-->

Makalah Perbandingan Madzhab Tentang Beda Cara Wudhu

Post a Comment
BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang


Wudhu merupakan salah satu cara bersuci untuk menghilangkan hadast kecil. Terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan secara berurutan. Di mulai dari niat, berdoa, membasuh kedua tangan hingga membasuh kedua kaki. Dalam hukum fiqih terdapat perbedaan pendapat secara segnifikan diantara para fuqaha ataupun imam madzhab.


Adanya perbedaan pendapat ini yang masing-masing mempunyai pegangan erat dan kuat tersebut merupakan bukti kelonggaran hukum dalam islam. Dalam hal ini hukum fiqih meringankan beban umat islam dan tidak memberatkan.


Dengan adanya perbedaan-perbedaan pendapat ini dapat menjadikan pengetahuan yang komprehensif bagi masyarakat dan umat islam yang lainnya.


B. Rumusan Masalah


1. Apa perbedaan pendapat tenteng batalnya wudhu?


C. Tujuan


1. Untuk mengetahui bagaimana pendapat pendapat para Imam Madzhab mngenai batalnya wudhu.



BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Wudhu


Wudlu` menurut arti bahasa adalah bersih dan indah, sedangkan menurut arti syara` adalah menggunakan air pada anggota badan tertentu yang diawali dengan niat. Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 6 :[1]


Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah :6)


B.     Pendapat Mengenai Batalnya Wudhu


Dalam wudhu terdapat rukun, syarat, sunat dan hal-hal yang membatalkannya. Hal ini harus dipahami setiap umat muslim agar kualitas ibadahnya sempurna dan syah dengan harapan dapat diterima Allah SWT.


Masalah batalnya wudhu saat ini memang masih menjadi khuilafiyah. Oleh sebab itu pendapat para ulama terkemuka dalam madzhab yang empat mengenai masalah ini pun berbeda-beda:


1. Pendapat Tentang Masalah Tersentuh Kulit


a. Madzhab maliki lebih kondisional dalam menyikapi hal ini, yakni bersentuhan antara lelaki dan perempuan itu membatalkan wudlu apabila:


    Lelaki yang menyentuh perempuan itu sudah baligh
    Sentuhan itu bermaksud untuk mendapatkan kenikmatan, atau tidak bermaksud begitu, tapi ternyata merasa nikmat
    Perempuan yang disentuh kulitnya terbuka atau berpakaian tapi dengan kain yang tipis. Jadi kalau kain penutup itu tebal, maka tidak batal wudhunya, kecuali bila persentuhan itu dengan cara memegang salah satu anggota tubuh yang bertujuan untuk mendapat kenikmatan atau ternyata merasa nikmat meski awalnya tidak bermaksud demikian.
    Orang yang disentuh tergolong perempuan yang sudah dapat membangkitkan syahwat lelaki.


Menurut madzhab ini yang termasuk menyentuh ialah mencium mulut. Mencium mulut bisa membatalkan wudhu secara mutlak sekalipun tidak bermaksud menikmatinya. Namun demikian ciuman tetaplah tidak membatalkan wudhu jika ciuman itu berupa ciuman perpisahan atau ciuman kasih sayang.[2]


b. Pendapat Madzhab Hanafi


Para ulama madzhab hanafi mengatakan bahwa sekedar bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tidaklah membatalkan wudhu, kecuali bila yang dimaksud adalah sentuhan yang penuh semangat, dimana kemaluan mereka masing-masing saling menempel dengan syahwat tanpa dihalangi oleh sesuatu apapun yang dapat mencegah terasanya panas tubuh masing-masing oleh kedua belah pihak. Jika terjadi persentuhan yang sedemikian rupa antara lelaki dan perempuan barulah wudhu mereka benar-benar batal. Demikian pula bila terjadi persentuhan yang serupa antara dua orang perempuan maka keduanya batal wudhunya.[3]


c. Pendapat Madzhab Syafi’i


Menurut para ulama madzhab Syafi’i persentuhan antara seorang perempuan dengan lelaki yang bukan muhrim mutlak membatalkan wudhu. Sekalipun tidak menimbulkan rasa nikmat dan meski si lelaki sudah tua dan perempuan sudah nenek-nenek, apabila tidak ada sesuatu yang menghalangi antara kulit mereka.


Dalam hal ini, persentuhan antara sesama perempuan atau sesama banci tidaklah membatalkan wudhu, meski pada masing-masing timbul syahwat.[4] Menurut madzhab ini, persentuhan antara lelaki dan perempuan yang membatalkan yang membatalkan wudhu disini adalah bila masing-masing pihak telah mencapai umur dewasa yang pada umumnya mulai timbul syahwat terhadap sesamanya. Namun demikian tidak termasuk rambut, gigi, dan kuku dalam anggota tubuh yang membatalkan bila disentuh. Tetapi jika saudara wanita maka wudhunya tidak batal.[5]


Pendapat ini dikemukakan oleh imam Syafi’i dan para pengikutnya. Namun, pada saat tertentu imam Syafi’i membedakannya (dari segi hukum) antara orang yang menyentuh dengan orang yang disentuh. Ia berpendapat, hanya orang yang menyentuh saja yang harus wudhu, sedangkan yang disentuh tidak wajib. Pada saat tertentu pula, ia berpendapat bahwa yang menyentuh atau yang disentuh diperlakukan sama yakni harus wudhu.[6]


d. Pendapat Madzhab Hambali


Menurut madzhab Hambali dengan tegas menetapkan bahwa sentuhan antara lelaki dan perempuan jelas membatalkan wudhu. Apabila sentuhan itu terjadi dengan syahwat tanpa ada penghalang. Tak peduli apakah yang bersentuhan itu masih muhrim atau bukan, dan apakah yang disentuh itu masih hidup atau sudah mati, mati muda atau sudah tua, telah dewasa maupun yang masih kecil, asal telah mencapai umur yang biasanya sudah dapat menimbulkan syahwat.[7] Madzhab ini menitik beratkan pada timbulnya syahwat atau tidak, jika sentuhannya timbul syahwat maka batal.




2. Pendapat Mengenai  Masalah Keluar Najis


Para Fuqaha sependapat keluar najis dari salah satu 2 jalan (qubul dan dubur) membatalkan wudhu. Akan tetapi ada perbedaan pendapat mengenai najis yang keluar bukan keluar dari 2 jalan tersebut adalah sebagai berikut:[8]


      Pendapat pertama yang berpendapat apabila najis itu keluar dari bukan dua jalan diatas, tidaklah membatalkan wudlu. Pendapat ini berasal dari madzhap Maliki, Syafi`i, Zhahiri, Syi`ah dan Abi Tsur dan kebanyakan pendapat dari tingkatan tabi`in seperti Ibnu Musayib, Al Kasim, Thaus, `Atha, Makhul, Rabi`ah yang diriwayatkan dari beberapa orang sahabat seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Jabir, Abi Hurairah dan Aisyah. Dalil dari hadist yang memperkuat pendapat mereka  diantaranya Hadist yang artinya: “Bahwa Rasulullah SAW. Menugaskan dua orang laki-laki untuk mengawal kaum muslimin dalam peperangan Dzatu Riqa. Salah seorang yang bernama Ubbad bin Bisyar sedang bersembahyang, tiba-tiba datang seorang kafir dan dipanahnya dengan anak panah dan mngenai (tubuh)nya dan anak panah itu dicabutnya, kemudian dipanah lagi untuk kedua dan ketiga kali namun tetap ruku` da sujud, sedang darahnya tetap mengalir”. (HR Abu Daud, Baihaqi, Ibnu Hibban, Hakim, daraquthni adn Ibnu Huzaimah dari Jabir bin Abdullah). [9]


Peristiwa ini disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau  tidak memberikan komentar apa-apa, yang berarti itu adalah persetujuan (taqrir) dengan secara diam-diam. Bedasarkan peristiwa itu dapatlah dikatakan keluar najis dari bukan jalan tidak membatalkan wudhu. Dalam Hadist lain diterangkan yang artinya “Bahwa Rasulullah SAW bersungu  kemudian beliau mendirikan  sembahyang dan tidak berwudhu, serta tidak melebihi yang beliau basuh selain mata luka bekas sungu”. (HR Baihaqi dan Daraquthni dari Anas bin Malik).


Dalam  hadist kedua yang dengan jelas menggambarkan sungu tidak membatalkan wudhlu.[10]


      Pendapat kedua yang berpendapat apabila najis itu keluar dari 2 jalan, juga tetap membatalkan wudlu. Pendapat ini berasal dari madzhab Hanafi, Hanbali, Auza`i, Tsauri dan Ishak yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Sirin, dan Abi Laila, yang memedakan antara najis yang banyak dan sedikit, yang membatalkan apabila keluar najis yang banyak.


3. Pendapat Mengenai  Masalah Madzi dan Wadzi


Menurut 4 madzhab madzi dan wadzi merupakan membatalkan wudhu, tetapi menurut Imamiyah:  tidak sampai membatalkan wudhu. Hanya Maliki memberikan pengecualian bagi orang yang selalu madzi. Orang yang seperti ini tidak diwajibkan lagi.[11]


4. Pendapat Mengenai Hilang Akal


Hilang akal karena mabuk, gila, pinsan dan naik pitam, maka menurut kesepakatan semua ulama, ia dapat membatalkan wudhu. Tetapi kalau tidur  Imam Hanafi berpendapat jika seseorang mempunyai wudlu itu tidur terlentang, atau terlungkap pada salah satu pahanya maka wudlunya menjadi batal. Tetapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku`, maka wujudnya tidak bata. Barang siapa yang tidur pada waktu shalat dan keadaannya tetap dalam posisi seperti sholat, maka wudlunya tidak batal, walaupun tidur sampai lama. Imam Syafi`i berpendapat jika kalau anusnya tetap dari tempat duduknya, seperti mulut botol yang tertutup, maka tidur yang demikia itu tidak sampai membatalkan wudlu, tetapi jika tidak maka batal wudlunya. Imam Maliki berpendapat bahwa membedakan antara tidur ringan dengan tidur berat. Kalau tidur ringan tidak membatalkan wudlu, begitu juga kalau tidur berat dan waktunya hanya sebentar, serta anusnya tertutup. Tapi kalau ia yidur berat dan waktunyapanjang, ia dapat membatalkan wudl, baik anusnya tertutup maupun  terbuka.[12]



DAFTAR PUSTAKA


Fuad,  Muhammad. 2007.  fiqih Wanita Lengkap. Jombang: Lintas Media.


Ma`ruf,  Tolhah dkk. 2008.  Fiqih Ibadah . Kediri: Ta`lif Wannasyr.


Mughniyah, Muhammad Jawad. 2011.  Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera. Terjemahan dari: Mansyur dkk.


Rusyd, Ibnu. 1990.  Tarjamah Bidayatul Mujtahid . Semarang: Asy-Syifa.


Syukur, Asywadie.  Perbandingan Madzhab. Surabaya: Bina Ilmu.


[1] Tolhah Ma1ruf, dkk. Fiqih Ibadah (Kediri: Ta`lif Wannasyr, 2008), hlm. 7.

[2]Muhammad Fuad, fiqih Wanita Lengkap  (Jombang: Lintas Media, 2007), hlm. 70-71.

[3]Muhammad Fuad, ibid.,  hlm. 71.

[4] Muhammad Fuad , Ibid., hlm. 72.

[5]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, terj. Mansyur dkk. (Jakarta: Lentera, 2011), hlm. 18.

[6]Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid (Semarang: Asy-Syifa, 1990), hlm. 69.

[7]Muhammad Fuad, op.cit., hlm. 75.

[8] Asywadie Syukur, Perbandingan Madzhab (Surabaya: Bina Ilmu, 1994), hlm. 121.

[9] Asywadie Syukur, Ibid.,  hlm.122.

[10] Asywadie Syukur, Ibid.,  hlm. 123.

[11] Muhammad Jawad Mughniyah, op. Cit,  hlm., 32.

[12] Muhammad Jawad Mughniyah, ibid., hlm. 32.

Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter