-->

Makalah Pendidikan Nalar Perspektif Islam

Post a Comment
MAKALAH PENDIDIKAN NALAR PERSPEKTIF ISLAM


PENDIDIKAN AKAL PERSPEKTIF ISLAM



KATA  PENGANTAR


Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, alasannya atas rahmat dan karunia-Nya, kami sanggup menuntaskan makalah yang berjudul “PENDIDIKAN AKAL PERSPEKTIF ISLAM”

Semoga makalah ini sanggup memperlihatkan bantuan positif dan bermakna dalam proses perkuliahan. Dari lubuk hati yang paling dalam, sangat disadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh alasannya itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan.

Terakhir, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menuntaskan makalah ini. Selain itu, kami juga berterima kasih kepada para penulis yang tulisannya kami kutip sebagai materi rujukan.









Pemakalah






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR..........................................................................................          i

DAFTAR ISI..........................................................................................................         ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................         1

A.    Latar Belakang.............................................................................................         2

B.    Rumusan Masalah........................................................................................         2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................         3

A.  Pengertian Akal............................................................................................         3

B.  Pendidikan Akal .........................................................................................         5

C.  Pendidikan Akal Perspektif Islam...............................................................         7

BAB III PENUTUP...............................................................................................       15

A.    Kesimpulan..................................................................................................       15

DAFTAR PUSTAKA



BAB I

PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Akal adl ni’mat besar yg Yang Mahakuasa titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yg bisa disebut hadiah ini memperlihatkan akan kekuasaan Yang Mahakuasa yg sangat menakjubkan. {Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam hal. 5}Oleh karenanya dalam banyak ayat Yang Mahakuasa memberi semangat utk berakal {yakni memakai akalnya} di antaranya:وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ“Dan Dia menundukkan malam dan siang matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan dgn perintah-Nya. Sesungguhnya pada yg demikian itu benar-benar ada gejala bagi kaum yg memahami.” وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yg berdampingan dan kebun-kebun anggur tanaman- tumbuhan dan pohon korma yg bercabang dan yg tidak bercabang disirami dgn air yg sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yg lain perihal rasanya.


B.       Rumusan Masalah

1.      Pengertian Akal

2.      Pendidikan Akal

3.      Pendidikan Akal Perspektif Islam





BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Akal

Kata kecerdikan sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu tiba dalam arti faham dan mengerti. Maka sanggup diambil arti bahwa kecerdikan yaitu peralatan insan yang mempunyai fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.

Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah digunakan dalam arti kecerdasan simpel (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan problem (problem-solving capacity). Orang berakal, berdasarkan pendapatnya yaitu orang yang mempunyai kecakapan untuk menuntaskan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh beropini bahwa kecerdikan adalah: sutu daya yang hanya dimiliki insan dan oleh alasannya itu dialah yang memperbedakan insan dari mahluk lain. Akal banyak mempunyai fungsi dalam kehidupan, antara lain:

1.      Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.

2.      Sebagai alat untuk menemukan solusi saat permasalahan datang.

3.      Sebagai alat untuk mencerna banyak sekali hal dan cara tingkah laris yang benar.

Dan masih banyak lagi fungsi akal, alasannya hakikat dari kecerdikan yaitu sebagai mesin penggagas dalam tubuh yang mengatur dalam banyak sekali hal yang akan dilakukan setiap insan yang akan meninjau baik, jelek dan kesannya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Dan  Akal yaitu jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah tepat kalau tidak didasarkan kecerdikan iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.

Tak ibarat wahyu, kekuatan kecerdikan lebih terlihat terang dan gampang dimengerti, ibarat contoh:

1.      Mengetahui yang kuasa dan sifat-sifatnya.

2.      Mengetahui adanya hidup akhirat.

3.      Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di alam abadi bergantung pada mengenal yang kuasa dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal yang kuasa dan pada perbuatan jahat.

4.      Mengetahui wajibnya insan mengenal tuhan.

5.      Mengetahui wajibnya insan berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat

6.      Membuat hukum-hukum mengnai kwajiban-kwajiban itu.


B.     Pendidikan Akal

Pendidikan kecerdikan yaitu peningkatan pemikiran kecerdikan dan latihan secara teratur untuk berfikir benar, sehingga dia bisa memperbaiki pemikiran perihal imbas yang bermacam-macam dan realita yang banyak yang meliputinya dengan pemikiran yang tepat dan benar, dan sehingga putusannya benar dan tepat atasnya.

Dan metode yang digunakan diantaranya:

a.       Latihan perasaan, supaya cermat dan benar dalam menentukan sesuatu

b.      Pengaturan pikiran dan membekalinya dengan pengetahuan-pengetahuan yang berkhasiat bagi kehidupan dunia dan akhirat

c.       Menguatkan daya intuisi dan melatihnya, alasannya intuisi itu alat yang paling besar bagi daya cipta

d.      Melatih memperhatikan sesuatu yang sanggup diraba/diamati dan memikirkannya berdasarkan hakikatnya

e.     Membiasakan anak berpikir teratur (sistematis) dan menanamkan kecintaan berpikir sistematis itu dengan melatihnya sesuai dengan dalil (axioma) dan hukum.

Untuk itu, perlu ada dua cara/alat, yaitu:

a.       Melatih perasaan anak

b.      Penyampaian ilmu pengetahuan dan fatwa yang bermanfaat yang sesuai dengan umur anak, dengan cara merangsang untuk memikirkannya


C.    Pendidikan Akal Perspektif Islam

Dalam Islam, kecerdikan mempunyai posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berartiakal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam mempunyai aturan untuk menempatkan kecerdikan sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, kecerdikan yang sehat akan selalucocok dengan syariat islam dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Yang Mahakuasa SWT, langsung NabiMuhammad SAW yang memberikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpamengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum ataukhusus.Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu menegakkan aturan berdasarkan kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.[1]

Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, alasannya seiring perkembangan zaman kecerdikan yang semestinya mempercayai wahyu yaitu sebuah anugrah dari Yang Mahakuasa terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Yang Mahakuasa ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan smua itu wahyu. Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa kecerdikan tak sanggup mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula kecerdikan tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan jelek lebih besar dari eksekusi untuk suatu perbuatan jelek yang lain. Semua itu hanya sanggup diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian eksekusi dan upah yang akan diperoleh insan di akhirat.

Karena Masalah kecerdikan dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua kecerdikan dan wahyu itu yang menjadi sumbr pengetahuan insan perihal tuhan, perihal kewajiban insan berterima kasih kepada tuhan, perihal apa yang baik dan yang buruk, serta perihal kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para aliran islam mempunyai pendapat sendiri-sendiri antra lain:[2]

1.      Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, beropini bahwa kecerdikan mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.

2.      Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, menyampaikan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang jelek akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.

3.      Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga beropini bahwa kecerdikan hanya bisa mengetahui yang kuasa sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan jelek serta kewajiban melakukan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui insan berdasarkan wahyu.

4.      Sementara itu aliran maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional beropini bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui yang kuasa dan mengetahui yang baik dan jelek sanggup diketahui dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada yang kuasa serta kewajiban melakukan yang baik serta meninggalkan yang buruk

5.      Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka yaitu surat as-sajdah, surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara perihal siapa yang menjadi hakim atau pembuat aturan sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah beropini pembuat aturan yaitu kecerdikan insan sendiri. dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24.Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut yaitu ayat 15 surat al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.

Dalam menangani hal tersebut banyak beberapa tokoh dengan pendapatnya memaparkan hal-hal yang berafiliasi antara wahyu dan akal. Seperti  Harun Nasution menggugat problem dalam berfikir yang dinilainya sebagai kemunduran umat islam dalam sejarah. Menurut dia yang dibutuhkan yaitu suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat islam yang dinilai dogmatis tersebut, yang mengakibatkan kemunduran umat islam alasannya kurang mengoptimalkan  potensi kecerdikan yang dimiliki. bagi Harun Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan kiprah kecerdikan yang akan menjelaskan dan memahami agama tersebut.

Pendidikan Akal Al-Qur'an merupakan firman Yang Mahakuasa yang diturunkan sebagai hudâ(n) (petunjuk) bagi insan supaya insan bisa hidup sesuai dengan tujuan Yang Mahakuasa menciptakannya. Agar insan bisa memahami dan mengaplikasikan petunjuk dari al-Qur'an tersebut, maka insan (baik individu atau kolektif) harus mengkaji, memahami, menghayati, dan menginternalisasikan ajaran-ajaran al-Qur'an tersebut dalam hati, pikiran, jiwa, dan perilakunya pada seluruh dimensi kehidupannya.

Semua isi al-Qur'an merupakan petunjuk, alasannya setiap huruf, kata, ayat, dan surat mempunyai makna, baik makna leksikal (etimologis), makna grammatikal (terminologis), maupun makna kontekstual. Oleh alasannya itu, memahami al-Qur'an secara komprehensif dan universal harus dilakukan dengan mengkaji keseluruhan al-Qur'an, dan tidak sanggup dilakukan secara parsial atau hanya menitiktekankan pada pemahaman ayat tertentu. Dalam kaitan dengan hal ini, analisis munâsabah (relasi antar banyak sekali struktur al-Qur'an), asbâb al-nuzûl, dan  tafsir maudhû'i memegang peranan penting.

Salah satu tema pokok dalam al-Qur'an yaitu menyangkut hakikat manusia. Pembahasan al-Qur'an ini menjadi penting, alasannya salah satu misi al-Qur'an yaitu menyadarkan mengenai posisi, tugas, dan fungsi insan dalam hubungannya dengan Allah, alam, dan sesama manusia. Selebihnya, al-Qur'an juga memperlihatkan petunjuk dan bimbingannya supaya bisa menjalani kewajiban dan haknya sesuai dengan tata aturan dan tujuan dari penciptaan insan oleh Yang Mahakuasa swt.

Manusia, berdasarkan al-Qur'an, merupakan ciptaan Allah, yang terdiri dari unsur jasmani, akal, dan ruhani.[3] Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sekalipun secara substansial sanggup dibedakan. Dalam proses kehidupan, insan tidak sanggup menanggalkan salah satu dari ketiganya, atau pun hanya memprioritaskan salah satu dari ketiganya. Dengan demikian, ketiga unsur pembentuk insan tersebut mempunyai posisi sama pentingnya, Oleh karenanya ketiganya harus dikembangkan secara seimbang, terintegrasi, dan proporsional[4], supaya insan bisa menjalani kehidupan sebagai khalifah dan 'abd Yang Mahakuasa secara seimbang dan proporsional.[5]

       Salah satu, unsur dari hakikat insan yaitu akal. Dalam bahasa Indonesia kecerdikan berarti daya pikir, pikiran dan ingatan, sedangkan dalam bahasa Arab kecerdikan ('aql) berarti kecerdikan pikiran, hati, ingatan, daya pikir, faham, diyat, benteng atau kawasan berlindung.[6] Dalam bahasa inggris akal barangkali tepat jikalau diterjemahkan sebagai kata intellect[7], intelegensia atau cognition (knowing; awareness; including sensation but exluding emotion).[8]

     Secara fisik, dalam bahasa Indonesia, kecerdikan sering diidentikkan dengan "otak" atau mind,[9] yang diasumsikan tempatnya di kepala. Namun, berdasarkan Harun Nasution, kecerdikan tidak persis sama dengan pengertian "otak", alasannya kalau otak, dalam artian fisik, maka hewan-hewan pun mempunyai otak. Akal merujuk pada daya nalar, daya pikir, dan daya kritis yang terdapat dalam jiwa manusia. Raghib al-Asfahani member pengertian kecerdikan sebagai energi potensial yang difungsikan insan untuk mendapatkan pengetahuan dan ilmu.[10] Dengan demikian, ia merujuk pada fungsi dan kerja dari "otak-fisik" dan jiwa. Pendapat serupa dikemukakan pula oleh al-Ghazali dan Syed Naguib al-Attas.[11]

      Dalam Islam, kecerdikan menerima posisi yang signifikan, baik dalam pengembagan individu, masyarakat, maupun pengetahuan, terutama sains. Ia diposisikan sebagai hidayat al-'aqliyyah, yakni hidayah Yang Mahakuasa yang hanya diberikan kepada manusia. Dengan akal, insan bisa memahami symbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisis, membandingkan, maupun membuat kesimpulan dan akhirnya bisa membedakan antara yang benar (haq) dan salah (bathil).[12]

     Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa "al-Islam huwa al-'aqlu, la dina liman la 'aqla lahu" (Islam yaitu merupakan agama Ilmu dan agama kecerdikan (rasional); tidak ada kewajiban beragama (Islam) bagi mereka yang tidak mempunyai akal). Karena penghargaan akan eksistensi akal, Islam selalu mendorong umatnya untuk mempergunakan kecerdikan dalam banyak sekali dimensi kehidupan, termasuk dalam upaya mencari ilmu. Karena kecerdikan pula lah, insan disebut sebagai makhluk homo sapiens, yaitu makhluk yang mempunyai fitrah dan kemampuan  untuk berilmu-pengetahuan.[13] Dengan kecerdikan itulah, insan selalu ingin mengetahui apa yang ada di sekitarnya, kemudian ia berfikir, memahami, dan menjadikannya sebagai pengetahua, baik bersifat teoritis maupun praktis.

      Dalam al-Qur'an, kecerdikan merupakan salah satu aspek penting dari esensi (hakikat) manusia, sebagaimana dijelaskan dalam banyak kawasan di dalam al-Qur’an. Sedangkan, Sa'id Ismail 'Aly[14] dan Harun Nasution[15]  menjelaskan bahwa terdapat tujuh kata yang digunakan al-Qur’an untuk mewakili konsep akal, yakni nazara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima, dan ‘aqala. Dari ketujuh term di atas, penggunaan term yang mendekati kata akal, dalam bentuk kata benda dalam Bahasa Indonesia, yaitu term yang ke-7. Abdul Fattah Jalal menyebutkan bahwa kata kecerdikan tidaklah pernah muncul dalam bentuk kata benda (ism) melainkan dalam bentuk kata kerja (fi’il). Kata kerja ‘aqala menghasilkan derivasinya yakni ‘aqaluhu, ta’qiluna, na’qilu, ya’qiluna, dan ya’qiluha.[16] Selain ketujuh term di atas, terdapat beberapa term lain yang diasumsikan juga terkait dengan kerja dan fungsi akal, yakni yarauna, yabhatsun, yazkurun, yata'ammalun, ya’lamuna, yudrikuna, ya’rifuna, dan yaqrauna.

       Abdullah Fattah Jalal menyebutkan bahwa selain term kecerdikan ditunjukkan oleh al-Qur'an dengan penunjukan yang cukup banyak pada proses, al-Qur'an pun,  memakai kata albâb (jamak dari al-lub) yang juga bermakna akal.[17] Kata ini muncul dalam al-Qur'an dalam 16 tempat. Misalnya dalam QS. Ali Imran [3]:190. Ketika insan dilahirkan ke dunia ini, akal, termasuk juga jasmani dan ruhani, masih bersifat potensi (fitrah). Ia merupakan potensi nalar, daya fikir, atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan, daya kecerdikan budi, kecerdasan berfikir, atau boleh juga berarti terpelajar. Sebagai potensi, ia harus ditumbuh-kembangkan, dilatih, dan dibiasakan supaya bisa bekerja atau berfungsi secara maksimal dan optimal. Di sinilah pendidikan pengembangan kecerdikan mempunyai kiprah signifikan sebagai fannu tasykil wa shina'at uqul al-insan (seni pembentukan atau rekayasa kecerdikan manusia). 'Ali Muhammad Madkur menyebutnya sebagai tarbiyyat al-thâqât al-'aqliyyah.[18] Pendidikan ini dimaksudkan untuk membentuk, membimbing, dan melatih kerja dan fungsi kecerdikan supaya berfungsi secara maksimal dan optimal, serta sesuai dengan fitrah, maksud, dan tujuan penciptaannya. Pada sisi lain, kecerdikan pun harus diatur, dikendalikan, dan dievaluasi agar  fungsi dan kerjanya tidak menyalahi tata aturan yang ditetapkan oleh Yang Mahakuasa swt, sebagai Pencipta-nya. Misalnya, al-Qur'an dalam QS al-An'am 116, menyebutkan salah satu kelemahan akal, yakni mengikuti prasangka (dzan).

         Dengan demikian, pendidikan pengembangan kecerdikan menjadi salah satu tujuan antara pendidikan, yakni ahdâf al-aqliyyah.[19] Pendidikan pengembangan kecerdikan pada akhirnya akan berakumulasi dengan pendidikan pengembangan jasmani dan ruhani untuk mencapai tujuan tamat pendidikan Islam, yakni insân kâmil (manusia seutuhnya) yang mempunyai kesadaran, pemahaman, dan pengamalan akan posisi dirinya di antara Allah, alam, dan sesama manusia, serta bisa menjadi khalifah dan 'abd Allah.

Sebagai sumber ilmu, apabila diteliti lagi dari uraian intelek di atas, maka akan didapati banyak tingkatan dalam pendapatan ilmu. Sebab, pada kecerdikan ada sisi-sisi yang terluar dan terdalam. Yang terdalam dari kecerdikan erat hubungannya dengan intuisi dan wahyu, dan ilmu yang dihasilkan juga berkaitan dengan hal tersebut. Sedangkan belahan terluar erat hubungannya dengan aspek panca indera insan yang juga menghasilkan ilmu yang empirik-rasional.

Dilihat dari istilahnya, yakni sebagai kekuatan insan untuk bernalar, maka kecerdikan dalam pembagian terstruktur mengenai ilmu yang dikonseptualisasikan al-Attas menghasilkan ilmu-ilmu 'aqli. Menurutnya, ilmu yang berdasarkan kecerdikan yaitu sains filosofis, rasional dan intelektual, yang mencakup sains kemanusiaan (human sciences), sains tabii (natural sciences), sains terapan (applied sciences) dan teknologi.[20]

Dalam konsep pendidikannya, ilmu-ilmu dalam pembagian terstruktur mengenai ini termasuk ilmu yang fardhu kifayah. Artinya, ilmu ini tidak harus masing-masing orang menguasainya. Fardhu kifayah yaitu amalan yang wajib dikerjakan namun kewajiban itu akan gugur apabila sudah dilaksanakan oleh sebagian. Ini bisa diartikan bahwa untuk ilmu-ilmu di bawah kecerdikan ini hendaknya insan mengembangkan tugas, tidak semestinya seragam. Semakin beragama bidang yang dikuasai masyarakat, maka semakin tinggi kualitas masyarakat itu. Berbeda dengan fardhu kifayah yang cukup diemban oleh sebagian orang saja, ilmu fardhu 'ain harus diemban oleh setiap individu. Ini dalam falsafah pendidikan al-Attas yaitu ilmu-ilmu yang dibawah wahyu, yaitu ilmu-ilmu ibarat al-Quran, Sunnah, Shariah, Tauhid, Tasawwuf, dan bahasa Arab. Menurutnya, semua orang Islam harus mengerti ini dan hukumnya wajib bagi tiap individu.[21]

Klasifikasi ilmu al-Attas kepada fardhu ain dan fardhu kifayah diambilkan dari skemanya perihal konsep manusia, ilmu dan universitas, sebagaimana berikut: pertama, insan yang mencakup jiwa dan entitas dalaman (ruh, nafs, qalb, 'aql) dan tubuh dan fakultas-fakultas fisiknya; kedua, ilmu yang terdiri dari ilmu pinjaman Tuhan dan ilmu yang didapatkan oleh manusia; ketiga, universitas yang mencakup ilmu-ilmu fardu ain dan kifayah. Dalam skema itu, posisi The God-given Knowledge berada di atas dan the acquired knowledge berada di bawah. Sepertinya posisi ini penting dalam pandangan al-Attas. Sebab, posisi di atas memperlihatkan itu yaitu tinggi dan terhormat. Dan menurutnya, posisi yang di atas ini merujuk kepada fakultas dan sensasi spiritual manusia. Sedangkan posisi di bawahnya memperlihatkan kepada fakultas dan sensasi fisikal manusia. Menariknya, al-Attas memposisikan intelek ('aql) sebagai penghubung antara belahan fisikal dan spiritual itu. Dengan alasan bahwa 'aql pada kenyataannya merupakan substansi spiritual, ibarat yang dijabarkan sebelumnya, yang memungkinkan insan untuk mengerti realitas dan kebenaran spiritual.[22]



BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari paparan di atas, sekarang terang bahwa kecerdikan dalam diskursus Islam, dalam hal ini berdasarkan uraian al-Attas, merupakan dimensi dalaman (inner dimension) manusia. Tanpa kecerdikan insan tak ubahnya ibarat binatang yang hanya tahu makan, minum, tidur dan lain-lain. Ilmu yang didapat oleh insan alasannya ada akal. Tanpa ada media akal, betapa pun sehatnya panca inderanya, insan tidak bisa mendapatkan ilmu. Begitu juga, walaupun ada wahyu, kalau kecerdikan tidak sehat, maka akan sia-sia belakan. Maka bersukurlah mempunyai akal. Namun kecerdikan tidak segala-galanya. Ada banyak hal yang tidak terjangkau oleh akal. Maka kecerdikan perlu takluk kepada yang lebih tinggi lagi, yakni yang sifatnya spiritual. Di sinilah pentingnya intuisi dan wahyu dalam pemikiran al-Attas.


DAFTAR PUSTAKA


Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), hlm 32. Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa potensi dasar insan tersebut berupa jasmani dan rohani; Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa (Jakarta: Bulan Bintang, 1989)

A. Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung: Rosda Karya, 2008)

Isma'il Raji al-Faruqi, Tauhid, Bandung: Pustaka, 1984.

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Qamus 'Araby-Indonesia (Yogyakarta: Krapyak),

Muhammad 'Ali al-Khuli, Qamus al-Tarbiyyah: English-'Araby (Beirut: Dar 'al-'Ilm li al-Malayin, 1981),


Rohi Baalbaki dalam Al-Mawrid: Qamus 'Araby-English (Beirut: Dar al-'ilm li al-Malayin, 2001), hlm.771 menerjemahkan kata 'aqala ke dalam banyak makna, yakni to realize, understand, comprehend, graps, apprehend, conceive, dan perceive.

Al-'Allamah Raghib al-Asfahani, Mu'jam Mufradat Alfadz al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)

Syed Naguib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1986),

Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press, 2003).

'Ali Ahmad Madkur, Manhaj al-Tarbiyyah fi al-Tashawwur al-Islami (Kairo: Dar al-Fikr a'-'Araby, 2002),

Sa'id Isma'il 'Aly, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 2007),

Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982)

Abdullah Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam (Bandung: CV Diponegoro

Abdullah Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam (Bandung: CV Diponegoro),

'Ali Ahmad Madkur, Manhaj al-Tarbiyyah fi al-Tashawwur al-Islâmi (Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 2002

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur'an (Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Al-Attas (1986), A Commentary on The Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, Kuala Lumpur: Ministry of Culture of Malaysia,



[1] Nasution, Harun, Tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I,II.

[2] Atang, Metodologi Study Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.


[3]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), hlm 32. Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa potensi dasar insan tersebut berupa jasmani dan rohani; Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), cet. Ke-4, hlm.86.

[4]A. Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung: Rosda Karya, 2008), hlm. 26.

[5] Ismail Raji al-Faruqi menyebutkan bahwa insan merupakan makhluk kosmik tertingi, alasannya banyak sekali potensi yang dimilikinya bisa mengantarkannya untuk mewujudkan belahan tertinggi dari kehendak Tuhan (Isma'il Raji al-Faruqi, Tauhid, Bandung: Pustaka, 1984, hlm. 37)

[6] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Qamus 'Araby-Indonesia (Yogyakarta: Krapyak), hlm. 1027.

[7] Muhammad 'Ali al-Khuli, Qamus al-Tarbiyyah: English-'Araby (Beirut: Dar 'al-'Ilm li al-Malayin, 1981), hlm. 239.

[8] Rohi Baalbaki dalam Al-Mawrid: Qamus 'Araby-English (Beirut: Dar al-'ilm li al-Malayin, 2001), hlm.771 menerjemahkan kata 'aqala ke dalam banyak makna, yakni to realize, understand, comprehend, graps, apprehend, conceive, dan perceive.

[9] Kata lain yang bersinonim dengan mind adalah intellect, brain, head, reason, intelligence, sense, understanding, dan mentality .

[10] Al-'Allamah Raghib al-Asfahani, Mu'jam Mufradat Alfadz al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 354.

[11] Syed Naguib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 33.

[12] Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press, 2003). hlm. 35

[13] 'Ali Ahmad Madkur, Manhaj al-Tarbiyyah fi al-Tashawwur al-Islami (Kairo: Dar al-Fikr a'-'Araby, 2002), hlm. 45-46

[14] Sa'id Isma'il 'Aly, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 2007), hlm. 124

[15]Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982) hlm. 39-48

[16] Abdullah Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam (Bandung: CV Diponegoro), hlm. 57-58

[17] Abdullah Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam (Bandung: CV Diponegoro), hlm. 57-58

[18] 'Ali Ahmad Madkur, Manhaj al-Tarbiyyah fi al-Tashawwur al-Islâmi (Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 2002 hlm. 261-262

[19] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur'an (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Hlm. 143.

[20] Al-Attas (1986), A Commentary on The Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, Kuala Lumpur: Ministry of Culture of Malaysia, 293.

[21] Lihat al-Attas (1999), The Concept of Education in Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, h. 39-45.

[22] Al-Attas, The Concept of Education, h. 40.

Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter