara hakiki adalah manusia terbuka dan karena itu mustahil untuk didefinisikan dan dibatasi. Ada dua hal yang hendak dinyatakan dalam sebutan trasenden yaitu keterbukaan, dia terbuka dan tertuju kepada ada secara keseluruhan. Dalam pengalaman sehari-hari didunia menjadi nyata bahwa dia terbuka mutlak dan bahwa dia juga tidak ditentukan secara mutlak oleh dunia dimana dia hidup.Tradensi merupakan tanda pengenal dari manusia sebagai roh,tradensi merupakan dimensi konstitutif dsri manusia.Apa itu keterbukaan ? Manusia terbuka terhadap segala sesuatu.


Mahluk Religius


    Manusia adalah mahluk religius,dalam arti mereka percaya atau menyembah tuhan . Manusia diciptakan sebagai mahkluk yang sempurna dibandingkan mahkluk lain. Melalui kesempurnaannya manusia itu bisa berfikir, bertindak, berusaha dan bisa menentukanmana yang benar fan salah,di sisi lain manusia memiliki kekuranagan dan keterbatasan, mereka yakin ada kekuatan lain yaitu Tuhan Sang Pencipta alam semesta oleh sebab itu sudah menjadi kodratnya jika mempercayai adanya tuhan. Manusia selalu ongin mencari kesempurnaannya dan kesempurnaannya ada pada tuhan . Hal itu Merupakan fitrah manusia yang  diciptakan untuk beribadah pada tuhan .


    Oleh karena itu manusia diciptakan untuk beribadah,dalam beribadah manusia membutuhkan ilmu melalui pendidikan,dengan pendidikan manusia dapat mengerti bagaimana beribaah kepada tuhan. Melalui pendidikan yang tepat, manusia akan menjadi nahkluk yang daopat mengerti seharusnya yang dilakukan sebagai mahkluk Tuhan





BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan


Manusi diciptakan di dunia ini bersama perangkat akal dan budi yang merupakan pembeda hakikat manusia dengan makhluk lainnya. Dari contoh permasalahan pun bias terlihat bahwa manusia memiliki cita , rasa dan karsa yang menginovasi segala hal agar dapat tercapai kesejahteraan hidup, baik yang bersifat rohani maupun jasmani. Proses ini lah maka lahir apa yang disebut kebudayaan dan pandangan terhadap hidup yang merupakan salah satu faktor pendukung terwujudnya impian seseorang.


B.    Saran


Adapun saran dalam penulisan makalah ini yaitu agar dapat menggunakan makalah ini sebagaimana mestinya sehingga dapat memberikan manfaat yang diharapkan. Dan para pembaca dapat mengetehui penjelasan mengenai manusia sebgai makhluk yang berkehendak, berakal, bereksistensi, fenomenal, terkungkung oleh struktur, memiliki symbol dan transenden tersebut. Mohon maaf apabila terdapat kekurangan dan ketidak sempurnaannya makalah ini.





DAFTAR PUSTAKA


Abidin, Zainal. 2014. Filsafat Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sutriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu (sebuah pengantar populer). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sitohang, Kadsin. 2009. Filsafat Manusia. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Ismail, Farid, Fuad dan Mutawalli Hamid Abdul. 2012. Cara Mudah Belajar Filsafat Barat dan Islam. Diva Press.

Prasetyo, Immanuel. 2013. Dunia Manusia-Manusia Mendunia Buku Ajar Filsafat Manusia. Sidoarjo: Zifatama Publishing

Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter