-->

Makalah Tafsir Tarbawi Ayat-Ayat Ibadah

Post a Comment

Makalah Tafsir TarbawiAyat-Ayat Ibadah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ibadah yakni tindakan untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan yang kuasa (Allah) dengan kata lain ibadah ialah suatu orientasi dari kehidupan dan orientasi tersebut hanya tertuju kepada yang kuasa (Allah) saja. Manusia diciptakan oleh yang kuasa dan hanya berorientasikan kepada penciptanya yaitu (Allah), sang pencipta yang menumbuhkan dan menyebarkan manusia, Dia yang memelihara, menjaga dan mendidik manusia, Dia pula yang memberi petunjuk kepada manusia, oleh sebab itu hanya kepada Dia insan menyembah
Terkait dengan dilema ibadah, terdapat beberapa golongan hamba Tuhan yang sama-sama mengaku sebagai seorang hamba yang taat beribadah. Mereka mempunyai banyak sekali pengertian yang berbeda dalam memahami apa hakikat dari ibadah. Diantaranya ada golongan yang beropini bahwa ibadah itu yakni perilaku taat dan ketertundukan seorang hamba kepada sang Kholiqnya dalam rangka Ta'abbud kepada-Nya. Akan tetapi mereka kurang memperhatikan hal-hal kecil diluar itu yang terkait dengan ibadah sosial, pergaulan ataupun perilaku toleransi dalam sitiap situasi. Ada pula yang beropini bahwa dalam ibadah yang menjadi titik tekan yakni bagaimana seorang hamba bersungguh-sungguh tatkala mengerjakan sesuatu, dan sesuatu tersebut bernilai ibadah apabila ia tulus. Akan tetapi mereka acapkali menyepelekan ibadah mahdhoh, ibarat sholat, puasa dan lain-lain.
Kemudian golongan yang terakhir yakni golongan yang sanggup menserasikan antara golongan yang pertama dan kedua, mereka sanggup mensinergikan antara ibadah mahdhoh dan ibadah ghoiru mahdhoh.Akhir-akhir ini marak para kaum yang mengkaji dilema tersebut dan memunculkan kesimpulan yang ajaib ke dalam telingga kita, kemudian bagaimana perilaku kita sebagai seorang terpelajar menyikapinya? Oleh sebab itu, Makalah ini akan membahas tafsir ayat-ayat ibadah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat [2] : 21
2.      Tafsir Surat Ar-Rum Ayat [30] : 30
3.      Tafsir Surat Luqman Ayat [31] : 31, 23 & 24

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Surat Al-Baqarah [2] : 21
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Y9$# (#rßç6ôã$# ãNä3­/u Ï%©!$# öNä3s)n=s{ tûïÏ%©!$#ur `ÏB öNä3Î=ö6s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇËÊÈ  
21. Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, semoga kau bertakwa,
Tafsirnya
Hai manusia
يَاأَيُّهَا النَّاسُ
sembahlah Tuhanmu
اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
yang telah menciptakanmu
الَّذِي خَلَقَكُمْ
dan orang-orang yang sebelummu
خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ
agar kau bertakwa
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Tafsirnya
Ayat  ini yakni sebuah perintah bagi seluruh insan untuk menyembah Tuhan ta'ala. Karena Dialah yang telah membuat manusia. Baik  insan terdahulu ataupun insan yang akan datang. Perintah menyembah atau beribadah dalam ayat ini mempunyai makna yang luas, tidak hanya penyembahan dalam arti ibadah mahdhah saja, melainkan ibdah dalam arti luas. Ayat ini mempunyai kekerabatan yang besar lengan berkuasa dengan tujuan dari diciptakannya jin dan manusia, yaitu untuk beribdah kepadaNya saja.
Dalam ayat ini juga terdapat kewajiban untuk beribadah kepadaNya saja. Karena Alloh yakni Pencipta yang telah memperlihatkan banyak sekali kenikmatan dan membuat insan dari ketiadaan, Dia juga telah membuat umat-umat sebelum kita. Nikmat yang diberikannya berupa nikmat yang kasatmata dan nikmat yang tidak nampak. Dan menimbulkan bumi sebagai daerah tinggal dan daerah berketurunan, bercocok tanam, berkebun, melaksanakan perjalanan dari satu daerah ke daerah yang lainnya serta manfaat bumi lainnya. Dan Dia juga telah membuat langit sebagai sebuah atap bangunan yang telah Dia letakan padanya matahari, bulan dan bintang. 
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di menyatakan bahwa perintah dalam ayat ini bersifat umum untuk seluruh manusia. Sifat perintahnya sendiri umum yaitu untuk beribadah dengan segala bentuk ibadah, yaitu melaksanakan semua yang diperintahkanNya dan menjauhi yang dilarangNya serta membenarkan kabar-kabarnya. Hal ini sebagaimana perintah Alloh ta'ala dalam QS Adz-Dzariyat : 56. Tuhan ta'ala berfirman :

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

Dan saya tidak membuat jin dan insan melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS Adz-Dzaariyat : 56.[1]
Ayat ini menegaskan wacana tujuan diciptakannya jin dan insan di muka bumi ini, yaitu untuk beribadah kepadaNya. Makna ibdah dalam pengertian yang komprehensif disebutkan oleh Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, dia menyebutkan : 

العبادة هى اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والاعمال الباطنة والظاهرة

Ibadah yakni sebuah nama yang meliputi segala sesuatu yang dicintai oleh Alloh dan yang diridhaiNya berupa perkataan atau perbuatan baik yang berupa amalan batin ataupun yang dhahir (nyata).[2]

B.     Surat Ar-Rum [30] : 30
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Tuhan yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui,[3]
Tafsir Ayat
C.    Surat Luqman [31] : 13, 23 dan 24
1.      Surat Luqman Ayat 13

øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  
13. dan (ingatlah) dikala Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kau mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) yakni benar-benar kezaliman yang besar".

Asbabun Nuzul
Ketika ayat ke-82 dari surat Al-An’am diturunkan, para sobat merasa keberatan. Maka mereka tiba menghadap Rasulullah SAW,seraya berkata “ Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami yang sanggup membersihkan keimanannya dari perbuatan zalim ?”.Jawab dia “ Bukan begitu,bukanlah kau telah mendengarkan wasiat Lukman Hakim kepada anaknya : Hai anakku, janganlah kau mempersekutukan Allah, bahwasanya mempersekutukan Tuhan yakni benar-benar kezaliman yang besar. ( HR.Bukhori dari Abdillah)[4]

Tafsirnya
Allah Swt. berfirman: Wa idz qâla luqmân li [i]bnih wahuwa ya’izhuh (Ingatlah dikala Luqman berkata kepada anaknya pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya).
Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa Luqman yang dimaksud dalam ayat ini. Sebagian mufassir menyatakan, ia yakni cicit Azar (bapak Nabi Ibrahim as). Sebagian lagi berpendapat, ia yakni keponakan Ayyub dari saudara perempuannya. Yang lainnya menyebutkan, ia yakni sepupu Ayyub dari bibinya.[5] Adapun berdasarkan Ibnu Katsir, ia yakni Luqman bin Anqa bin Sadun.[6] Para mufassir juga berbeda pendapat wacana asal-usul, daerah tinggal, dan pekerjaannya.
Tidak sanggup dipastikan pendapat mana yang paling benar. Sebab, al-Quran tidak merinci siapa bahwasanya Luqman yang dimaksud. Sebagai kitab yang berfungsi menjadi hudâ wa maw’izhah (petunjuk dan pelajaran) bagi manusia, klarifikasi wacana hal itu tidak terlampau penting.  Yang lebih penting justru pelajaran apa yang sanggup dipetik dari kejadian itu.
Di dalam al-Quran banyak kisah yang hanya diceritakan peristiwanya, tanpa dirinci waktu, daerah terjadinya, kronologi dan pelakunya; layaknya buku sejarah. Demikian pula dengan kisah Luqman dalam ayat ini. Al-Quran hanya memberitakan bahwa dia termasuk orang yang menerima limpahan al-hikmah dari-Nya. Tuhan Swt. berfirman:
]وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ ِللهِ[
Sesungguhnya telah Kami telah memperlihatkan pesan yang tersirat kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah." (QS Luqman [31]: 12).
Secara bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal.[7]  Menurut ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang baik.[8] Menurut Mujahid, al-hikmah yakni pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian.[9] Hikmah dari Tuhan Swt. sanggup berarti benar dalam keyakinan dan bakir dalam dîn dan akal.[10]
Pendapat agak berbeda dikemukakan Ikrimah, as-Sudi, dan asy-Sya'bi. Mereka menafsirkan al-hikmah sebagai kenabian. Karena itu, berdasarkan mereka, Luqman yakni seorang nabi.[11] Pendapat ini berbeda dengan jumhur ulama yang berpandangan bahwa dia seorang hamba yang salih, bukan nabi.[12]
Kendati bukan nabi, Luqman juga menempati derajat paling tinggi. Sebab, insan yang derajatnya paling tinggi yakni orang yang kâmil fî nafsih  wa mukmil li ghayrih, yakni orang yang dirinya telah tepat sekaligus berusaha menyempurnakan orang lain. Kesempurnaan Luqman ditunjukkan dalam ayat sebelumnya, bahwa dia termasuk hamba Tuhan Swt. yang menerima pesan yang tersirat dari-Nya. Adapun upayanya untuk membuat orang lain menjadi tepat terlihat pada nasihat-nasihat yang disampaikan kepada putranya.[13]
Dalam ayat itu disebutkan wa huwa ya‘izhuh. Kata ya‘izh berasal dari al-wa‘zh atau al-‘izhah yang berarti mengingatkan kebaikan dengan ungkapan halus yang sanggup melunakkan hati.[14] Karena itu,  dalam mendidik anaknya, Luqman menempuh cara yang amat baik, yang sanggup meluluhkan hati anaknya sehingga mau mengikuti nasihat-nasihat yang diberikan.
Yâ bunayya lâ tusyrik billâh (Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah). Luqman memanggil putranya memakai redaksi tasghîr: ya bunayya.  Hal itu bukan untuk mengecilkan atau merendahkan, namun untuk mengambarkan rasa cinta dan kasih sayang kepada anaknya.[15] Dengan panggilan ibarat itu, diperlukan nasihat yang disampaikan lebih gampang diterima.
Nasihat pertama yang disampaikan kepada putranya itu yakni la tusyrik billâh (jangan mempersekutukan Allah). Mempersekutukan Tuhan yakni mengangkat selain Tuhan Swt. sebagai tandingan yang disetarakan atau disejajarkan dengan-Nya. Ketika Rasulullah saw. ditanya oleh salah seorang sahabatnya, Wail bin Abdullah ra., mengenai dosa apa yang paling besar, dia menjawab:

«الشِّرْكُ أَنْ تَجْعَلَ ِللهِ نِدًّا»
Syirik, yakni kau menimbulkan tandingan bagi Tuhan (HR an-Nasa'i).
            Larangan syirik ini berlaku abadi. Bahkan tidak seorang rasul pun yang diutus Tuhan Swt. kecuali memberikan larangan tersebut. (Lihat: QS az-Zumar [39]: 65).
Inna asy-syirk la zhulm ‘azhîm  (Sesungguhnya mempersekutukan Allah  yakni benar-benar kezaliman yang besar). Dalam nasihatnya, Luqman tidak saja melarang syirik, namun juga menjelaskan alasan dilarangnya perbuatan tersebut.[16]
Secara bahasa azh-zhulm (kezaliman) berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.[17] Syirik disebut azh-zhulm sebab menempatkan Pencipta setara dengan ciptaan-Nya, menyejajarkan Zat yang berhak disembah dengan yang tidak berhak disembah,[18] atau melaksanakan penyembahan kepada makhluk yang tidak berhak disembah.[19] Banyak ayat al-Quran yang menyebut perbuatan syirik sebagai azh-zhulm (Lihat, misalnya: QS al-An‘am [6]: 82).
Selain kezaliman besar, dalam ayat lain, syirik juga disebut sebagai kesesatan yang kasatmata (QS. Saba’ [34]: 24) dan amat jauh (QS. an-Nisa' [4]: 116). Karena itu, masuk akal jikalau syirik dinilai sebagai dosa terbesar dan tidak ada dosa yang melebihinya. Jika dosa-dosa lain, insan masih sanggup berharap menerima ampunan dari Tuhan Swt., tidak demikian dengan syirik. Siapa pun yang telah melaksanakan perbuatan syirik, dan tidak bertobat, kemudian meninggal dalam kesyirikan, maka tidak akan diampuni Tuhan Swt. (QS an-Nisa' [4]: 48, 116). Lebih dari itu, syirik akan mengakibatkan terhapusnya semua amal yang dikerjakan insan (QS az-Zumar [39]: 65). Pelakunya diharamkan masuk nirwana (QS al-Maidah [5]: 72), sebaiknya ia kekal di dalam neraka (QS al-Bayyinah [98]: 6). Oleh karenanya, syirik mengakibatkan penyesalan yang tak terbayarkan bagi pelakunya (QS al-Kahfi [18]: 42).
           

2.      Sarat Luqman Ayat 23 & 24

`tBur txÿx. Ÿxsù šRâøts ÿ¼çnãøÿä. 4 $uZøs9Î) öNßgãèÅ_ötB Nßgã¥Îm7t^ãZsù $yJÎ/ (#þqè=ÏHxå 4 ¨bÎ) ©!$# 7LìÎ=tæ ÏN#xÎ/ ÍrߐÁ9$# ÇËÌÈ   öNßgãèÏnFyJçR WxÎ=s% §NèO öNèdsÜôÒtR 4n<Î) >U#xtã 7áŠÎ=xî ÇËÍÈ  
23. dan Barangsiapa kafir Maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. hanya kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Tuhan Maha mengetahui segala isi hati.
24. Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.
Tafsirnya
         Bahwasanya pesan yang tersirat dari Tuhan ciptakan jin dan insan yakni untuk beribadah kepadaNya. Sedangkan pengertian ibadah yakni ketundukan kepada Tuhan Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh rasa cinta, pengagungan dengan melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya dengan cara sebagaimana yang Tuhan ‘Azza wa Jalla ajarkan dalam syari’at yang dibawa oleh utusanNya. Maka hikmah/tujuan diciptakannya jin dan insan yakni untuk beribadah kepada Tuhan SWT. Dan barangsiapa yang durhaka terhadap Robbnya dan enggan dari beribadah kepada Robbnya maka bahwasanya dia telah melanggar/keluar dari tujuan penciptaannya yang Tuhan ‘Azza wa Jalla membuat mereka untuk tujuan beribadah kepadaNya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ayat-ayat di atas yakni sebuah perintah bagi seluruh insan untuk menyembah Tuhan ta'ala. Karena Dialah yang telah membuat manusia. Baik  insan terdahulu ataupun insan yang akan datang. Perintah menyembah atau beribadah dalam ayat ini mempunyai makna yang luas, tidak hanya penyembahan dalam arti ibadah mahdhah saja, melainkan ibdah dalam arti luas. Ayat ini mempunyai kekerabatan yang besar lengan berkuasa dengan tujuan dari diciptakannya jin dan manusia, yaitu untuk beribdah kepadaNya saja.
Dalam ayat ini juga terdapat kewajiban untuk beribadah kepadaNya saja. Karena Alloh yakni Pencipta yang telah memperlihatkan banyak sekali kenikmatan dan membuat insan dari ketiadaan, Dia juga telah membuat umat-umat sebelum kita. Nikmat yang diberikannya berupa nikmat yang kasatmata dan nikmat yang tidak nampak. Dan menimbulkan bumi sebagai daerah tinggal dan daerah berketurunan, bercocok tanam, berkebun, melaksanakan perjalanan dari satu daerah ke daerah yang lainnya serta manfaat bumi lainnya. Dan Dia juga telah membuat langit sebagai sebuah atap bangunan yang telah Dia letakan padanya matahari, bulan dan bintang. 

B.     Saran
Agar pesertadidik sanggup menerapkan anutan yang terdapat pada surat al-luqman dalam kehidupan sehari-hari, baik itu kepada Tuhan SWT, kedua orang tua, serta kepada manusia-manusia yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
A.Mudjab Mahali, 2002, Asbabun Nuzul : studi pendalaman Al-quran surat Al-Baqarah Annas, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, h. : 660.
Aal-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, III/421, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.
Aath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, xi/208, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1992.
Abd al-Haqq al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, IV/347, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, IV/41, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.
Abu al-Hasan al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, III/442, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994; Abu ‘Ali al-Fadhl, Majma’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, III/491, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994.
Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, III/398, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995
Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, III/398.
Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, II/451.
Burhan al-Din al-Baqa’i, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, VI/13, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995.
Fakhr ad-Din al-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, XIII/128, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/ 1445; AbuThayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, X/281, Idarat Ihya’ al-Turats al-Islami, Qathar. 1989
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/1446, Dar al-Fikr, Beirut. 2000.
Mahmud  Hijazi, at-Tafsîr al-Wâdhîh, III/47, an-Nashir, 1992.
Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XI/82, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, xi/84; Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XI/143.
Tafsir Al-Maragi,Ahmad Mustafa Al Maragi,1993,semarang:CV Toha putra,halm 152-154.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003,halm : 121
Taisir Karim Ar-Rohman Fi Tafsir Kalam Al-Manan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir  AsSa'di.
Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XI/143, Dar al-Fikr, Beirut. 1991. ar-Raghib al-AshfahaniMu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 564, Dar al-Fikr, Beirut., tt.


[1] Taisir Karim Ar-Rohman Fi Tafsir Kalam Al-Manan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir  As-Sa'di.
[2]Al-Ubudiyyah, Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah
[3] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. insan diciptakan Tuhan mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada insan tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara dampak lingkungan.
[4]A.Mudjab Mahali, 2002, Asbabun Nuzul : studi pendalaman Al-quran surat Al-Baqarah Annas, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, h. : 660.
[5] Aal-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, III/421, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.
[6] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/1446, Dar al-Fikr, Beirut. 2000.
[7] Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, II/451.
[8] Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XI/82, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
[9] Aath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, xi/208, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1992.
[10] Abd al-Haqq al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, IV/347, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, IV/41, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.
[11] Abu al-Hasan al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, III/442, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994; Abu ‘Ali al-Fadhl, Majma’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, III/491, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994.
[12] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/ 1445; AbuThayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, X/281, Idarat Ihya’ al-Turats al-Islami, Qathar. 1989
[13]Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, III/398, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995
[14] Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XI/143, Dar al-Fikr, Beirut. 1991. ar-Raghib al-AshfahaniMu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 564, Dar al-Fikr, Beirut., tt.
[15] Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, xi/84; Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XI/143.
[16] Burhan al-Din al-Baqa’i, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, VI/13, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995.
[17] Mahmud  Hijazi, at-Tafsîr al-Wâdhîh, III/47, an-Nashir, 1992.
[18] Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, III/398.
[19] Fakhr ad-Din al-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, XIII/128, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.

Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter