-->

Makalah Khiyar

Post a Comment

MAKALAH  KHIYAR


BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang

Disadari ataupun tidak, kita sering melaksanakan khiyar dalam kehidupan sehari-hari. Yakni dalam proses jual-beli. Misalnya saja, dikala kita membeli baju atau barang yang lain tetapi dikala dibawa ke rumah barang itu tidak tidak sesuai dengan kebuthan kita / terdapat cacat pada barangnya  sehingga kita mengembalikan dan menukarnya kepada pedagang karena dikala membeli kita sudah ada perjanjian dengannya apabila tidak muat boleh dikembalikan. Hal itu yakni salah satu teladan daripada khiyar.

Khiyar yakni pemilihan di dalam melaksanakan janji jual beli apakah mau meneruskan janji jual beli atau mengurungkan / menarik kembali kehendak untuk melaksanakan jual beli. Dalam pertimbangan bisnis dan ekonomi khiyar ini menjadi penting karena dengan adanya khiyar orang yang melaksanakan transaksi bisnis yang berjual beli sanggup memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan tejadi penyesalan dikemudian hari karena merasa tertipu.


B.     Rumusan Masalah

1)      Apa pengertian Khiyar?

2)      Apa pengertian Khiyar Majelis?

3)      Apa pengaruh dari Khiyar Majelis?

4)      Bagaimana Masa berakhirnya Khiyar?


C.    Tujuan Penulisan

1)      Untuk menuntaskan kiprah makalah dari mata kuliah Fiqih Muamalat.

2)      Mengetahui dan memahami pengertian dari Khiyar.

3)      Mengetahui dan memahami pengertian Khiyar Majelis.

4)      Mengetahui efek dari Khiyar.

5)      Mengetahui masa berakhirnya Khiyar.


BAB II
PEMBAHASAN



A.    Pengertian Khiyar

Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya yakni menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi. Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya: Hak yang dimiliki orang yang melaksanakan perjanjian perjuangan untuk menentukan antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.[1]

Khiyar artinya “boleh menentukan antara dua, meneruskan janji jual beli atau mengurugkan (menarik kembali, tidak jadi dijula beli)”. Diadakan khiyar oleh syara’ semoga kedua orang tadi yang berjual beli sanggup memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan tejadi penyesalan dikemudaian hari karena merasa tertipu.[2]

Khiyar yaitu pemilihan di dalam melaksanakan janji jual beli apakah mau meneruskan janji jual beli atau mengurungkan/ menarik kembali kehendak untuk melaksanakan jual beli.[3]

Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang melaksanakan transaksi perdata semoga tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknnya. Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi semoga kedua orang yang berjual beli sanggup memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu.[4]

Jadi, hak khiyar itu ditetapkan dalam Islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melaksanakan jual beli. Dari satu segi memang khiyar (memilih) ini tidak mudah karena mengandung arti ketidakpastian suatu transaksi, namun dari segi kepuasan pihak yang melaksanakan transaksi, khiyar ini yaitu jalan terbaik.


1.      Syarat Khiyar

a.       Pendapat ulama’ perihal syarat khiyar dalam orang yang menjual terhadap dirinya sendiri.

Imam Syafi’i beropini :

·         Kepemilikan mabi’ msih ditangguhkan

·         Berpindahnya kepemilikan dan jatuhnya khiryar

·         Kepemilikan bisa berpndah dengan terjadinya akad.

·         Waktunya harus tiga hari


2.      Dasar Hukum atau Landasan Khiyar dalam Jual Beli

Adapun landasan khiyar sebagai berikut :

a.       Al-Qur’an surat :

يا ايَّهَا الّذِيْنَ اَمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَاطِلِ اِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَضٍ مِّنْكُمْ (النساء, 4. 29)


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janglah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”[5]


b.      Al-Hadist

البَيْعَانِ بِا لْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا, فَاِنْ صَدَّقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا وَاِنْ كَتَمَا وَكَذَّبَا مُحِقَّتْ بَرْكَةُ بَيْعِهِمَا (رواه البخاري ومسلم)


Artinya : “Dua orang yang melaksanakan jual beli boleh melaksanakan khiyar selama belum berpisah. Jika keduanya benar dan terang maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka. Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka akan dimusnahkanlah keberkahan jual beli mereka”. (HR.Bukhori Muslim)


c.       Ijma’ Ulama’

Status Khiyar dalam pandangan ulama Fiqh yakni disyariatkan atau dibolehkan, karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melaksanakan transaksi.[6]


Di masa modern yang serba canggih, dimana sistem jual beli semakin gampang dan praktis, persoalan khiyar ini tetap diberlakukan, hanya tidak memakai kata-kata Khiyar dalam mempromosikan barang-barang yang dijualnya, tetapi dengan ungkapan singkat dan menarik, misalnya: “Teliti sebelum membeli”. Ini berarti bahwa pembeli diberi hak Khiyar (memiih) dengan hati-hati dan cermat dalam menjatuhkan pilihannya untuk membeli, sehingga ia merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan.


3.      Fungsi Khiyar

Fungsi khiyar yakni supaya kedua orang yang berjual beli sanggup memikirkan lebih lanjut mengenai dampak positif atau negatifnya bagi mereka masing-masing. Dengan demikian diantara kedua belah pihak tidak akan terjadi penyesalan di belakang hari karena adanya penipuan, kesalahan, dan paksaan.[7]



4.      Pembagian Khiyar[8]

Pembagian khiyar sangat bermacam-macam pengelompokannya dan para ulama berbeda pendapat dalam membagi khiyar.

Ulama Malikiyah beropini bahwa khiyar majlis itu batal dan membagi khiyar menjadi dua bagian

a.       Khiyar at-taammul (melihat, meneliti), khiyar secara mutlak

b.      Khiyar naqish (kurang), apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang yang dijual (khiyar al-hukmy).


Ulama Syafi’iyah beropini bahwa khiyar terbagi menjadi dua

a.       Khiyar at-tasyahi, khiyar yang menimbulkan pembeli memperlama transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis ataupuan syarat.

b.      Khiyar Naqishah, khiyar yang disebabkan adanya perbedan dalam lafazh atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya penggantian.

Secara umum, khiyar masyhur dibagi menjadi tiga, yaitu:

a.       Khiyar Majlis, hak pilih kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis janji (di ruangan toko) dan belum berpisah badan

b.      Khiyar Syarat, khiyar yang terjadi dengan ketentuan kesepakatan ‘aqid dalam menentukan batas waktu untuk meneruskan atau membatalkan jual beli)

c.       Khiyar ‘Aib, keadaan yang membolehkan salah seorang janji yang mempunyai hak untuk membatalkan aqad atau menjadikannya dikala ditemukan malu (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui oleh pemiliknya waktu akad.


B.     Pengertian Khiyar Majlis

Majlis berasal dari fi’il madhi ” jalasa” yang berarti duduk kemudian dirubah ke isim makan “majlis” yang berarti kawasan duduk. Tempat duduk tersebut sanggup dijabarkan lagi menjadi kawasan transaksi. Jadi, khiyar majlis yakni khiyar yang dilakukan pada satu tempat. Mauqud ‘alaih (barang) menjadi sah milik penjual atau pembeli dikala keduanya sudah berpisah. Batasan satu kawasan tersebut berdasarkan jumhur ulama berdasarkan adat.

Seperti bencana berikut. Ronald penjual buku. Fagundez pembelinya. Di toko Ronald sudah ada tulisan, “Barang dihentikan dikembalikan sehabis meninggalkan lokasi toko”. Dengan ketentuan di atas, bila Fagundez jadi membeli buku maka Ronald sudah tidak bertanggung jawab terhadap buku tersebut dikala Fagundez meninggalkan toko dan buku tersebut sepenuhnya milik Fagundez. Jika Fagundez sempat menentukan buku dan kesudahannya tidak jadi membeli karena tidak setuju harga atau lainnya, maka buku tersebut tetap milik Ronald dan ia berhak menjual buku tersebut kepada orang lain.

Khiyar Majlis, yaitu hak pilih kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis janji (di ruangan toko) dan belum berpisah badan. Artinya, suatu transaksi gres di anggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan janji telah berpisah tubuh atau salah seorang di antara mereka telah melaksanakan pilihan untuk menjual dan/atau membeli. Khiyar menyerupai ini hanya berlaku dalam suatu transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi, menyerupai jual beli dan sewa-menyawa.[9]

Khiyar majlis sah menjadi milik si penjual dan si pembeli sejak dilangsungkannya janji jual beli sampai mereka berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar setelah dilangsungkannya janji jual beli atau seseorang di antara keduannya menggugurkan hak khiyarnya, sehingga hanya seorang yang mempunyai hak khiyar.[10]


عَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( إِذَا تَبَايَعَ اَلرَّجُلَانِ, فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعاً, أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ, فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدَ وَجَبَ اَلْبَيْعُ, وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا, وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا اَلْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ اَلْبَيْعُ] ( مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ [


“Dari Ibnu Umar Radliyallaah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila dua orang melaksanakan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, kemudian mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. Jika mereka berpisah setelah melaksanakan jual-beli dan masing-masing orang tidak mengurungkan jual-beli, maka jadilah jual-beli itu.”[MuttafaqAlaihi. Dan lafadznya berdasarkan riwayat Muslim.]


Begitu juga sabda nabi :

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( اَلْبَائِعُ وَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ حَتَّى يَتَفَرَّقَا, إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ, وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اِبْنَ مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ. وَفِي رِوَايَةٍ: ( حَتَّى يَتَفَرَّقَا مِنْ مَكَانِهِمَا (


“Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual-beli dibatalkan.” Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu al-Jarus.Dalam suatu riwayat: “Hingga keduanya meninggalkan kawasan mereka.”


Beberapa pendapat mengenai khiyar majlis yaitu sebagai berikut:

1.      Ulama Hanafiyah dan Malikiyah

Golongan ini beropini janji dengan adanya ijab qabul ini menjadi sangat penting tidak bisa hanya dengan khiyar. Selain itu juga janji tidak akan tepat kecuali dengan adanya keridaan, sebagaimana firman-Nya.

$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB … ÇËÒÈ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu…”


2.      Ulama Syafi’iyah dan Hanbali

Golongan ini beropini bila pihak yang janji menyatakan ijab dan qabul, janji tersebut masih mempunyai kesempatan untuk membatalkan, mrnjadikan, atau saling berpikir selama kedua orang tersebut masih berada di tempat.


Pendapat yang dianggap kuat, bahwa yang dimaksud berpisah diadaptasi dengan moral kebiasaan setempat.

Sedangkan berdasarkan ulama fikih khiyar majlis adalah:

اَنْ يَكُوْنَ لِكُلِّ مِنَ الْعَا قِدَيْنِ حَقٌّ فَسْحُ الْعَقْدِ مَادَامَ فِى مَجْلِسٍ الْعَقْدِ لَمْ يَتَفَرَّقَاَ بِاَبْدَانِهَايُخَيِّرُاَحَدُهُمَااْلا خَرَ فَيُخْتَارُ لُزُوْمُ اْلعَقْدِ.

Artinya : “Hak bagi semua pihak yang melaksanakan janji untuk membatalkan janji selagi masih berada ditempat janji dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling menentukan sehingga muncul kelaziman akad.”[11]


C.     Pengaruh Khiyar Majlis Terhadap Akad.

Tidak ada perbedaan di antara kalangan andal fiqih yang menyampaikan bolehnya khiyar majlis bahwa janji dengan khiyar ini yakni janji yang boleh, dan bagi masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk memfasakh atau meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak menentukan meneruskan akad. Namun kemudian mereka berbeda pendapat mengenai efek janji terhadap sahnya janji dari segi implementasi pengaruhnya secara langsung. Dengan bahasa lain apakah janji ini memindahkan hak milik dan seluruh turunannnya berupa hasil dan nafkah dan efek yang lain sebagai konsekuensi dari hak milik.[12]

D.    Masa Berakhirnya Khiyar[13]

1.       Memilih keduanya akan meneruskan aqad, apabila menentukan salah seorang dari pada keduanya akan terusnya janji habislah khiyar dari pihak dia, tetapi hak yang lain masih tetap.

2.       Dengan terpisah keduanya dan kawasan jual beli, arti berpisah, berdasarkan moral kebiasaan. Apabila moral telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah, tetaplah jual beli antara keduanya, kalau moral menyampaikan belum berpisah masih terbukalah pintu khiyar antara keduanya. Kalu keduanya berselisih umpamanya seseorang sudah menyampaikan sudah berpisah, sedang yang lain menyampaikan belum, hendaklah dibenarkan yang mengatkan belum dengan sumpahnya, karena yang asal belum berpisah.




BAB III

PENUTUP



A.    Kesimpulan

Khiyar yakni pemilihan di dalam melaksanakan janji jual beli apakah mau meneruskan janji jual beli atau mengurungkan / menarik kembali kehendak untuk melaksanakan jual beli. Dalam pertimbangan bisnis dan ekonomi khiyar ini menjadi penting karena dengan adanya khiyar orang yang melaksanakan transaksi bisnis yang berjual beli sanggup memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan tejadi penyesalan dikemudian hari karena merasa tertipu.

Khiyar Majlis, yaitu hak pilih kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis janji (di ruangan toko) dan belum berpisah badan.

Masa Berakhirnya Khiyar

1.      Memilih keduanya akan meneruskan aqad, apabila menentukan salah seorang dari pada keduanya akan terusnya janji habislah khiyar dari pihak dia, tetapi hak yang lain masih tetap.

2.      Dengan terpisah keduanya dan kawasan jual beli, arti berpisah, berdasarkan moral kebiasaan.


B.     Saran

Kami selaku penyusun sangat menyadari masih jauh dari tepat dan tentunya berbagai kekurangan dalam pembutan makalah ini. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan kami. Oleh karena itu, kami selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Kami juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya dan pembaca pada umumnya.



[1] Wahaba Al-Juhali, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, JUz IV, Damsyik: Dar Al-Fikr, 1989, hal. 250.

[2] Sulaiman Rasjid, fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo,  2002, hal. 286

[3] Sudarsono, Pokok – Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hal. 406.

[4] Abdul Rahman, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 98

[5] QS. An-Nisa’/4:29


[6] Amir Syarifuddin, Fiqh Muamalah, Jakarta: Pranada Media, 2005, ke-1, hal.213

[7] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, 2001, hal. 407

[8] http://alislamu.com/muamalah/11-jual-beli/262-bab-khiyar.html

[9] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

[10] Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz, Ensiklopedi Fiqih Islam Dalam Al-Qur’an dan As-Sunah As-Sahihah, Jakarta:Pustaka As-Sunnah, 2008.

[11] Wahaba Al-Juhali, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, JUz IV, Damsyik: Dar Al-Fikr, 1989, hal. 112.

[12]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih muamalat, Jakarta: Amzah, 2010,  hal 195

[13] H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1976, hal 275

Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter