-->

Makalah Tafsir Tarbawi Amar Ma'ruf Dan Nahi Mungkar Dan Hubungannya Dengan Pendidikan

Post a Comment

Makalah Tafsir Tarbawi Amar Ma'ruf Dan Nahi Mungkar Dan Hubungannya Dengan Pendidikan



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................          i
DAFTAR ISI..........................................................................................................         ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................         1
A.    Latar Belakang.............................................................................................         2
B.    Rumusan Masalah........................................................................................         2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................         2
A.    Pengertian Amar Ma’ruf..............................................................................         2
B.    Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125....................................................................          
C.    Tafsir Surat Ali Imran Ayat 104..................................................................         3
D.    Tafsir Surat Ali Imran Ayat 110..................................................................          
E.     Tafsir Surat Ali Imran Ayat 114..................................................................          
F.     Hubungan Dengan Pendidikan....................................................................          
BAB III PENUTUP...............................................................................................       13
A.    Kesimpulan..................................................................................................       13
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Umat yang paling baik didunia yakni umat yang mempunyai dua macam sifat. Yaitu mengajak kebaikan serta mencegah kemungkaran dan senantiasa beriman kepada Allah. Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum muslimin pada masa Nabi, dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka lantaran itu mereka menjadi berpengaruh dan jaya. Dalam waktu yang singkat mereka bisa menjadikan tanah arab tunduk dan patuh pada naungan Islam.
Kalian yakni umat yang paling baik di alam wujud sekarang, lantaran kalian yakni orang-orang yang melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, kalian yakni orang-orang yang iman dengan cara yang benar. Yang bekasnya tampak pada jiwa kalian, sehingga terhindarlah kalian dari kejahatan, dan kalian mengarah pada kebaikan, padahal sebelumnya kalian umat yang dilanda kejahatan dan kerusakan. Kalian tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan tidak iman secara benar.
Gambaran dengan sifat ini memang cocok dengan keadaan orang-orang yang mendapatkan khitab ayat ini pada masa permulaan. Mereka yakni Nabi SAW. Dan para sahabat yang bersama ia yang pada sewaktu Al-Qur’an di turunkan. Pada masa sebelumnya, mereka yakni orang-orang yang saling bermusuhan. Kemudian hati mereka dirukunkan. Mereka berpegang pada tali agama Allah, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Orang-orang yang lemah diantara mereka tidak takut terhadap orang-orang kuat. Sebab iman telah masuk dalam kalbu dan perasaan mereka, sehingga bisa ditundukan untuk mencapai tujuan Nabi saw, disegala keadaan dan kondisi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Amar Ma’ruf?
2.      Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125?
3.      Tafsir Surat Ali Imran Ayat 104, 110, Dan 114?
4.      Hubungannya Dengan Pendidikan


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Amar Ma’ruf
Kata الأمر merupakan bentuk yang sanggup dipahami bekerjsama itu menunjukan adanya perintah, menyerupai yang dikatakan kepada orang lain menyerupai إفعل , kata ini mengisayaratkan biar perintah tersebut mesti dikerjakan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya Majmu’ Fatawa menyebutkan pengertian الأمر yaitu: “Sesungguhnya perintah (al-amr) yaitu menuntut dan kehendak untuk melaksanakan sesuatu perbuatan”[1]
Makna ma’ruf secara bahasa kebanyakannya berputar di atas makna ‘semua masalah yang diketahui dan dimaklumi oleh insan satu dengan yang lainnya dan mereka tidak mengingkarinya’. Adapun secara istilah, ma’ruf bermakna ‘semua masalah yang diketahui, diperintahkan, dan dipuji pelakunya oleh syari’at, maka masuk di dalamnya semua bentuk ketaatan, dan yang paling utamanya yakni beriman kepada Yang Mahakuasa -Ta’ala- dan mentauhidkan-Nya’.[2]

B.     Surat An-Nahl Ayat 125
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ  
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[3] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui perihal siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang menerima petunjuk.


Asbab  An-Nuzul Surat An Nahl ayat 125
            Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun sesudah Rasulullah SAW. menyaksikan mayit 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.[4] Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW, untuk melaksanakan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi alasannya turunnya  ayat tersebut.[5]

Tafsirnya
a.      Tafsir Al-Jalaalayn
 “Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan nasihat (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus)  dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik menyerupai menyeru insan kepada Yang Mahakuasa dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru insan kepada hujah).  Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu, yakni Mahatahu perihal siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Mahatahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Maka Yang Mahakuasa membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah  dibunuh (dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud)”[6]

b.      Tafsir al-Qurthuby
 “(Ayat ini diturunkan di Makkah ketika Nabi SAW. diperintahkan untuk bersikap tenang kepada kaum Quraisy.  Beliau diperintahkan untuk menyeru pada agama Yang Mahakuasa dengan lembut (talathuf), layyin, tidak bersikap bernafsu (mukhasanah), dan tidak memakai kekerasan (ta’nif). Demikian pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang berkaitan dengan kaum kafir.  Ada pula yang menyampaikan bahwa bila terhadap orang kafir sanggup dilakukan cara tersebut, serta terdapat impian mereka untuk beriman tanpa peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan demikian bersifat muhkamWallâhu a’lam.)”[7]

c.        Tafsir At-Thabary
“Serulah (Wahai Muhammad, orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada nya dengan ajakan untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan Tuhanmu yang telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya yakni Islam, dengan nasihat (yakni dengan wahyu Yang Mahakuasa yang telah diwahyukan kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia turunkan kepadamu) dan dengan nasihat yang baik (al-mau’izhah al-hasanah, yakni dengan peringatan/pelajaran yang indah, yang Yang Mahakuasa jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-Nya dan Yang Mahakuasa telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut perihal apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar dalam surat ini, dan Yang Mahakuasa mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut) perihal banyak sekali kenikmatan-Nya). Serta debatlah mereka dengan cara baik (yakni bantahlah mereka dengan bantahan yang terbaik), dari selain bantahan itu engkau berpaling dari siksaan yang mereka berikan kepadamu sebagai respon mereka terhadap apa yang engkau sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak memberikan risalah Rabb-mu yang diwajibkan kepadamu.)”[8]


d.      Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm
(Allah, Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad SAW., untuk menyeru segenap makhluk kepada Yang Mahakuasa dengan hikmah.  Ibn Jarir menyatakan, bahwa maksud dari hal tersebut yakni apa saja yang diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah. Dan nasihat yang baik, artinya dengan apa saja yang dikandungnya berupa peringatan (zawâjir) dan realitas-realitas manusia.  Memperingatkan mereka dengannya supaya mereka waspada terhadap marah Yang Mahakuasa SWT.  Debatlah mereka dengan debat terbaik’ artinya barang siapa di antara mereka yang berhujah hingga berdebat dan berbantahan maka lakukanlah hal tersebut dengan cara yang baik, berteman, lembut, dan perkataan yang baik.  Hal ini menyerupai firman Yang Mahakuasa SWT. dalam surat al-‘Ankabut (29): 46 (yang artinya): Janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dia memerintahkannya untuk bersikap lembut menyerupai halnya Dia memerintahkan hal tersebut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus menghadap Fir’aun menyerupai disebut dalam surat Thaha (20) ayat 44 (yang artinya):  Katakanlah oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut semoga dia menerima peringatan atau takut. Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari jalan-Nya” artinya Sungguh Dia telah mengetahui orang yang celaka dan senang di antara mereka. Dan Yang Mahakuasa telah menuliskan dan merampungkan hal itu disisinya. Oleh lantaran itu, serulah mereka kepada Allah, dan janganlah engkau merasa rugi atas mereka yang sesat, alasannya bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapatkan petunjuk, engkau semata-mata pemberi peringatan, engkau wajib memberikan dan Kami yang wajib menghisabnya.)[9]

C.    Surat Ali Imran Ayat 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  
104. dan hendaklah ada di antara kau segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[10]; merekalah orang-orang yang beruntung.

Asbabun Nuzulnya
Pada zaman jahiliyah sebelum Islam ada dua suku yaitu; Suku Aus dan Khazraj yang selalu bermusuhan bebuyutan selama 120 tahun, permusuhan kedua suku tersebut berakhir sesudah Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam kepada mereka, pada risikonya Suku Aus; yakni kaum Anshar dan Suku Khazraj hidup berdampingan, secara tenang dan penuh keakraban, suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka melihat keakraban  dan kedamaian mereka, kemudian dia menyuruh seorang cowok Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj untuk menyinggung perang “Bu’ast” yang pernah terjadi antara Aus dengan Khazraj kemudian masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya masing-masing,  saling caci maki dan mengangkat senjata, dan untung Rasulullah SAW yang mendengar perestiwa tersebut segera tiba dan menasehati mereka: Apakah kalian tergoda fitnah jahiliyah itu, bukankah Yang Mahakuasa telah mengangkat derajat kau semua dengan agama Islam, dan menghilangkan dari kalian semua yang berkaitan dengan jahiliyah?. Setelah mendengar nasehat Rasul, mereka sadar, menangis dan saling berpalukan. Sungguh insiden itu yakni seburuk-buruk sekaligus sebaik-baik peristiwa. Demikianlah asbabun nuzul Q.S. Ali Imran ayat 104.

Tafsirnya
Menurut Hamka, terdapat hal penting yang menjadi kiprah dan kewajiban umat manusia, yaitu melaksanakan dakwah. Suatu golongan yang terdapat dalam ayat tersebut, yaitu ummat, mempunyai kiprah dan kewajiban untuk mengajak dan membawa insan kepada kebaikan, menyuruh berbuat ma’rûf (معروف), yaitu perbuatan yang patut, pan-tas dan sopan, dan mencegah, melarang perbuatan munkar (مـنـكـر), yang dibenci dan yang tidak diterima oleh nalar dan jiwa yang sehat.
Menurut Hamka, dalam konteks ayat tersebut, terdapat dua kata penting, yaitu me-nyuruh berbuat ma’rûf (معروف), dan mencegah perbuatan munkar (مـنـكـر). Kata ma’rûf (معروف), diambil dari kata ‘urf (عـرف (yang berarti dikenal atau yang sanggup dimengerti, sanggup dipahami serta sanggup diterima oleh manusia, dan dipuji. Karena begitulah yang patut dikerjakan oleh insan yang berakal. Sedang yang munkar, (مـنـكـر), artinya yang dibenci, yang tidak dise-nangi, yang ditolak oleh masyarakat, lantaran tidak patut dan tidak pantas untuk dikerjakan.
Kesimpulan yang disampaikan oleh Hamka dalam penafsirannya pada surat Âli Imrân ayat 104 dalam tafsir al-Azhar yakni bahwa الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر itu yakni menyeru untuk melaksanakan ke-bajikan dan mencegah kemunkaran. Menyeru atau mengajak merupakan kegiatan dakwah. Dengan dakwah, ada dinamika kehidupan umat Islam, menjadi lebih dinamis dan agama menjadi hidup. Sebaliknya, apabila tidak ada dakwah, maka tidak ada dinamika kehidupan beragama. Karena itu, haruslah ada sekelompok orang yang mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan. .
Di dalam ayat 104 surat Âl-Imrân ini terdapat 3 (tiga) kewajiban, yaitu menyuruh berbuat ma’ruf (معروف), melarang berbuat munkar(مـنـكـر), dan ketiga mengajak kepada kebaikan (الخـيـر) Menurut Hamka, ketiga kewajiban itu, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkarالامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر, semua berpusat pada yang satu, yaitu يـدعـون الى الـخـيـرmengajak pada ke-baikan. Menurut Hamka, yang dimaksud dengan kata (الخـيـر) yang berarti kebaikan, yang dimaksud di dalam ayat ini yakni Islam, yaitu me¬mupuk kepercayaan dan iman kepada Tuhan, termasuk tauhid dan ma’rifat. Hal itulah, berdasarkan Hamka sebagai hakikat kesadaran beragama yang menjadikan pengetahuan sehingga sanggup membedakan mana yang baik, yang ma’ruf (معروف), dan mana yang tidak baik, yaitu munkar (مـنـكـر). Di sinilah, berdasarkan Hamka pentingnya juru dakwah atau da’i memperlihatkan klarifikasi kepada masyarakat mengenai fatwa agama Islam yang sebenarnya, sehingga masyarakat mempunyai pengetahuan dan kesadaran beragama yang tinggi.
Kalimat يـدعـون الى الـخـيـر امـة , artinya umat mengajak pada kebaikan yang terdapat pada surat Âl-Imrân ayat 104, berdasarkan Hamka mempunyai dua kata penting, yaitu ummatun (امـة ) dan kedua kata yad’ûna يـدعـون . Dari ayat ini sanggup dipahami bahwa dikalangan umat Islam yang besar jumlahnya, hendaklah ada segolongan umat yang menjadi inti, yang kerjanya khusus mengadakan dakwah, atau seluruh umat ini sendiri sadar akan kewajibannya yaitu melaksanakan dakwah. Sebab kehidupan agama, kemajuan dan kemundurannya sangat tergantung pada dakwah. Pelaksanaan dakwah yang dimaksudkan Hamka tidak hanya kegiatan dakwah ke dalam, yaitu dakwah di kalangan umat Islam sendiri, juga dakwah ke masyarakat luar Islam. Tujuannya, bila dakwah ke dalam, dibutuhkan umat Islam semakin berpengaruh kesadaran beragamanya, sehingga bisa melaksanakan yang ma’ruf (معروف) dan mencegah yang munkar (مـنـكـر). Sedang dakwah ke luar Islam tujuannya biar masyarakat non-muslim memahami posisi Islam sebagai sebuah agama tenang dan memperlihatkan pengertian perihal hakikat kebenaran Islam kepada orang-orang yang belum memeluknya.
Dalam konteks ini ayat tersebut di atas, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh kaum muslimin. Pertama, mengajak orang kepada al-khair (يـدعـون الى الـخـيـر). Kedua, mengajak orang kepada yang al-ma’rûf (الامـربـالـمـعـروف). Ketiga, mencegah orang dari al-munkar (وا لنهى عن الـمـنكر). Dari terjemahan ayat tersebut, lafal atau kata al-khair (الـخـيـر) dan lafal al-ma’rûf الـمـعـروف menurut harfiahnya sama, yaitu kebaikan. Terdapat dua ka-ta yang berbeda akan tetapi mempunyai pengertian sama. Oleh lantaran itu, ke-simpulan umum yang hendak dijelaskan pada ayat ini yakni suatu kewajiban bagi umat Islam untuk memberikan yang ma’ruf (معروف) dan melarang perbuatan yang munkar(مـنكر). Karena perbuatan demikian merupakan ujung tombak dari dakwah Islam, yakni memberikan yang baik dan melarang kepada yang munkar.[11]

D.    Surat Ali Imran Ayat 110
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
110. kau yakni umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya jago kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka yakni orang-orang yang fasik.

Tafsirnya
Firman Yang Mahakuasa “kuntum khaira ummah”, Imam Bukhari berkata: dari Muhammd Bin Yusuf, darri Sufyan Ibn Maysarah, dari Abi Haazim dari Abi Hurairah Ra, (kuntum khairo ummah ukhrijat linnas) berkata: “sebaik-baik insan untuk insan yang lain yaitu tiba kepada mereka dengan terbelenggu leher-leher mereka hingga mereka masuk ke dalam Islam, dan menyerupai ini yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahid dan ‘Ithiyah al-‘Ufi. Dapat berarti pula sebaik-baik insan yang bermanfaat bagi insan yang lainnya”.
Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik insan yang pintar diantara mereka dan paling bertakwa diantara mereka, dan menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, dan mencegah mereka dari perbuatan yang munkar, menyambung tali silaturahim”. (diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya).[12]
Penafsiran yang berpengaruh berdasarkan Ibnu katsir bahwa sebaik-baik insan yakni para shahabat yang membersamai Rasulullah, kemudian seterusnya dan seterusnya.[13] Mereka yang berhijrah bersama Rasulullah, dari Mekkah ke Madinah[14], sanggup pula berarti generasi awal Islam[15]kemudian yang meneruskan da’wah Rasulullah Saw yang diperintahkan Yang Mahakuasa kepada kaum Muslimin untuk ditaati mereka.[16]
Khairu Ummah yaitu orang-orang yang menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan menjauhi dari pada yang munkar, dan beriman kepada Allah.[17] dan termasuk dari pada mereka pula yakni para Muhahid dan para Syuhada’.[18]
Kemudian firman Yang Mahakuasa “walau aamana ahlul kitab” : seandainya orang-orang jago taurat dan injil dari golongan Yahudi dan Nashara membenarkan ke Rasulan Nabi Muhammad Saw., yang demikian itu tidak lain datangnya dari Yang Mahakuasa (petunjuk dari Allah)[19]. Lakana khorallahun yakni yang demikian itu lebih baik bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Minhumul mu’minun: yakni jago kitab dari golongan orang nasrani dan Yahudi yang mereka membenarkan Rasulullah Saw., dan masuk Islam.  Mereka itu yakni Abdullah bin salam dan saudaranya, Tsa’labah dan saudaranya, dan pemuda-pemuda yang beriman kepda Yang Mahakuasa dan membernarkan kerasulan Nabi Muhammad Saw., dan mengikuti apa-apa yang diturunkan kepada mereka dari Allah, kemudian firman Yang Mahakuasa “wa aktsaruhumul fasiqun”, yakni mereka kembali kepada agama mereka yakni merkea yang pada mulanya beriman kepada Yang Mahakuasa kemudian beriman kepada apa-apa yang ditrunkan Yang Mahakuasa kepada nabi-Nya yakni Muhammad Saw., kemudian mereka kembali kepada agama mereka. Mereka itulah orang-orang fasiq.
E.     Surat Ali Imran Ayat 114
šcqãYÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# šcrããBù'tƒur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ytƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# šcqãã̍»|¡çur Îû ÏNºuŽöyø9$# šÍ´¯»s9'ré&ur z`ÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÊÊÍÈ  
114. mereka beriman kepada Yang Mahakuasa dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang Munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu Termasuk orang-orang yang saleh.

Tafsirnya
Mereka yang dimaksud oleh ayat tersebut adalh jago kitab. Diantara ada yang berpegang teguh kepada kebenaran, menegakkakn keadilan, tidak berbuat zalim kepada orang lain, tidak menyalahi perintah agama, membaca ayat-ayat al-qur’an dan bersujud denga tahajud di malam hari. Mereka juga beriman kepada allah, memerintahkankan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Kembali kepada duduk masalah pokok diatas, yaitu perihal amar ma’ruf nahi mungkar. Berbuat ma’ruf diambil dari kata uruf, yang dikenal, yang sanggup dimengerti dan sanggup dipahami serta diterima oleh masyarakat. Kaprikornus perbuatan yang ma’ruf apabila dikerjakan, sanggup diterima dan sanggup dipahami oleh insan serta dipuji, karna begitulah yang patut yang dibentuk oleh insan yang berakal. Sedangkan yang mungkar artinya ialah yang dibenci, yang tidak disenangi, yang ditolak oleh masyarakat, lantaran tidak patut, tidak pantas, tidak selayaknya dikerjakan oleh insan berakal.[20]
Menurut al-maragi yang dimaksud dengan al-ma’ruf yakni ma istahsanahu al-syar’wa al-‘aql (sesuatu yang dipandang baik berdasarkan agama dan akal). Sedangkan al-mungkar yakni dlidduhu (lawan atau kebalikan al-ma’ruf).[21]
            Selanjutnya dalam mu’jam mufradat alfadz al-qur’an, yang dimaksud dengan al-ma’ruf adalah isim li kull fi’yu’rafu bi al- ‘aql aw al-asyar’ busnubu  (nama bagi setiap perbuatan yang diakui mengandung kebaikan berdasarkan pandangan nalar dan agama).sedangkan, al-mungkar yakni al-mungkar yakni mayunkiru bihima(sesuatu yang ditentang oleh nalar dan agama). Dalam pada itu muhammad abduh menyampaikan fa- al amr bi al-ma’ruf w al-nahyu ‘an al-mungkar huffadz  al-jama’ah wa siyaj al- wahdah ( amar ma’ruf nahi mungkar yakni benteng pemelihara umat dann pangkal timbulnya persatuan).
            Dalam pada itu abul ‘ala al maududi beropini bahwa kata ,ma’ruf yang jamaknya ma’rufat yakni nama untuk segala kebajikan atau sifat-sifat baik yang sepanjang masa telah diterima dengan baik oleh hati nurani manusia.
            Kaprikornus bahwa amar ma’ruf sanggup diartikan sebagai setiap perjuangan mendorong dan menggerakkan ummat insan untuk mendapatkan dan melaksanakan hal-hal yang sepanjang masa relah diterima sebagai suatu kebajikan berdasarkan evaluasi hati nurani manusia, dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berbeda denagn pendapat yang dikemukakan para pakar terdahulu yang menilai yang menilai bahwa amar ma’ruf bukan hanya di nilai baik berdasarkan hati nurani, melainkan berdasarkan pula pada syariat atau wahyu.
            Dari banyak sekali pendapat tersebut dapat  disimpulkan  bahwa yang termasuk kategori al-ma’ruf yakni segala sesuatu dalam bentuk  bentuk ucapan, perbuatan, pemikiran dan sebagainya yang dipandang baik berdasarkan syari’at (agama) dan nalar pikiran, atau dianggap baik berdasarkan nalar namun sejalan atau tidak bertentangan  dengan syar’at.[22]

F.     Hubungan Dengan Pendidikan
Pertama, dilihat dari segi sasarannya, dakwah dan pendidikan mempunyai target yang sama, yaitu manusia, bedanya, dalam berdakwah sasarannya terkadang ada yang dikelompokkan. Dalam berdakwah terkadang dilakukakan kedalam  kelompok sasarannya dari banyak sekali latar belakang jenis kelamin, usia, tingkat kecerdasan, dan lain sebagainya yang berbeda-beda menjadi satu menyerupai yang terlihat pada dakwah dimasjid- masjid, masjlis taklim dan lain sebagainya. Sedangkan dalam pendidikan sasarannya lebih terklasifikasi berdasarkan perbedaan usia, kecerdasan dan lain sebagainya. Namun demikian ayat-ayat tersebut mengingatkan perihal pentingnya memahami psikologi kelompok target dakwah  yakni  ada kelompok awam, khawas, khawas dan khasil khawas melalui pendidikan.
Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup atau bahan yang disampaikan dalam dakwah dan pendidikan, tampak mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya yakni bahwa ruang lingkup atau bahan dakwah dan pendidikan pada pada dasarnya harus sejalan dengan al-qur’an dan al-sunnah. Bedanya bahwa ruanglingkup atau bahan dalam berdakwah lebih umum atau tidak terperinci dan lebih mengambarkan motivasi secara global. Sedagkan dalam pendidikan ruanglinkup atau bahan berdakwah lebih terperinci sebagaimana dituangkan dalam  dan silabi yang harus dicapai pada setiap semester, triwulan dan setiap kali tatap muka. Perbedaan dakwah dan pendidikan sanggup diumpamakan dengan obat/ vitamin dan makan nasi. Berdakwah lebih diarahkan pada motivasi biar setiap orang terdorong untuk melaksanakan ajaran, menyerupai orang yang makan obat biar timbul nafsu makan, dan sesudah nafsu makan, maka orang tersebut jangan diberi obat atau vitamin terus, tetapi harus diberi nasi, makanan, minuman dan lain sebaginya.
Ketiga, dari segi tujuannya, antara dakwah dan pendidikan mempunyai persamaan dan berbedaan. Dakwah dan pendidikan sama-sama bertujuan mengubah perilaku mental insan dengan cara diberikan motivasi dan ajaran-ajaran, biar orang-orang terbut mau melaksanakan fatwa islam dalam arti seluas-luasnya, sehingga ia sanggup melaksanakan fatwa islam dalam arti yang seluas-luasnya, sehingga ia sanggup melaksanakan fungsi kekhalifannya dalam rangka beribadah kepada Yang Mahakuasa SWT. Naumun demikian dalam pendidikan terdapat perumusan pendidikan yang bertingkat-tingkat. Yaitu rumusan tujuan yang bersifat universal, nasional, instituasional, kurikuler, mata pelajaran, pokok bahasan, an sub pokok bahasa. Khiarkis tujuan serupa ini tidak dijmpai dalam rumusan tujuan dakwah. Denga kata lain, didalam pendidikan disamping terdapat tujuan universalyang berjangka panjang dan sulit diukur waktu yang singkat, juga terdapat tujuan yang khusus yang berjangka pendek dan sanggup dengan gampang diukur pada setiap setiap simpulan pelajaran. Dalam berdakwah, tujuan yang rencanakan tampak bersifat umum, bahkan dalam berdakwah yang tradisonal, tidak terdapat rumusan tujuan sama sekali.
Keempat, dilihat dari degi caranya, terdapat persamaan dan perbedaan antara dakwah dan pendidikan, persamaannya dalam berdakwah sebagaimana dikemukakan diatas paling kurang sanggup dilakukan dengan tiga cara, yaitu denga hikamah, mau’idxah hasanah dan mujadalah. Didalam pendidikanpun ketiga cara tersebut sanggup pula dilakukan. Perbedaannya dalam pendidikan cara atau metode yang dipakai disamping tiga cara tersebut masih banyak lagi bervariasinya, menyerupai ceramah, diskusi, keteladanan, kisah, sosiodrama,simulasi, problem solving, karya wisata dan lain-lain. Dengan kata lain dalam pendidikan, jauh lebih bervariasi dan berkembang dibandingkan dengan metode dakwah.
Kelima, dilihat dari segi hukumna, terdapat pula persamaan  antara dakwah dan pendidikan, yaitu ada yang termasuk dedalam kategori yang hukumnya wajib bagi semua individu(fardlu ain) dan ada yang hukumnya fardlu kifayah. Dakwah dan pendidikan hukumnya wajib dilakukan oleh setiap individu, manakala dalam dakwah dan pendidikan tersebut bersifat umum, yaitu dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja sesuai keadaan dan kemampuan yang bersangjutan. Dakwah dan pendiidkan hukumnya fardlu kifayah, manakala yang dimaksud dengan dakwah dan pendidikan tersebut dalam arti yang khusus, yaitu dakwah dan pendidikan yang terprogam secara sistematis dan berkesinambungan, ruang lingkup,  target dan tujuan yang khusus, serta perlu keahlian khusus pula bagi orang yang melakukannya.
Sehubungan hal tersebut, maka perlu adanya kerjasama yang baik dan seerat mungkin antara kegiatan dakwah dengan pendidikan. Harus harus mendorong masyarakat biar mau meingkatkan kuallitas dirinya dengan cara meningkatkan kemampuannya melalui pendidikan dalam arti yang luas. Demikian pula pendidikan pun harus mendorong masyarakat biar mau melaksanakan dakwah dan mengamalkan fatwa amar ma’ruf nahi mungkar. Pendidikan islam menepati posisi sentral dalam upaya mensosialisasikan ajaran-ajaran islam, baik secara individu maupun sosial diberbagai aspek kehidupan mansia. Pendidikan islam berkepentingan menginternalisasikan nilai-nilai iman, takwa, dan moral kepada anak didik biar memiliki  akad religius yang tinggi dalam membuatkan pengethuan dan keterampilannya untuk bersedekah dan berkarya yang paa gilrannya melahirkan budaya yang agamis. Dengan demikian hubungan dakwah dan pendidikan sangatlah erat.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam mengarungi lautan kehidupan di dunia ada dua hal yang tidak pernahkita sunyi darinya, dimana kita mempunyai pilihan atas dua hal tersebut yaitu kebaikan dan disisi lain yang disebut kemunkaran.
Mengingat bahwa kebaikan merupakan idaman bagi semua insan lantaran dengan kebaikan itu berujung kepada kebahagian, sedangkan kemujnkaran merupakan pangkal dari penderitaan dan kesengsaraan, maka Yang Mahakuasa Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur telah memperlihatkan nalar dan pikiran bagi insan untuk menentukan satu diantara keduanya dengan memakai tolok ukur syari'at. Dimana umat muslim, untuk itu mendapatkan perintah untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan munkar. Untuk bagaimana sanggup terciptanya kebaikan dan dijauhinya kemunkaran tersebut, lahirlah perintah untuk melaksanakan anjuran untuk berbuat baik dan meninggalkan kemunkaran yang dikenal sebagai amar ma'ruf nahi munkar.
Dengan adanya kiprah amar ma’ruf nahi munkar yang dialamatkan kepada setiap individu maupun kepada masyarakat secara luas, maka keburukan, kerusakan dan kemudharatan tersebut sanggup ditiadakan atau diminimalisir serta sebaliknya kebaikan dan kemaslahatan akan sanggup diciptakan. Sehingga kiprah amar ma’ruf nahi munkar ini sangatlah besar dirasakan keuntungannya bagi seluruh hamba Yang Mahakuasa Yang Maha Pemurah.

DAFTAR PUSTAKA

Syaikhul Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, (1418h/ 1997),  Jilid 28 h. 168
Http://Al-Atsariyyah.Com/?P=142 , Tanggal 28 Maret 2010
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang sanggup membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi,  Mawaqi’ At-Tafasir ,Mesir, tt, hal. 440/ 1.Lihat juga: Al-Wahidi An- Nasyabury, Asbâb an-Nuzul, Mawaqiu’ Sy’ab, t-tp, tt, 191/1
Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir,  Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah,
Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Dar ul-Hadîts, Kairo, tt, Halaman 363.
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Dâr Sya’b, Kairo, 1373 H, Hal.200/10.
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari,Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an,   Muassatur Risalah, Mesir, 1420 H, Hal.321/17
Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim,Dar At-Thoyyibah Linasyri wa Tawji’, Madinah 1420 H,Hal.613/IV.
Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Hamka, Tafsir Al-Azhar.
Abi Abdullah Muhammad Ibn Abu Al-Qurthubi, “Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an”,  Beirut Lebanon: Muassasah Ar- Risalah, 2006 M/ 1427 H, Juz 5, Hal. 344
Berdasarkan Penasiran Ibnu Abbas: Yakni Mereka Adalah Para Shahabat Yang Ikut Berhijrah Bersama Rasulullah Dari Mekkah. Lihat Tafsir Ath Thabari:  Juz 7, Hal. 100
Ath Thabari,  “Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an”, Kairo: Maktabah Hajr, 2001m/1422h, Bab. 103 Juz 7,  Hal. 101




[1] Syaikhul Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, (1418h/ 1997),  Jilid 28 h. 168
[2] Http://Al-Atsariyyah.Com/?P=142 , Tanggal 28 Maret 2010
[3] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang sanggup membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

[4] Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi,  Mawaqi’ At-Tafasir ,Mesir, tt, hal. 440/ 1.Lihat juga: Al-Wahidi An- Nasyabury, Asbâb an-Nuzul, Mawaqiu’ Sy’ab, t-tp, tt, 191/1
[5] Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir,  Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’, Madinah , 1420 H, Hal.613/IV.
[6]Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Dar ul-Hadîts, Kairo, tt, Halaman 363.
[7]Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Dâr Sya’b, Kairo, 1373 H, Hal.200/10.
[8]Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari,Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an,   Muassatur Risalah, Mesir, 1420 H, Hal.321/17
[9]Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim,Dar At-Thoyyibah Linasyri wa Tawji’, Madinah 1420 H,Hal.613/IV.
[10] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

[11] Hamka, Tafsir Al-Azhar.
[12] Abi Abdullah Muhammad Ibn Abu Al-Qurthubi, “Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an”,  Beirut Lebanon: Muassasah Ar- Risalah, 2006 M/ 1427 H, Juz 5, Hal. 344
[13] Ibid
[14] Berdasarkan Penasiran Ibnu Abbas: Yakni Mereka Adalah Para Shahabat Yang Ikut Berhijrah Bersama Rasulullah Dari Mekkah. Lihat Tafsir Ath Thabari:  Juz 7, Hal. 100
[15] Al-Qurthubi, Ibid, Hal. 294
[16] Ath Thabari,  “Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an”, Kairo: Maktabah Hajr, 2001m/1422h, Bab. 103 Juz 7,  Hal. 101
[17] Ibid,   Hal. 102
[18] Ibid,  Juz 4,Hal 170
[19] Ibid,  Juz 4,Hal 172
[20] Hamka, tafsir al-azhar juz 4 , Jakarta : Pustaka tanjimas, 1983. h: 29
[21] Abudin nata , tafsir ayat –ayat pendidikan h : 178
[22] Abudin nata,  tafsir ayat –ayat pendidikan :178


Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter