-->

Makalah Konsep Pendidikan Akhlak Menurut KH. Bisri Mustofa

Post a Comment
Konsep Pendidikan Akhlak Menurut KH. Bisri Musthofa

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam Indonesia


Dosen Pengampu : Sudarto, M.Pd.I.





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2016

                                                               


KATA PENGANTAR


Tiada kata terindah yang terucap selain rasa syukur kepada Allah, sang Kholik yang maha mengetahui dan menghendaki segalanya. Dan kami panjatkan puji syukur atas segala kenikmatan yang telah Allah berikan kepada kita, dari mulai nikmat iman, islam dan sehat jasmani serta rohani. Aamiin

Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada nabi Muhammad SAW, sang revolusioner sejati yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh ilmu ini dan yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di yaumul qiyamah nanti, semoga kita termasuk kedalam golongan yang mendapatkan syafa’atnya. Aamiin

Alhamdulillah berkat ridho-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dan kami mengucapakan terimakasih banyak kepada teman-teman yang telah membantu kami dalam mengerjakan makalah ini.




14 Juni 2016


Penyusun




BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Meskipun barangkali sebagian di antara kita mengetahui tentang apa itu pendidikan, tetapi ketika pendidikan tersebut diartikan dalam satu batasan tertentu, maka terdapatlah bermacam-macam pengertian yang diberikan. Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.

Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.

Pendidikan merupakan fenomena manusia yang fundamental, yang juga mempunyai sifat konstruktif dalam hidup manusia. Karena itulah kita dituntut untuk mampu mengadakan refleksi ilmiah tentang pendidikan tersebut, sebagai pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang dilakukan, yaitu mendidik dan dididik.

Secara historis, pendidikan jauh lebih tua dari ilmu pendidikan, sebab pendidikan telah ada sejak adanya manusia. Sedangkan ilmu pendidikan baru lahir kira-kira abad ke-19. Sebelum adanya ilmu pendidikan manusia melakukan tindakan mendidik didasarkan atas pengalaman, intuisi dan kebijaksanaan.

Sedangkan, kata Akhlak berasal dari bahasa arab khuluq yang jamaknya akhlak.Secara etimologi (lughah) akhlak berarti perangai, tabiat, budi pekerti, dan watak (Poerwadarminto, 1985:25). Sedangkan secara istilah akhlak penulis artikan sebagai semua ucapan, sikap dan tindakan orang yang berakal sehat sebagai cerminan jiwanya secara spontanitas, tanpa rekayasa dan dilakukan secara berulang-ulang.

a.       Imam al-Ghazali

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”

b.      Ibrahim Anis

“ Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Pendidikan Islam?

2.      Bagaimana konsep pendidikan akhlak?

3.      Bagaimana biografi  KH. Bisri Musthofa?

4.      Bagaimana tujuan pendidikan akhlak KH. Bisri Musthofa?

5.      Bagaimana kurikulum pendidikan akhlak KH.Bisri Musthofa?

6.      Bagaimana program pendidikan akhlak KH. Bisri Musthofa?

7.      Bagaimana evaluasi pendidikan akhlak KH. Bisri Musthofa?

8.      Bagaimana analisis pendidikan akhlak KH. Bisri Musthofa?

9.      Bagaimana konsep ideal pendidikan akhlak KH. Bisri Musthofa?

C.     Tujuan

1.         Dapat menjelaskan Pendidikan Islam

2.         Dapat menjelaskan konsep pendidikan akhlak

3.         Dapat menjelaskan biografi  KH. Bisri Musthofa

4.         Dapat menjelaskan tujuan pendidikan akhlak KH. Bisri Musthofa

5.         Dapat menjelaskan kurikulum pendidikan akhlak KH.Bisri Musthofa

6.         Dapat menjelaskan program pendidikan akhlak KH. Bisri Musthofa

7.         Dapat menjelaskan evaluasi pendidikan akhlak KH. Bisri Musthofa

8.         Dapat menganalisis pendidikan akhlak KH. Bisri Musthofa

9.         Dapat menjelaskan konsep ideal pendidikan akhlak KH. Bisri Musthofa


BAB II

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK

A.    Pendidikan Islam

Tentang pendididkan Islam, sebenarnya perjalanan sejarahnya sangat panjang, sebab sudah ada semenjak agama Islam itu sendiri bercokol di bumi nusantara, kendatipun dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu dari pendidikan langgar, masjid, pesantren, sampai madrasah.[1]

Membicarakan tentang perguruan agama Islam ini menjadi sangat penting, tidak saja bagi umat Islam yang memang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia, tetapi juga dalam konteks secara nasional. Perguruan agama Islam inilah cikal bakal lahirnya pendidikan nasional.

Dalam sejarahya, sebelum pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Baratnya yang modern, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia. Karena itulah pesantren ini merupakan “Bapak” pendidikan (termasuk Islam) di Indonesia.[2]

Meskipun kenyataannya demikian, dalam kaitan ini penulis hanya berusaha memaparkan secara kronologis dan singkat tentang perjalanan sejarah perguruan agama Islam tersebut sejak abad ke 19. Tentang mengapa dimulai abad ke 19 sebab saat ini merupakan babakan baru mengenai kondisi pendidikan Islam di Indonesia, di mana pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sejak saat itu begitu pesatnya, serta pengelolaannya pun sudah terorganisasi rapi. Kondisi demikian terjadi di antaranya karena:

1.      Sudah mulai masuknya pemikiran-pemikiran pembaruan dari Timur Tengah, dan

2.      Mendapat saingan dari pendidikan modern oleh pemerintah kolonial Belanda.

Berikut ini diuraikan secara singkat bagaimana perjalanan historis perguruan Islam sejak abad XIX dimaksud.

1.      Perkembangan Agama Islam Abad XIX dan Kelahiran Lembga-Lembaga Islam di Bidang Pendidikan

Sebenarnya masa ini merupakan masa menghebatnya usaha-usaha pemerintah kolonial Belanda untuk menekan umat Islam Indonesia dengan berbagai cara, dari mempersulit masalah perizinan sampai pelarangan berdakwah atau menyelenggarakan pengajaran pendidikan Agama Islam. Namun, nyatanya kondisi demikian bukan mematikan semangat umat Islam Indonesia, tetapi justru umat Islam semakin termotivasi mengembangkan dakwah dan perjuangannya.

Pada masa ini cukup banyak perubahan bagi ummat Islam di Indonesia, antara lain disebabkan sudah banyaknya orang yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sekembalinya dari berhaji tersebut mereka membawa paham atau pikiran-pikiran baru yang berbau pembaruan. Dampaknya dalam dunia pendidikan Islam yang sangat dirasakan antara lain:

a.       Perubahan sistem pengajaran dari perorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal;

b.       Pemberian pengetahuan umum di samping pengetahuan agama dan Bahasa Arab.[3]

Diantara para ulama’ yang berjasa dalam upaya pengembangan penddikan Islam, terutama dari model lama di pesantren tradisional yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama ke sistem madrasah ialah sebagai berikut:

a.       Syekh Abdullah Ahmad

Beliau adalah pendiri Madrasah Adabiyah di Padang (Sumatra Barat) tahun 1909. Madrasah ini merupakan madrasah pertama di Indonesia. Madrasah Adabiyah pada mulanya bercorak agama semata, baru pada tahun 1915 ketika menjadi HIS ( Holand Inland School) Adabiyah dimasukkan pelajaran umum kedalamnya.

b.      Syekh M. Thaib Umar

Beliau adalah pendiri Madrasah School di Batusangkar tahun 1910. Di Madrasah School, sebagaimana layaknya sistem sekla, murid-murid tidak lagi duduk bersila secara berhalaqah, melainkan duduk berjajar, menggunakan meja, kursi dan papan tulis. Dengan kata lain Madrasah School telah memperkenalkan sistem belajar modern. Di samping itu, kurikulumnya pun tidak hanya terbatas kepada mata pelajaran agama, di antara mata pelajaran umum yang diberikan di sekolah ini adalah berhitung dan Aljabar, Sayangnya pembaruan pendidikan yang diperkenalkan Muhammad Thaib Umar masih terlalu modern bagi masyarakat Minangkabau saat itu. Terbukti Madrasah School hanya mampu bertahan kurang dari empat tahun. Pada tahun 1914 Muhammad Thaib Umar terpaksa menutup madrasah modernnya.[4]

c.       Rahman el Yunusiyah

Beliau mendirikan Madrasah Diniyah putri di Padang Panjang pada tanggal 1 November 1923. Perguruan agama ini khusus mendidik putra-putri daam ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum.

Tujuan perguruan ini adalah untuk menghasilkan calon ibu rumah tangga yang berpendidikan, sehingga dapat menangani tugas-tugas pendidikan baik di rumah, sekolah, dan dalam masyarakat sebagaimana yang tertuan dalam tujuan perguruan yaitu: Perguruan Diniyah Putri melaksanakan pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas ajaran Islam dan ibu pendidikan yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah.[5]

d.      K.H.A. Wahab Hasbullah dan K.H Mas Mansur

Mereka mendirikan Madrasah Taswirul Afkar tahun 1914. Madrasah ini juga di samping memberikan pengetahuan agama diberikan pula pengetahuan umum.

e.       K.H Hasyim Asy’ari

Beliau mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang, Jawa Timur tahun 1916.

f.       K.H Ahmad Dahlan

Lewat organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan pada 18 November 1912, mendirikan berbagai lembaga pendidikan dengan menggunakan sistem modern, dengan memadukan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidiannya.

g.      Dan lain-lain

Selain yang bersifat perorangan tersebut, terdapat banyak organisasi Islam yang lahir dan bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial kemasyarakatan seperti berikut in:

a.       Muhammadiyah



B.     Konsep Pendidikan Akhlak

1.      Pengertian Akhlak

Kata akhlak berasal dari Bahasa Arab khuluq yang jama’nya akhlak. Secara etimologi (lughah) akhlak berarti perangai, tabiat, budi pekerti tabiat, budi pekerti, dan watak (Poerwadarminto, 1985:25). Sedangkan secara istilah akhlak penulis artikan sebagai semua ucapan, sikap dan tindakan orang yang berakal sehat sebagai cerminan jiwanya secara spontanitas, tanpa rekayasa dan dilakukan secara berulang-ulang.

Apabila kita hubungkan arti akhlak dengan kata khalq, khalq dan makhluq, maka

Berikut pengertian akhlak menurut beberapa ahli, diantaranya:

c.       Imam al-Ghazali

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”

d.      Ibrahim Anis

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”

e.       Abdul Karim Zaidan

“Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan pimbangan seseorang dapat menilai perbuatan baik atau buruk, untuk kemudian melakukan atau meninggalkannya.”

                     


2.      Ilmu Akhlak

3.      Pembagian Akhlak

4.      Hak Kewajiban dan Ruang Lingkup

5.      Karakteristik

6.      Tujuan Pendidikan Akhlak

7.      Materi Pendidikan Akhlak

8.      Pendidikan dan Peserta Didik


9.      Metode Pendidikan Akhlak

BAB III

SEKILAS KH. BISRI MUSTHOFA

A.    Biografi

KH. Bisri Musthofa merupakan satu di antara sedikit ulama Islam Indonesia yang memiliki karya besar. Beliaulah sang Pengarang kitab tafsir al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir Al-Qur’an al-‘Aziz. Kitab tafsir ini selesai beliau tulis pada tahun 1960 dengan jumlah halaman setebal 2270 yang terbagi ke dalam tiga jilid besar. Masih banyak karya-karya lain yang dihasilkan KH. Bisri Musthofa, dan tidak hanya mencakup bidang tafsir saja tetapi juga bidang-bidang yang lain seperti tauhid, fiqh, tasawuf, hadits, tata bahasa Arab, Sastra Arab, dan lain-lain.

Selain itu, KH. Bisri Musthofa juga dikenal sebagai seorang orator atau ahli pidato. Beliau, menurut KH. Saifuddin Zuhri, mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit sehingga menjadi begitu gamblang, mudah diterima semua kalangan baik orang kota maupun desa. Hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan, sesuatu yang kelihatannya sepele menjadi amat penting, berbagai kritiknya sangat tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan, serta pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyenangkan.[6]

KH. Bisri Musthofa dilahirkan di desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1915 dengan nama asli Masyhadi. Masyhadi adalah anak pertama dari empat bersaudara, yaitu Masyhadi Salamah (Aminah), Misbah dan Khatijah. Selain itu, pasangan ini juga mempunyai anak tiri dari suami istri sebelumnya. Sebelum menikah dengan Zainal Musthofa menikah dengan Khatijah, beliau menikah dengan Dalimin, dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ahmad dan Tasmin.

H. Zainal Musthofa adalah anak dari Podjojo atau H. Yahya. Sebelumnya, H. Zainal Musthofa bernama Djaja Ratiban, yang kemudian terkenal dengan sebutan Djojo Musthopo. Beliau merupakan seorang pedagang kaya dan bukan seorang kyai. Akan tetapi, beliau merupakan orang yang sangat mencintai para kyai dan alim ulama’, di samping orang yang sangat dermawan. Dari keluarga ibu Mashadi masih mempunyai darah keturunan Makassar, karena Khatijah merupakan anak dari pasangan Aminah dan E. Zajjadi. E. Zajjadi adalah kelahiran Makassar dari ayah bernama E. Sjamsuddi dan Ibu Datuk Djijah.[7]

Pada tahun 1923 Masyhadi diajak oleh bapaknya untuk ikut bersama-sama sekeluarga menunaikan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah Haji. Rombongan sekeluarga itu adalah H. Zainal Musthofa, Khadijah, Masyhadi (umur 8 tahun), Salamah (umur 5 tahun setengah), Misbah (umur 3 tahun setengah) dan Ma’sum (umur 1 tahun). Kepergian ke tanah suci itu dengan mengunakan kapal haji milik Hasan Imazi Bombay dan naik dari pelabuhan Rembang. Dalam menunaikan ibadah haji tersebut, H. Zainal Musthofa sering sakit-sakitan. Sampai menginap wukuf di Arafah, menginap di Mina.Tawaf dan Sa’i juga dalam keadaan sakit. Sehingga beliau harus ditandu. Selesai ibadah haji dan hendak berangkat ke Jeddah untuk pulang ke Indonesia, H. Zainal Musthofa dalam keadaan sakit keras.

Disaat sirine kapal berbunyi sebagai tanda kapal akan segera diberangkatkan. Wafatlah sang ayah (H. Zainal Musthofa) dalam usia 63 tahun. Jenazahnya kemudian diserahkan kepada seorang Syekh dengan menyerahkan uang Rp. 60 untuk ongkos dan sewa tanah pemakaman.[8] Sehingga keluarga tidak tahu di mana makam almarhum H. Zainal Musthofa. Sejak pulang dari ibadah haji mengganti namanya dengan nama Bisri.[9] Kemudian akrab dengan sebutan Bisri Musthofa.

Sejak ayahandanya wafat pada tahun 1923 merupakan babak kehidupan baru bagi Bisri Musthofa. H. Zuhdi kakak tirinya kemudian mendaftarkan Bisri ke sekolah HIS (Hollans Inlands School) di Rembang. Pada waktu itu di Rembang terdapat tiga macam sekolah, yaitu:

1.      Eropese School, di mana muridnya terdiri dari anak-anak priyayi tinggi, seperti anak-anak Bupati, asisten residen dan lain-lain

2.      HIS (Hollans Inlands School). Di mana muridnya dari anak-anak pegawai negeri yang penghasilannya tetap. Uang sekolahnya sekitar Rp. 3,- sampai Rp. 7,-.

3.      Sekolah Jawa (Sekolah Ongko Loro), di mana muridnya terdiri anak-anak kampung, anak pedagang, anak tukang. Biaya sekolahnya sekitar Rp. 0,1- sampai Rp. 1,25,-.[10]

Bisri Musthofa di terima di sekolah HIS, sebab beliau diakui sebagai keuarga Raden Sudjono, Mantri guru HIS yang bertempat tinggal di Sawahan Rembang, Jawa Tengah dan merupakan tetanga keluarga Bisri Musthofa. Akan tetapi, setelah Kyai Cholil Kasingan mengetahui bahwa Bisri Musthofa sekolah di HIS, maka beliau langsng datang ke rumah H. Zuhdi di Sawahan dan memberi nasehat untuk membatalkan dan mencabut dari pendaftaran masuk sekolah di HIS. Hal ini dilakukan karena Kyai Cholil mempunyai alasan bahwa HIS adalah sekolah milik penjajah Belanda yang dikhususkan bagi para pegawai negeri yang berpenghasilan tetap. Sedangkan Bisri Musthofa sendiri hanya anak seorang pedagang dan tidak boleh mengaku atau diakui sebagai keluarga orang lain hanya bisa untuk belajar disana. Kebencian kyai Cholil dengan penjajah Belanda mempengaruhi dalam keputusan ini.

Beliau sangat khawatir kelak Bisri Musthofa nantinya memiliki watak seperti penjajah Belanda jika beliau masuk sekolah di HIS. Selain itu Kyai Cholil juga menganggap bahwa masuk sekolah di sekolahan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Kemudian Bisri Musthofa masuk di sekolah Ongko 2, Beliau menyelesaikan sekolah selama tiga tahun dan lulus mendapatkan sertifikat.

Sebelum berangkat sekolah Ongko 2, Bisri Musthofa biasnya belajar mengaji al-Qur’an kepada Kyai Cholil Sawahan. Dan setelah beliau masuk sekolah Ongko 2 beliau tidak bisa mengaji lagi karena waktunya bersamaan. Oleh karena itu, beliau memilih mengaji kepada kakaknya yaitu H. Zuhdi.

Pada tahun 1925 Bisri Musthofa bersama-sama dengan H. Muslich (Maskub) oleh kakaknya H.Zuhdi diantar ke Pondok Pesantren Kajen, pimpian Kyai Chasbullah untuk mondok bulan puasa. Akan tetapi, baru tiga hari mereka mondok, Bisri Musthofa tidak kerasan, Akhirnya mereka pulang ke Rembang. Setelah lulus sekolah di Ongko 2 pada tahun 1926 Bisri Musthofa diperintah oleh H. Zuhdi untuk turut mengaji dan mondok pada Kyai Cholil Kasingan. Pada awalnya Bisri Musthofa tidak minat belajar di Pesantren. Sehingga hasil yang dicapai dalam awal-awal mondok di Pesantren Kasingan sangat tidak memuaskan.[11]

Hal tersebut disebabkan oleh:

1.Kemauan belajar di Pesantren tidak ada, karena beliau merasa pelajaran yang di ajarkan di Pesantren sangat sulit, seperti; nahwu, shorof dan lain-lain.

2.Bisri Mustofa menganggap kyai Cholil adalah sosok yang galak dan keras. Sehingga beliau merasa takut apabila tidak dapat menghafal atau memahami apa yang diajarkan pasti akan mendapat hukuman.

3.Kurang mendapat tanggapan yang baik dari teman-teman Pondok.

4.Bekal uang Rp. 1,- setiap minggunya dirasa kurang cukup.

Setelah tidak kerasan maka Bisri Mustofa berhenti mondok dan selalu main-main dengan teman-teman sekampungnya. Kemudian beliau tidak mondok beberapa bulan, maka pada permulaan tahun 1930 Bisri Mustofa diperintahkan untuk kembali lagi ke Kasingan untuk belajar mengaji dan mondok pada kyai Cholil. Bisri Mustofa kemudian dipasrahkan oleh ipar kyai Cholil yang bernama Suja’i. Di Pesantren itu, Bisri Mustofa tidak langsung mengaji kepada kyai Cholil. Akan tetapi beliau terlebih dahulu belajar mengaji kepada Suja’i.

hal ini dilakukan selain Bisri Mustofa belum siap mengaji langsung kepada kyai Cholil juga untuk membuktikan kepada teman-temannya bahwa beliau akan mampu dan untuk mempersiapkan diri nantinya mengaji secara langsung kepada kyai Cholil. Bisri Musthofa tidak diajarkan kitab-kitab yang macam-macam, tetapi beliau hanya diajarkan kitab Alfiyah Ibnu Malik.[12] Sehingga setiap hari yang dipelajari hanya satu kitab itu saja. Pada akhirnya Bisri Mustofa menjadi santri yang sangat menguasai kitab tersebut.

Setelah selama dua tahun beliau mempelajari kitab Alfiyah maka ketika ada pengajian kitab Alfiyah oleh kyai Cholil sendiri, maka Suja’i mengizinkan Bisri Mustofa untuk ikut serta dalam pengajian tersebut dan diharuskan untuk duduk paling depan agar lebih paham serta dapat dengan cepat menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan oleh kyai Cholil. Setiap ada pertanyaan dari kyai Cholil, maka Bisri Mustofa lah santri pertama yang ditanya dan dengan mudah beliau menjawab pertanyaan.

Sehingga mulai saat itu teman-teman santri mulai memperhitungkan seorang Bisri Mustofa dan selalu menjadi tempat rujukan teman-temannya apabila mendapat kesulitan pelajaran.[13] Satu tahun kemudian Bisri Mustofa mulai ikut mengaji kitab Fathul Mu’in. beliau mempelajarinya secara sungguh-sungguh sebagai mana beliau mempelajari Alfiyah. Setelah selesai belajar kedua kitab tersebut (Alfiyah dan Fathul Mu’in, maka barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang lain, Seperti: Fathul Wahhab,Iqna’, Jami’ul Jawami’, Uqudul Juman dan lain-lain.

Sejak tahun 1933 Bisri Mustofa sudah dipandang sebagai santri yang memiliki kelebihan. Sehingga teman-temannya yang lain selalu menjadikan sebagai rujukan. Pada tahun itu pula adiknya (Misbah) dimasukkan juga di pondok Kasingan. Sehingga biaya hidup pun menjadi bertambah. Oleh H. Zuhdi beliau dikasih uang Rp. 1,75,- untuk biaya hidup dua orang. Karena merasa kurang cukup maka Bisri Mustofa nyambi jualan kitab yang beliau ambil dari toko kakaknya H. Zuhdi, keuntungan dari penjualan tersebut dijadikan tambahan untuk biaya di pondok.[14]

Pada tahun 1932 Bisri Mustofa minta restu kepada kyai Cholil untuk pindah ke Pesantren Termas yang diasuh oleh kyai Dimyati. Pada tahun itu kebanyakan teman-teman Bisri Mustofa melanjutkan mengaji ke Termas, seperti Thoyib, Fatchur Rachman dan Anwar. Permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh sang kyai. Bahkan kyai Cholil dengan nada lantang dan keras melarang Bisri Mustofa untuk ke Termas. Beliau mengatakan bahwa di Kasingan pun Bisri Mustofa tidak akan bisa menghabiskan ilmu yang diajarkan. Bisri Mustofa tidak boleh ikut-ikutan dan meniru teman-temannya yang mau mengaji ke Termas. Kyai Cholil tidak meridhoi Bisri Mustofa untuk pergi ke Termas.

Akhirnya Bisri Mustofa menuruti titah sang kyai dengan tidak jadi pergi ke Termas. Beliau tidak berani melanggar titah kyai Cholil. Kemudian Bisri Mustofa tetap tinggal di Kasingan. Akhirnya pada bulan Sya’ban tahun 1934 Bisri Mustofa diajak oleh kyai Cholil ke Tuban Jawa Timur. Kepergian tersebut tidak jelas dan kenapa Bisri Mustofa diajak. Setelah sampai di Jenu, di rumah kyai Husain, kyai Cholil berkata kepada Bisri Mustofa:”Engkau mau tidak saya akui sebagai anak saya dunia akhirat?”, tentu saja Bisri Mustofa langsung menjawab; “Ya mau Syaikhuna”.

Kyai Cholil terus berkata: “Kalau begitu engkau harus patuh kepadaku”. Bisri Mustofa pun diam sebagai tanda tidak menolak. Kemudian kyai Cholil berkata lagi: “Engkau akan saya nikahkan dengan putri kyai Murtadho Makam Agung Tuban. Putrinya itu ayu, manis dan bapaknya kyai Murtadho adalah seorang kyai yang alim, beruntung engkau menjadi menantunya”. Akan tetapi Bisri Mustofa memberanikan diri untuk menolak perintah untuk menikah itu. Beliau merasa belum pantas untuk menikah, karena ilmu yang beliau dipelajari masih sangat kurang. Kyai Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri Mustofa akan dikawinkan dengan putri seorang kyai besar dan alim agar nantinya beliau menjadi seorang alim juga.[15]

Tanpa diberikan kesempatan menjawab, Bisri Mustofa langsung diajak ke rumah kayai Murtadho Tuban. Di tempat situ sepertinya sudah dipersiapkan segala hal untuk menerima tamu kyai Cholil dan Bisri Mustofa yang akan melakukan khit}bah kepada kyai Murtadho. sesampai di rumah tujuan, Bisri Mustofa merasa beruntung karena sang putri yang akan dikhit}bah ternyata lari dan bersembunyi ketika melihatnya. Hal ini yang dijadikan alasan Bisri Mustofa untuk menolak perintah menikah. Tetapi kyai Cholil sudah melakukan perundingan dengan kyai Murtadho bahwa keputusan menikahkan Bisri Mustofa dengan putri kyai Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan juga pada tanggal 7 bulan Syawal tahun 1934, kyai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama putrinya untuk Khitbah dan dilangsungkan dengan pernikahan.

Pada tanggal 3 Syawwal 1934 Bisri Mustofa dengan ditemani Mabrur meninggalkan Rembang tanpa pamit kepada siapa pun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penolakan dari perintah nikah. Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang, Kaliwungu, Kendal dengan berbekal uang pas-pasan. Setiap mereka mampir ke tempat teman atau orang tua teman, mereka diberi tambahan bekal. Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih.

Rantauan yang paling lama mereka tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon  Kendal. Setelah satu bulan lebih lamanya mereka pulang ke Rembang. Bisri Mustofa langsung menghadap kyai Cholil dan meminta maaf atas perlakuannya tersebut. Dijabatnya tangan kyai Cholil, tetapi tanpa sepatah kata pun yang terucap dari mulut kyai Cholil. Waktu Bisri Mustofa mau pamit kembali, beliau pun menjabat tangan kyai Cholil. Tetapi sang kyai masih saja berdiam diri. Seperti biasanya Bisri Mustofa mengikuti kembali pelajaranpelajaran di Pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri Mustofa sama sekali tidak ditanya oleh kyai Cholil sebagai mana biasanya.[16]

Hal ini membuat Bisri Mustofa merasa dikucilkan oleh kyai Cholil. Kejadian tersebut berlangsung selama setahun lebih dan berakhir dengan berita yang menurut Bisri Mustofa sungguh di luar dugaan. Berita itu adalah keinginan kyai Cholil untuk mengambil Bisri Mustofa sebagai menantunya. Bisri Mustofa akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Ma’rufah.

Berita tersebut beliau dapat dari ibunya ketika beliau pulang ke rumah Sawahan. Ibunya menceritakan bahwa kyai Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri Mustofa untuk dijadikan sebagai menantunya. Bisri Mustofa kemudian mengalami sebuah kebingungan serta kebimbangan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat Ibu dan keluarganya, termasuk kakaknya H. Zuhdi menyetujuinya maka hati Bisri Mustofa menjadi mantap dan setuju untuk menikah.

Sehingga setelah segala sesuatunya dipersiapkan maka pada tanggal 7 Rajab 1354 H. atau bertepatan dengan bulan Juni 1935 dilaksanakan sebuah akad nikah antara Bisri Mustofa dengan Ma’rufah binti kyai Cholil. Pada waktu itu Bisri Mustofa berusia 20 tahun dan Ma’rufah berusia 10 tahun.

Setelah menikah status Bisri Mustofa menjadi menantu dari kyai Cholil (pengasuh pondok Kasingan). Sehingga beliau harus ikut membantu mengajar kitab-kitab kepada para santri. Pada bulan Sya’ban pada tahun perkawinan Bisri Mustofa dengan Ma’rufah yaitu tahun 1935, kyai Cholil memerintahkan Bisri Mustofa untuk turut khataman kitab Bukhari Muslim.

Kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng Jombang Jawa Timur. Pengajian mulai tanggal 21 Sya’ban 1354 H., tetapi yang dibaca kitab Muslim dan Tajrid Bukhari. Pada tanggal 10 Ramadhan 1354 H. KH Hasyim Asy’ari jatuh sakit dan pengajiannya dilanjutkan oleh KH Ilyas untuk meneruskan pengajian kitab Muslim dan KH Baidhowi untuk meneruskan pengajian kitab Tajrid Bukhari.

Sebagaimana telah diketahui Bisri Mustofa telah menjadi menantu kyai Cholil. Menjadi menantu kyai enak-enak susah. Bagi yang pintar memang enak karena bisa langsung ikut mengajar. Tetapi bagi yang ilmunya pas-pasan adalah suatu masalah yang susah dan membingungkan. Hal ini yang dipahami oleh  Bisri Mustofa. Para santri menganggap sebagai orang yang pintar dan menguasai banyak ilmu. Akan tetapi, Bisri Mustofa sendiri merasa bahwa beliau belum mampu dan belum cukup ilmu. Akan tetapi para santri tidak percaya dan menganggap hal itu dilakukan oleh Bisri Mustofa sebagai bentuk sikap yang tawaddhu’.

Terlebih dengan telah wafatnya kyai Dimyati Termas, maka banyak santri-santri dari sana yang pindah ke Kasingan untuk melanjutkan mengaji. Kebanyakan mereka meminta untuk mengaji kepada Bisri Mustofa dengan kitab-kitab yang belum pernah Bisri Mustofa pelajari. Akhirnya Bisri Mustofa menggunakan prinsip belajar candak kulak (belajar sambil mengajar). Beliau belajar atau bermusyawarah membaca kitab di Karanggeneng bersama kyai Kamil dan kyai Fadholi. Hasil musyawarah tersebutlah yang diajarkan kepada para santrinya. Sehingga jadwal mengaji di Pesantren harus disesuaikan dengan jadwal musyawarah Bisri Mustofa di Karanggeneng. Jika di Karanggeneng libur maka di Kasingan pun juga ikut libur Bisri Mustofa kehabisan bahan.

Tidak betah dengan model candak kulak, Bisri Mustofa ingin meninggalkan Rembang untuk belajar lagi dan memperdalam ilmu. Sehingga ketika musim haji tiba, Bisri Mustofa nekat pergi ke Mekkah dengan uang tabungan dan hasil jual kitab Bijurumi Iqna’, kitab milik kyai Cholil, kyai Cholil memberikan izin kepada Bisri Mustofa dan membantu biaya keberangkatan dengan menjual kitab tersebut. Harga tiket berangkat haji waktu itu Rp. 185,-.

Pada tahun 1936 berangkatlah Bisri Mustofa ke Mekkah untuk ibadah haji tanpa bekal yang cukup. Selama di Mekkah beliau menumpang di rumah Syaikh Chamid Said sebagai khadam atau pembantu. Menjelang rombongan haji pulang ke tanah air, Bisri Mustofa sedih teringat bahwa dirinya menjadi menantu seorang kyai dengan ilmu yang sangat pas-pasan. Sehingga bersama dua orang temannya, yaitu; Suyuthi Cholil dan Zuhdi dari Tuban, Bisri Mustofa memutuskan bermukim untuk memperdalam ilmunya di Mekkah. Di sinilah Bisri Mustofa berguru pada kyai Bakir, Syaikh Umar Chamdan al Maghribi, Syekh Maliki, sayyid Amin, Syekh Hasan Masysyat, Sayyid Alawai, dan Kyi ‘Abdul Muhaimin.

Selama setahun  Bisri Mustofa belajar di Mekkah. Pada musim haji berikutnya Bisri Mustofa mendapat surat dari kyai Cholil yang isinya bahwa beliau hares segera pulang kembali ke Rembang. Jika Bisri Mustofa tidak mau pulang maka tidak akan diakui sebagai anak dunia akhirat. Dengan berat hati akhirnya Bisri Mustofa bersama kedua temannya pulang kembali ke Rembang pada tahun 1937 M. Status Bisri Mustofa menjadi menantu dari kyai Cholil (pengasuh pondok Kasingan) membuat beliau harus ikut membantu mengajar kitab-kitab kepada para santri. Apalagi pada tahun 1937 setelah Bisri Mustofa kembali dari Mekkah, maka tugas dan waktu mengajarnya semakin bertambah. Bisri Mustofa merasa puas atas pengajaran yang beliau sampaikan dapat mudah dipahami oleh para santri.

Hal tersebut berjalan sampai satu setengah tahun. Kemudian datanglah musibah yang besar, yaitu pada tanggal Rabius tsani, 1358 H. (1939 M.), mertua dan sekaligus gurunya yaitu Syaikhuna kyai Cholil wafat. Selanjutnya tanggung jawab sebagian besar mengurus Pesantren menjadi tanggung jawab Bisri Mustofa di samping yang lain.[17]





B.     Tujuan Pendidikan Akhlak KH. Bisri Musthofa

C.     Kurikulum Pendidikan Akhlak KH. Bisri Musthofa

D.    Program/ Progres Pendidikan Akhlak KH. Bisri Musthofa

E.     Evaluasi Pendidikan Akhlak KH. Bisri Musthofa

BAB IV

ANALISIS

A.    Analisis Pendidikan Akhlak KH. Bisri Musthofa

B.     Konsep Ideal Pendidikan Akhlak KH. Bisri Musthofa

BAB V

PENUTUP

A.    Kesimpulan

B.     Saran


[1] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1985, hlm. 6;

[2] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hlm. 2.

[3] Ibid., hlm. 168.

[4] Tim IAIN Syarif Hidayatullah, ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm 944.

[5] Ibid., hlm. 585

[6] Saifuddin Zuhri : 1983, 27

[7] Mata Air Syndicate, Para Pejuang Dari Rembang  (Rembang: Mata Air Press, 2006), h. 4

[8] Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa (Yogyakarta:

PT. LkiS Pelangi Aksara, 2005), cet. I, h. 9-10

[9] Ibid 2

[10]Achmad Zainal Huda, op. cit., h. 10-11

[11] Ibid 4

[12] Ibid. Hlm, 342

[13] Achmad Zainal Huda, op. cit., h. 14

[14] Ibid. Hlm, 162

[15] Ibid. Hlm, 16

[16] Ibid. Hlm, 18

[17] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid I (Bandung: Salamadani, 2010), h. 30

Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter