-->

Makalah Tokoh Pendidikan Islam Ikhwan Al-Shafa’

Post a Comment
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejak kekhalifahan Abbasiyah dipegang oleh al-Mutawakkil (232-247 H), cara pikir Mu’tazily (cara pikir rasional dalam mencari pengetahuan dan kebenaran) dan buku-buku yang berbau Mu’tazilah serta ilmu-ilmu sekuler, prafon, mulai disingkirkan. Sementara itu keyakinan tradisional mulai mendominasi masyarakat Islam
Pada masa ini muncullah sekelompok orang yang ingin menghidupkan kembali obor ilmu pengetahuan dengan mempelajari segala cabang ilmu pengetahuan, baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang didatangkan dari India, Yunani, Persia dan Romawi, sebagai refleksi dari kejumudan dan fanatisme tersebut. Karena hilangnya kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat kala itu, maka kelompok yang alhasil dikenal dengan nama Ikhwan al-Shafa ini menjadi gerakan bawah tanah. Mereka berkumpul, bertukar pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Bahkan nama, juga dirahasiakan, untuk menghindarkan diri dari gangguan pihak penguasa.
Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai diam-diam yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan yang lebih suka merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk dicari pesan yang tersirat dan pelajaran.

B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi Ikhwan al-Shafa’
2.      Pemikiran Ikhwan al-Shafa’ Tentang Pemikiran Akhlak
3.      Metode Pendidikan Akhlak



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Ikhwan al-Shafa’
Ikhwan al-Shafa’ ialah nama sekelompok pemikir Muslim diam-diam (Filosiko Religius), berasal dari sekte si’ah Ismailiyyah yang lahir ditengah-tengah komunitas Sunni sekitar era ke-4 H/10 M di Basrah.[1] Keberadaan kelompok ini tidak terperinci lantaran mereka bersama para anggota merahasiakan diri dari kegiatan mereka. Kendati tidak jelas, risalah ensiklopedis yang mereka hasilkan, berdasarkan Abu Hayyan al-Tauhidi (Wafat tahun 414/1023 M) dari data internal dalam risalah mereka, sanggup disimpulkan berasal dari masa antara tahun 347 H/958 M  hingga tahun 373 H/983 M atau dari perempat era ke-4 H. Pusat kegiatan mereka di kota Basrah, tetapi di Baghdad juga terdapat cabang dari kelompok diam-diam itu.[2]Dari Bashrah, Ikhwan Al Safa terus berkembang ke banyak sekali kawasan mirip Iran dan Quwait. Organisasi ini mengajarkan perihal dasar-dasar agama Islam yang didasarkan atas persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu perilaku saling mengasihi sesama saudara muslim dan kepedulian yang tinggi terhadap orang muslim.[3] Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru dan muballigh bagi masyarakatnya.
Kalau dilihat dari literatur sejarah yang tidak sanggup menjelaskan secara detail perihal keberadaan kelompok ini, dengan melihat kenyataan yang terjadi kala itu, kemungkinan besar bahwa kelompok ini sengaja menutup dirinya lantaran permasalahan yang terjadi. Melalui cara menutup diri, tujuan kelompok ini ialah untuk menyelamatkan masyarakat yang teracuni dengan persoalan politik pemerintahan di kala itu. Kemudian untuk memperluas gerakannya, kelompok ini membelah diri untuk membentuk cabang-cabang serta mengajak para masyarakat yang berminat apada keilmuan dan kebenaran. Akan tetapi, kerahasiaan mereka tetap terjaga dan ditutupi. Mereka membagi empat tingkatan keanggotaan. Pertama, Ikhwan al-Abrar al-Ruhama’, yakni kelompok yang berusia 15-30 tahun yang memilik jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus murid, untuk itu, dituntut tunduk dan patuhsecra tepat kepada guru. Kedua, Ikhwan al-Akhyar wa al-Fudhala’, yakni kelompok yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkatan ini mereka sudah bisa memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan bersiap berkorban demi persaudaraan (tingkat guru-guru). Ketiga, Ikhwan al-Fudhala’ al-Karim, yakni kelompok yang berusia 40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Keempat, Al-Kamal, yakni kelompok yang berusia 50 tahun ke atas. Mereka disebut dengan tingkatan al-Muqarrabin min Allah lantaran mereka sudah bisa memahami hakikat sesuatu sehingga hati mereka telah terbuka dan menyaksikan kebenaran dengan mata hati.[4]
Di samping itu juga, kelompok Ikhwan Al Safa mengklaim dirinya sebagai kelompok non partisan, objektif, andal pencita kebenaran, elit intelektual dan solid kooperatif. Mereka mengajak masyarakat untuk menjadi kelompok orang-orang mu'min yang militan untuk beramar ma'ruf nahi mungkar. Dan sebagian sejarawan komtemporer menganggap bahwa perkumpulan ini merupakan kelompok terorganisir terdiri dari para filosof moralis yang menganggap bahwa pangkal perseteruan sosial politik dan keagamaan terdapat para keragaman agama dan aliran dan teknik kesukuan, sehingga mereka berusaha untuk mengilangkan dan mewadahi dalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada aliran yang disarikan dari semua agama dan aliran ada.[5]
Dalam konteks demikian, sanggup kami kemukakan bahwa kelompok Ikhwan al Safa pada realitanya ialah organisasi yang juga mempunyai tujuan-tujuan politis untuk melaksanakan transformasi sosial namun tidak melalui cara radikal, revolusioner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Namun dalam hal hal ini kami tidak membahas banyak, yang kami fokuskan ialah pembahasan pemikiran Ikhwan al Safa dalam pendidikan.
Dalam sejarah Islam, kelompok ini tampil pribadi dalam gerakan reformatif pendidikannya, lantaran itu mereka ialah ta'limiyyun (pengajaran) dalam melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang pendidikan dengan pandangan yang bersifat rasional dan empiric, atau perpaduan antara pandangan yang bersifat intelektual dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai citra dari sesuatu yang diketahui dari alam ini. Dengan kata lain yang dihasilkan dari pemikiran insan itu terjadi lantaran menerima materi isu yang dikirim oleh panca indra.[6]

B.     Pemikiran Ikhwan al-Shafa Tentang Pendidikan Akhlak
1.      Akhlak, Pengertian dan Karakteristiknya
Ditinjau dari segi etimologi, kata moral (dari bahasa Arab) merupakan bentuk jamak dari kata khulq yang berari budi pekerti, perangai, tingkah laris dan tabiat. Abd. Hamid Yunus dalam kitabnya Da’irah al-Ma’arif mendefenisikan moral sebagai sifat-sifat insan yang terdidik.
Sementara di dalam al-Mu’jam al-Masit Ibrahim Anis menyebtukan pengertian moral sebagai berikut. “Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sifat itu lahirlah macam-macam perbuatan baik dan buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”[7] Senada dengan pengertian ini, al-Ghazali juga menyatakan bahwa moral itu ialah sifat yang tertanam dalam jiwa  yang menjadikan macam-macam perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Dari beberapa defenisi di atas sanggup dipahami bahwa moral itu ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian sehingga dari kepribadian ini timbul banyak sekali macam perbuatan dengan cara impulsif tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Bila dari kondisi tersebut timbul kelakuan baik dan terpuji berdasarkan pandangan syariat dan logika pikiran, maka ia dinamakan moral mulia dan sebaliknya bila yang lahir ialah perbuatan yang tidak baik, maka disebut dengan moral tercela.
Ikhwan al-Shafa membagi moral insan kepada dua jenis, yaitu:
1)      Akhlak bawaan (al-akhlaq al-markuzah fi al-jibillah), yaitu moral yang dibawa insan semenjak lahir.
2)      Akhlak perolehan (al-akhlaq al-mauktasabat), yaitu moral yang diperoleh melalui latihan dan penyesuaian sehabis insan menjalani proses kehidupan.
Berkenaan dengan moral bawaan ini, Ikhwan  menjelaskan:
Akhlak bawaan itu ialah kesiapan anggota badan yang kemungkinan insan dengan gampang sanggup melahirkan suatu perbuatan, tindakan, karya, dan mempelajari suatu jenis pengetahuan, keterampilan, atau politik tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Dari kutipan di atas, dapatlah dipahami bahwa moral bawaan berdasarkan Ikhwan intinya sama dengan perbuatan alami mirip yang disebut sebelumnya. Hanya saja Ikhwan menyatakan semua bentuk perbuatan itu dengan ungkapan akhlak. Hal ini sanggup dimengerti dengan defenisi yang dikemukakan Ihkwan, bahwa moral bawaan itu merupakan kesiapan anggota yang kemungkinan insan dengan gampang sanggup melahirkan suatu perbuatan. Persamaan itu juga tampak pada indikasi selanjutnya, yaitu bahwa moral bawaan itu tidak memerlukan adanya pemikiran atau pertimbangan. Hal ini mempunyai persamaan dengan perbuatan alami yang terjadi tanpa melalui usaha.
Masih berkaitan dengan moral bawaan, sanggup dipahami bahwa hal ini mengandung pengertian bahwa semenjak lahir insan telah mempunyai talenta atau kemampuan dasar. Ikhwan mengakui adanya perbedaan talenta pada setiap diri insan sesuai dengan banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah:
1)      Unsur-unsur pembentukan asal (al-akhlath ajsadihim wa mizaj akhlathiha), yaitu; tanah, air, udara dan api.
2)      Keadaan alam dan lingkungan (turbah buldanihim wa ahwiyatuha).
3)      Pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh orang tua, guru, dan pendidik lainnya (nusyuihim ‘ala diyanat abaihim wa mu’allimihim).
4)      Perjalanan bintang ketika insan itu dilahirkan (ahkam al-nujum fi ushul muwalidihim).
Mengenai perbuatan manuisa Ikhwan menjelaskan bahwa: “Sesungguhnya perbuatan insan pada kenyataannya terjadi sesuai dengan moral bawaannya dan sesuai pula dengan budpekerti kebiasaan sebagaimana mereka hidup atau sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.
Keterangan di atas, menjelaskan bahwa perbuatan insan itu ditentukan oleh tiga hal yaitu pembawaan, budpekerti istiadat (kebiasaan), dan pandangan hidup yang diyakininya. Ini mengindikasikan bahwa perbuatan manusia, baik itu perbuatan terpuji maupun perbuatan tercela sangat tergantung pada ketiga faktor di atas. Dengan demikian baik buruknya perbuatan seseorang tidak hanya ditentukan oleh talenta (pembawaan) yang dibawanya semenjak lahir, akan tetapi kebiasaan dan pandangan hidup yang dianutnya juga turut memperlihatkan andil dalam pembentukan perbuatan seseorang.
Berkenanaan dengan perbuatan moral atau moral perolehan, Ikhwan menjelaskan bahwa perbuatan ini sangat berbeda dengan perbuatan alami atau moral bawaan. Untuk mewujudkan perbuatan ini, dibutuhkan pemikiran, perjuangan dan latihan yang sungguh-sungguh. Selain itu, perbuatan ini juga berat dan tidak gampang untuk dilakukan. Oleh lantaran itu untuk melaksanakan perbuatan ini dibutuhkan adanya pendidikan. Dengan pendidikan seseorang akan dibimbing dan diarahkan untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan sesuai dengan tuntunan syari’at.
Ditinjau dari segi baik buruknya suatu perbuatan, Ikhwan menjelaskan bahwa suatu perbuatan disebut baik, bila perbuatan itu merupakan perbuatan alami (akhlak bawaan) yang terjadi sesuai dengan situasi dan kondisi yang semestinya. Sebaliknya kalau perbuatan itu tidak terjadi sesuai dengan situasi dan kondisi yang semstinya, maka perbuatan itu disebut keburukan. Bila perbuatan dilakukan dengan perjuangan dan kemauan, sesuai dengan situasi dan kondisi yang semestinya, maka perbuatan itu disebut perbuatan terpuji. Jika sebaliknya maka disebut perbuatan tercela. Jika perbuatan itu dilakukan dengan kemauan dan pilihan yang berdasarkan pikiran dan pertimbangan, maka pelakunya disebut filosof utama yang bijak (failusuf fadhil), dan kalau sebaliknya maka pelakunya disebut kurang pintar (safih, jahil, radzl).
Dengan demikian  pada dasarnya semua sifat insan dibagi dalam dua katagori yang secara radikal saling bertentangan mengingat kenyataan bahwa katagori-katagori tersebut sangat konkret dan secara semantik sungguh tepat untuk disebut dengan predikat “baik” dan “buruk”, atau “benar” dan “salah”. Secara sederhana, kelas yang mempunyai sifat moral yang positif dinamakan “baik” atau “benar” dan sebaliknya yang mempunyai sifat moral yang negatif dinamakan dengan “buruk” atau “salah”.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa betapa relatifnya pengertian baik atau jelek itu, lantaran tergantung kepada situasi dan kondisi serta penghargaan masing-masing orang. Nilai baik atau jelek berdasarkan pengertian di atas masih bersifat subyektif, lantaran tergantung pada situasi dan kondisi serta individu yang menilainya. Pengertian baik atau jelek mirip yang disebutkan di atas, sanggup menjadikan perbedaan dalam menilai suatu perbuatan. Boleh jadi suatu perbuatan yang dianggap baik oleh seseorang, namun perbuatan itu tidak baik berdasarkan lainnya, dinilai baik pada suatu waktu dan tempat, namun dinilai jelek pada waktu dan tempat yang lainnya.
Ukuran-ukuran di atas belum memperlihatkan kepastian lantaran hanya bersifat subyektif, lokal dan temporal. Oleh lantaran itu nilainya sangat bersifat relatif. Akan tetapi pernyataan Ikhwan yang menyatakan bahwa bila perbuatan itu dilakukan sesuai dengan tuntunan agama, maka pelakunya akan memperoleh pahala, dan kalau sebaliknya maka ia akan menerima siksaan, mungkin akan sanggup memperlihatkan suatu kepastia perihal ukuran baik ata buruknya suatu perbuatan.

2.      Pendidikan Akhlak Sebagai Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan moral merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai moral yang tepat merupakan tujuan hakiki dari suatu pendidikan. Ini tidak berarti bahwa pendidikan jasmani dan pendidikan intelektual menjadi hal yang tidak penting. Sebaliknya hal ini berarti pendidikan moral harus menerima perhatian yang sama atau bahkan lebih dari pendidikan antelektual dan jasmani.
Disamping kekuatan jasmani dan kecerdasan intelektual, bawah umur juga membutuhkan pendidikan akhlak, perasaan, cita-rasa dan kepribadian. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan tidak hanya bermakna transfer of knowledge (pewarisan ilmu), tetapi lebih dari itu, pendidikan juga berarti transfer of values (pewarisan niali) dan sekaligus sebagai bimbingan yang menjadikan pengarahan pada siswa bagaimana cara bersikap dan bertingkah laris yang baik. Nilai (values) merupakan kesatuan tatanan yang terdiri dari dua komponen atau lebih. Komponen yang satu dengan komponen yang lain saling mempengaruhi. Komponen-komponen itu bekerja dalam satu kesatuan yang lingkaran dan berorientasi kepada nilai-nilai dan moralitas islami.
Sebagaimana filosof muslim lainnya Ikhwan turut menegaskan pentingnya pendidikan akhlak. Pendidikan yang ditawarkan Ikhwan ialah pendidikan akhlak, dalam arti bahwa training dan pengajaran yang mereka lakukan ditujuakan untuk menjelaskan kebenaran agama, supaya dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari secara baik dan benar.
Perhatian Ikhwan terhadap pendidikan moral sebetulnya tidak lebih kecil dibanding perhatian mereka terhadap pendidikan intelektual. Bahkan, sanggup dikatakan bahwa target utama pendidikan Ikhwan ialah pendidikan akhlak. Bila ditinjau lebih jauh, akan terlihat konsistensi antara target utama pendidikan Ikhwan dengan tujuan utama Ikhwan. Kekacauan sosial dan dekadensi moral yang menyelimuti umat Islam pada ketika mereka lahir disebabkan lantaran kebodohan. Konsekwensi dari dekadensi moral menjadikan pandangan hidup yang salah, yang selanjutnya berimplikasi pada perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Oleh lantaran itu, dibutuhkan adanya upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat. Cita-cita mencerdaskan kehidupan masyarakat ini sanggup direalisasikan dengan mengganti empat hal yang akan mendatangkan kesengsaraan, yaitu kebodohan, kerusakan akhlak, kekeliruan, pandangan dan perbuatan yang tidak baik, dengan empat hal yang akan mendatangkan kebahagiaan yaitu pengetahuan yang benar, moral yang baik, pandangan yang benar dan amal perbuataan yang baik.
Bila ditelusuri lebih lanjut, kitab Rasail Ikhwan sangat mementingkan akhlak. Hal ini sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadis. Ikhwan menekankan nilai-nilai mirip kejujuran, kesetiakawanan, keadilan, baik sangka, murah hati, tolong menolong, rasa sosial, berkata benar, mengasihi ilmu dan berpikiran lurus, zuhud, tawakkal, ridah terhadap takdir Allah, berani, menepati janji, sabar, lapang dada dan lain-lain. Nilai-nilai serupa ini yang harus ditanamkan dalam diri setiap muslim semenjak kecil, dengan kata lain, pembentukan moral yang mulia pada setiap muslim harus dimulai semenjak dini.
Uraian berikut ini akan difokuskan pada pandangan Ikhwan mengenai kedua pendapat di atas. Apakah Ikhwan cenderung kepada pendapat pertama, yaitu bahwa moral itu tidak perlu dibentuk, lantaran ia merupakan instinct (ghazirah) yang dibawa insan semenjak lahir, atau sebaliknya Ikhwan mengikuti pendapat, yaitu bahwa meskipun moral merupakan pembawaan akan tetapi tetap sanggup dibuat melalui pendidikan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa insan mempunyai moral bawaan dan moral perolehan. Akhlak bawaan dipengaruhi beberapa faktor. Adapun moral yang memengaruhi moral pembawaan itu adalah:
1)      Unsur-unsur pembentukan asal, yaitu; tanah, air, udara dan api. Semua unsur ini memperngaruhi aksara seseorang. Unsur tanah membawa sifat optimis, air membawa sifat lemah lembut, unsur api menciptakan seseorang menjadi marah, dan udara menciptakan seseorang menjadi bersikap tidak tergesa-gesa. Semua unsur ini memperlihatkan keseimbangan pada diri manusia.
2)      Keadaan alam dan lingkungan. Perbedaan letak geografis dan iklim, mirip Timur, Barat, Utara, Selatan, di pegunungan, gurun pasir, tepi pantai, lembah, hutan dan lain-lain juga akan menghipnotis watak seseorang. Seseorang yang lahir, tumbuh dan berkembang di kawasan yang panas akan mempunyai watak yang berbeda dengan seseorang yang lahir, tumbuh dan berkembang di kawasan yang hirau taacuh dan seterusnya.
3)      Pendidikan. Pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Akhlak anak sangat ditentukan oleh pendidikan yang diberikan oleh orang disekitarnya. Dalam hal ini, pendidik, tidak hanya orang tua, akan tetapi mencakup guru dan para pendidik lainnya yang terlibat langsung dalam pendidikan anak. Hal ini menjelaskan betapa pentingnya pendidikan bagi seorang anak. Bila pendidik memperlihatkan pendidikan yang terbaik maka anak akan tumbuh dan berkembang secara baik pula demikian juga sebaliknya.
4)      Bintang atau zodiak. Ikhwan meyakini bahwa perjalanan bntang-bintang di langit, akan menghipnotis talenta anak.
Kutipan berikut ini mungkin sanggup memperjelas pemahaman, perihal pandangan Ikhwan mengenai mungkinatau tidaknya pembentukan moral dilakukan. “Seseunguhnya perbuatan insan pada kenyataannya terjadi sesuai dengan moral bawaaannya dan budpekerti kebiasaan sebagaimana mereka hidup atau sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa perbuatan insan itu ditentukan oleh tiga hal yaitu pembawaan, kebiasaan atau latihan, dan pandangan hidup yang diyakininya. Makara jelaslah bahwa perbuatan insan itu, tidak hanya terjadi mengikuti moral bawaan, akan tetapi dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan pendangan hidup yang dianutnya. Dalam hal ini, kebasaan dan pandangan hidup, tentunya bekerjasama erat dengan pendidikan.
Ikhwan mengemukakan perbuatan dan moral insan itu sanggup dikatagorikan kepada empat macam, yaitu:
1)      Tindakan alamiah (thabliyyah), yaitu perbuatan-perbuatan alamiah yang terjadi pada fisik manusia.
2)      Tindakan nafsaniyyah ikhtiyariyyah, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas dasar kehendak dorongan kejiwaan.
3)      Tindakan ‘aqliyyah fikriyyah, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas dasar pertimbangan logika pikiran.
4)      Tindakan namusiyyah, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan yang berdasarkan atas ketaatan terhadap katentuan wahyu atau agama.
Dari uraian di atas, sanggup disimpulkan bahwa berdasarkan Ikhwan moral mnusia itu merupakan pembawaan yang sanggup berubah sesuai denga faktor-faktor yang mempengaruhinya. Lingkungan dan pendidikan merupakan dua faktor yang sangat kuat terhadap pembentukan moral seseorang. Oleh lantaran itu Ikhwan memperlihatkan perhatian yang besar kepada pendidikan akhlak. Hal ini sanggup dipahami dari ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam karya mereka. Ungkapan-ugkapan mirip istilah al-akhlaq tahzib al-akhlaq ta’dib al=akhlaq tatsaif al-ummah dan lain-lain yang keselruhannya mengarah kepada pembentukan moral berulangkali sanggup ditemukan dalam goresan pena mereka.
Di tempat lain Ikhwan menyampaikan bahwa insan itu dalam melaksanakan perbuatannya dibagi kepada dua jenis, yaitu: orang yang kepercayaannya mengikuti akhlaknya, dan orang yang akhlaknya mengikuti kepercayaannya. Ikhwan memperlihatkan pola golongan yang pertama orang yang berada di bawah naungan bintang mars, maka ia akan meyakini bahwa yang berbintang mars itu, mempunyai sifat keras, suka bertengkar, dan selalu bermusuhan. Karena keyakinannya terhadap bintang ini, maka ia bersikap dan bertingkah laris mirip yang disebutkan di atas. Demikian juga orang yang berbintang jupiter, maka ia akan condong kepada pandangan bahwa yang mamiliki bintang ini mempunyai sifat zuhud, wara’ dan lemah lembut. Oleh karenanya, ia akan bersikap sebagaimana yang disebutkan dalam ramalan bintang tersebut.
Adapun orang yang akhlaknya mengikuti kepercayaannya ialah orang yang apabila meyakini suatu pandangan atau mengnut suatu mahzab yang diyakininya dalam bentuk perbutan maka moral dan perbuatannya akan menyerupai mahzab dan kepercayaannnya. Akhlak golongan kedua inilah yang akan menerima kebanggaan atau celaan, pahala atau dosa, akad jelek atau akad baik, lantaran moral ini, diperoleh melalui perjuangan yang keras untuk mendapatkan dan untuk merealisasikannya.
Dari uraian di atas, semakin jelaslah pandangan Ikhwan perihal akhlak, yaitu perbuatan yang memperoleh imbalan pahala itu hanyalah perbuatan yang dilakukan berdasarkan keimanan dan kepercayaan yang dianut oleh seseorang yang diperoleh melalui perjuangan dan pendidikan. Sedangkan perbuatan yang dilakukan hanya berdasarkan pada pembawaan yang dibawa semenjak lahir, mirip perbuatan seseorang yang berada di bawah naungan suatu bintang, tidak akan mendapatkan imbalan apahala, lantaran perbuatan ini hanya menggantungkan kepada takdir tanpa disertai dengan perjuangan untuk memperbaikinya.
Di sisi lain Ikhwan menjelaskan perbedaan antara penduduk dunia dan penduduk akhirat. Akhlak penduduk dunia digambarkan Ikhwan mirip orang yang melaksanakan perbuatan tanpa melalui proses usaha, pertimbangan, pemikiran, dan kesungguhan. Mereka tiba ke dunia ini tanpa melaksanakan perbuatan baik yang dijadikan sebagai persiapan mereka di alam abadi nanti. Mereka hidup di dunia ii laksana binatang yang hanya berbuat untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya dan menghindari dari segala macam yang menghadangnya. Menurut Ikhwan orang-orang mirip ini yang disinyalir oleh al-Quran sebagai binatang “Mereka itu makan sebagaimana hewan-hewan makan, nerakalah tempat yang pantas bagi mereka”.
Selanjutnya, moral penduduk alam abadi berdasarkan Ihkwan ialah orang-orang yang melaksanakan perbuatan baik yang dilakukan melalui perjuangan yang sungguh-sungguh, baik perbuatan itu berdasrkan pertimbangan logika pikiran taua lantaran mengikuti petunjuk wahyu sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga perbuatan itu dilakukan secara berulang-ulang dan telah menjadi kepribadiannya.

C.    Metode Pendidikan Akhlak
Beberapa metode yang dipakai Ikhwan al-Shafa’ dalam memberikan ajarannya antara lain:
1)      Metode Kisah
Kisah atau dongeng sebagai suatu metode pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Ikhwan menyadari kesadaran insan untuk menyenangi suatu cerita, dan menyadari bahwa kisah atau dongeng ini mempunyai imbas yang besar terhadap perasaan. Oleh lantaran itu Ikhwan mengeksploitasi kisah-kisah itu untuk dijadikan salah satu metode pendidikan. Ikhwan banyak memakai kisah yang menampilkan suatu pola kehidupan insan yang dimaksudkan supaya insan sanggup memetik pesan yang tersirat dan pelajaran dari kisah yang ditampilkan.
Metode iksah ini banyak dipakai Ikhwan dalam memberikan pesan kepada anggota dan para pembaca. Salah satu kisah yang ditampilkan Ikhwan ialah kisah seorang bijaksanawan yang mengobati sekelompok masyarakat. Kisah lainnya contohnya ialah kisah dua orang sobat yaitu  seorang Majusi dari penduduk Karman dan Katolik dari penduduk Asfahan yang digambarkan Ikhwan untuk menyapaikan pesan bahwa moral yang baik ialah moral yang didasarkan pada keimanan.
2)      Metode Nasihat
Dalam meyampaikan ajaran-ajaran mereka, Ikhwan juga memakai kalimat-kalimat yang meyentuh hati untuk memimpin insan kepada pesan dan aliran yang dikehendaki. Metode mirip ini kemudian dikenal sebagai metode nasihat. Metode ini juga dipakai Ikhwan dalam memberikan jaran mereka. Dalam kitab Rasail, tampak dengan terperinci bahwa Ikhwan berusaha untuk mengadakan pendekatan terhadap para anggota dan pembaca, dengan memakai ungkapan-ungkapan berbentuk nasihat-nasihat bijaksana.
Metode pesan tersirat ini mereka kemukakan dengan gaya dan bahasa yang memperlihatkan kedekatan dan keharmonisan, hingga tidak ada kesan memaksa anggota dan pembaca. Ungkapan mirip ayyuhal al-akh atau Ikhwanuna yang mereka gunakan pada hampir setiap penyampaian suatu pembahasan, memperlihatkan bahwa mereka berusaha untuk mengadakan pendekatan dengan tunjangan pesan tersirat yang baik kepada anggota dan pembaca.
3)      Metode Perumpamaan
Metode Perumpamaan banyak dipakai Ikhwan dalam memberikan aliran mereka. Metode ini mempunyai tujuan pendidikan yang sangat dalam, yaitu mendekatkan makna kepada pemahaman. Ikhwan memakai metode ini untuk mengibaratkan persoalan yang ajaib dengan persoalan yang kogkrit supaya kandungan makna yang ajaib itu sanggup dipahami secara baik. Selain itu metode ini sanggup merangsang kesan dan pesan yang berkaitan dengan makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut.
Contoh perumpamaan yang dipakai Ikhwan ialah perumpamaan dunia mirip kulit dan alam abadi mirip isi. Dunia ini hanya merupakan tempat persinggahan sementara, sedangkan alam abadi merupakan tujuan simpulan manusia. Oleh alasannya itu setiap orang harus mempersiapkan dirinya menuju tempat yang abadi. Untuk memperjelas perbadaan antara dunia dan akhirat, Ikhwan memakai perumpamaan ini, lantaran antara dunia dan akirat mempunyai titik persamaan dengan kulit dan isi. Dengan kata lain alam abadi ialah inti dan dunia hanya merupakan sarana untuk menuju kehidupan yang abadi yaitu akhirat.
4)      Metode Pembiasaan
Cara lain yang dianjurkan Ikhwan untuk training moral ini ialah dengan penyesuaian yang dilakukan secara kontinyu. Pembiasaan ini hendaknya dimulai semenjak anak masih kecil. Bila anak dilatih dengan membiasakan perbuatan baik, maka anak itu akan mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan yang senantiasa dilakukannya tanpa rasa enggan.
Berkenaan dengan ini, Imam al-Ghazali menyampaikan bahwa kepribadian insan itu intinya sanggup mendapatkan segala perjuangan pembentukan melalui pemninaan. Jika insan membiasakan berbuat jahat, maka ia akan menjadi orang jahat, demikian juga sebaliknya. Untuk itu al-Ghazali mangatakan bahwa pembentukan moral hendaknya dilakukan dengan cara melatih jiwa dengan pekerjaan dan tingkah laris yang mulia.
5)   Metode Diskusi
Metode diskusi merupakan metode yang paling menonjol yang dipakai Ikhwan. Metode ini sanggup memantapkan pengertian terhadap suatu masalah. Untuk memperoleh pemahaman yang benar, Ikhwan secara rutin melaksanakan diskusi yang membahas banyak sekali macam masalah.
Penggunaaan metode diskusi ini didasarkan atas pandangan bahwa insan memilki kekuatan untuk menetukan pilihannya, sehingga pemaksaan merupakan perbuatan yang sia-sia. Metode diskusi ini merupakan ciri khas pendidikan Islam yang selalu relevan bagi pengembangan aliran Islam. Hal ini disebabkan metode ini menuntut adanya perilaku terbuka, tidak berpikiran sempit dan bersedia mendapatkan pendapat, saran dan kritikan dari orang lain.
Dari uraian tersebut dapatlah disimpulakan bahwa Ikhwan mempunyai perhatian yang sungguh-sungguh terhadap metode pendidikan. Aktualisasi potensi yang dimilki insan menuntut adanya metode yang berupa bimbingan dan arahan, baik dalam arti pengajaran maupun keteladanan. Manusia tidak akan sanggup mengaktualisasikan potensi yang ada pada dirinya tanpa dibimbing dan diajari perihal segala sesuatu yang mesti diketahuinya, tanpa dilatih melaksanakan perbuatan yang seharusnya beliau lakukan.[8]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam diam-diam yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita sanggup memperoleh jejak-jejak aliran mereka, baik perihal ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Ikhwan al-Shafa telah menjadi kepingan kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris.
Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa, mempunyai konsep bahwa pendidikan itu bukan sekedar upaya transfer suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang lain tetapi lebih merupakan kegiatan moral yang dengannya seseorang mendapatkan derajat kemanusiaan yang tertinggi, yang dalam istilah mereka disebut “derajat malaikat al-muqarrabin.” Aktivitas pendidikan ini bukan hanya berupa bimbingan dan pengajaran tetapi juga pengaruh, yang sanggup terjadi semenjak seorang anak masih dalam kandungan (embrio). Sehingga semenjak inilah kegiatan pendidikan sudah dimulai.

B.     Saran
Sebagai seorang calon pendidik, mahasiswa diharapkan bisa membekali diri dengan ilmu dnuia dan alam abadi dan mempunyai moral yang terpuji supaya kelak ketika menjadi seorang pendidik, tidak hanya bisa memperlihatkan ilmu namun juga bisa membina moral anak didiknya.


 


DAFTAR PUSTAKA

Al- Ahwani, Ahmad Fuad. Al Tarbiyah fi Al Islam. Mesir :Dar Al Maarif .
Al-Iraqy , Muhammad ‘Atifh. Al-Falsafat al-Islamiyyat . Kairo: Dar al-Ma’arif. 1978.
Anis, Ibrahim. Al-Mu’jam al-Wasit. Mesir: Dar al-Ma’arif. 1972.
Dahlan, Abdul Azis. “Filsafat” dalam Wnsiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid IV. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve. 2003.
Nata, Abuddin. MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
 Ridlo, Muhamad Jawad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam. Jogjakarta : PT. Tiara Wacana. 2002
Rizal, Syamsul . Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis. 2010.
Tesis Ikhwan al-Shafa’.


[1] Muhammad ‘Atifh al-Iraqy, Al-Falsafat al-Islamiyyat (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1978), hlm. 29.
[2] Abdul Azis Dahlan, “Filsafat” dalam  Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid IV (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 192.
[3]  Ahmad Fuad Al Ahwani, Al Tarbiyah fi Al Islam. Mesir, Dar Al Maarif Hl. 227
[4] Syamsul Rizal, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2010), hlm. 129-130.
[5]  Muhamad Jawad Ridlo, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Jogjakarta. PT. Tiara Wacana 2002 hal. 146

[6]  Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu. hal. 182
[7] Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasit (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972), hlm. 202.
[8] Tesis Ikhwan al-Shafa’, hlm. 89-124.

Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter