-->

Makalah Riba

Post a Comment

MAKALAH  RIBA

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Mengenai riba, Islam bersikap keras dalam duduk kasus ini lantaran semata-mata demi melindungi kemslahatan insan baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya. Karena, Pada hakekatnya riba (kredit lunak berbunga besar), atau tunjangan yang salah penerapannya akan berakibat “meningkatnya harga barang yang normal menjadi sangat tinggi, atau kuat besar terhadap neraca pembayaran antar bangsa, kemudian berakibat melejitnya laju inflasi, risikonya akan dirasakan pada semua orang pada semua tingkah penghidupan.


B.     Rumusan Masalah

    Bagaimana yang dimaksud dengan pengertian riba?
    Bagaimana aturan riba?
    Bagaimana pandangan riba dalam Islam?
    Apa saja dalil pengharaman riba?
    Bagaimana subhat-subhat riba dan cara membantahnya?
    Bagaimana nasihat pengharaman riba?
    Apa saja macam-macam riba?


C.    Tujuan Penulisan

    Mahasiswa/i sanggup memahami pengertian riba?
    Mahasiswa/i sanggup memahami aturan riba?
    Mahasiswa/i sanggup memahami pandangan riba dalam Islam?
    Mahasiswa/i sanggup memahami dalil pengharaman riba
    Mahasiswa/i sanggup memahami dan mengetahui subhat-subhat riba dan cara membantahnya?
    Mahasiswa/i sanggup memahami nasihat pengharaman riba?
    Mahasiswa/i sanggup memahami macam-macam riba?



BAB II
PEMBAHASAN
RIBA



A.    Pengertian Riba

Riba’ secara bahasa berarti tambahan. Kata Ar-Riba ialah isim maqshur, berasal dari rabaa - yarbuu, yaitu final kata ini ditulis dengan alif.Arti kata riba ialah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya suplemen itu berasal dari dirinya sendiri.

           Allah SWT berfirman di dalam surah An-Nahl ayat 92:

- أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَىٰ مِنْ أُمَّةٍ

Artinya:

“… Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain….”


Maksudnya, jumlahnya banyak.[1]

Sedangkan pengertian riba’ dalam istilah fuqaha (para hebat fiqh) ialah penambahan pada salah satu dari dua barang homogen yang dipertukarkan tanpa ada ganti atas suplemen tadi.[2]


B.     Hukum Riba

1.      Hukum Riba Nasiah Dan Dalil-Dalilnya

Semua ulama beropini bahwa Riba Nasiah ialah Haram hukumnya dan riba nasiah termasuk salah satu dosa besar menyerupai yang telah di jelaskan di dalam Al-Quran, hadist dan ijma’ para ulama.

Artinya: “Padahal Tuhan telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah hingga kepadanya larangan dari Tuhannya, kemudian terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum tiba larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu ialah penghuni-penghuni neraka; mereka abadi di dalamnya. Tuhan memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Tuhan tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka menerima pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) bila kau orang-orang yang beriman. Maka bila kau tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Tuhan dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan bila kau bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kau tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.


Dan ini merupakan ketetapan Tuhan yang telah mengharamkan riba nasiah dengan sebenar-benarnya haram. Dan Tuhan benar-benar menolaknya orang-orang yang beriman terhadap Tuhan mereka dan yang takut akan siksanya, artinya sangat menolak dari menyebabkan Tuhan sebagai Tuhan mereka dan mereka memerangi Tuhan dan RasulNya. Dan apa yang menjadi solusi terhadap orang-rang yang lemah tersebut apabila mereka memerangi Tuhan mereka yang Maha kuasa lagi Maha Perkasa yang tidak ada kelemahan baik di bumi maupun di langit? Tidak diragukan lagi bahwa mereka telah menjerumuskan diri mereka dalam kehancuran dan kerugian.[3]


C.    Pandangan Riba dalam Islam

Dalam syariat Islam, riba diartikan dengan bertambahnya harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli sehingga menyebabkan hartanya itu bertambah dan berkembang dengan sistem riba. Maka setiap tunjangan yang diganti atau dibayar dengan nilai yang harganya lebih besar, atau dengan barang yang dipinjamkannya itu menyebabkan laba seseorang bertambah dan terus mengalir, maka perbuatan ini ialah riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Tuhan Subhannahu Wa Ta’ala dan Rasul Nya Shalallaahu alaihi wasalam, dan telah menjadi ijma’ kaum muslimin atas keharamannya.

Allah Subhannahu Wa Ta’ala berfirman:


يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Artinya;

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Tuhan tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)


Sungguh sangat besar sekali azab bagi orang-orang yang suka memakan Harta Riba, tapi kebanyakan orang selalu menganggap enteng ihwal apa yang dilakukan nya, bahkan ada yang sebagian lagi sengaja memakan Riba yang padahal dia sendiri tau akan Hukum nya dalam Al-Qur’an, Naudzubillahi mindzalik.


D.    Dalil pengharaman dan Hukum Riba

Riba’ diharamkam berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Allah berfirman di dalam surah Al-Baqarah ayat 275, yang bermaksud:

            “Padahal Tuhan telah menghalalkan jual beli dan menghalalkan riba’.”

            Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Rasulullah melaknat pemakan riba’, saksinya dan penulisnya.”[4]


E.     Subhat-subhat Riba dan Cara Membantahnya

Mazhab Para Ulama’ Dalam Illat Riba’

1.      Mazhab Hanafi

a.      Illat riba’ fadhl

Para ulama’ Hanafiyah beropini bahwa illat riba’ fadhl (maksudnya kriteria untuk mengetahui barang-barang ribawi) ialah barang tersebut ditakar atau ditimbang dengan kesamaan dalam jenisnya. Jika kedua hal ini berkumpul, maka diharamkan menawarkan suplemen dan penangguhan penyerahan. Dengan demikian, illat riba’ dalam empat hal yang disebutkan dalam nash (yaitu gandum, jelai, kurma dan garam) ialah penakaran dan kesamaan jenis. Adapun illat riba’ dalam emas dan perak ialah penimbangan dan dan kesamaan jenis.

Dalil kasus ini ialah hadiths shahih yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri dan Ubadah bin Shamit dari Nabi saw., bahwa dia bersabda:

 “Emas dengan emas, masing-masing kadarnya sama dan diserahkan dari tangan ke tangan, kelebihannnya ialah riba’. Perak dengan perak, masing-masing kadarnya sama dan diserahkan dari tangan ke tangan, kelebihannya ialah riba’. Gandum dengan gandum, masing-masing kadarnya sama dan diserahkan dari tangan ke tangan, kelebihannya ialah riba’. Jelai dengan jelai, masing-masing kadarnya sama dan diserahkan dari tangan ke tangan, kelebihannya dalah riba’. Kurma dengan kurma, masing-masing kadarnya sama dan diserahkan dari tangan ke tangan, kelebihannya ialah riba’. Garam dengan garam, masing-masing kadarnya sama dan diserahkan dari tangan ke tangan, kelebihannya ialah riba’”.



b.      Illat riba’ nasiah

Illat riba’ naisah yang merupakan riba’ jahiliah ialah adanya salah satu dari dua sifat riba’fadhl, yaitu dosis atau timbangan dan kesamaan jenis barang. Misalnya, bila seseorang membeli satu sha’ gandum di demam isu masbodoh dengan satu setengah sha’ gandum yang penyerahan kedua barang itu pada demam isu panas. Setengah sha’ yang ditambah pada harga tidak mempunyai kompensasi apa pun pada barang yang dijual, tetapi hanya sebagai kompensasi dari penangguhan waktu pembayaran saja. Oleh lantaran itu, riba’ ini dinamakan nasiah, yang berarti penangguhan salah satu barang yang dipertukarkan.[5]


2.      Mazhab Maliki

Para ulama’ Malikiyah dalam pendapat yang kuat beropini bahwa illat pengharaman suplemen emas dan perak ialah nilai (naqdiyah/tsamaniyah). Adapun illat pengharaman dalam kuliner maka dibedakan antara illat riba’ fadhl dan illat riba’ nasiah.

    Illat riba’ nasiah

            Illat dalam pengharaman riba’ nasiah adalah barang yang sanggup dimakan untuk  dan merupakan materi pokok saja, maupun bukan merupakan materi pokok dan tidak sanggup disimpan,seperti jenis sayur-sayuran menyerupai labu, semangka, jeruk, lemon, sawi, wortel dan sebagainya. Juga macam-macam buah-buahan, seperti ruthab (kurma basah), apel, pisang dan sebagainya.

    Illat riba’ fadhl

            Illat pengharaman riba’ fadhl adalah dua hal, yaitu materi pokok dan sanggup disimpna. Maksudnya, kuliner tersebut merupakan materi pokok dan dipakai pada umumnya sebagai kuliner pokok untuk menopang tubuh manusia. Dengan kata lain, bila seseorang hidup dengan kuliner tersebut tanpa suatu yang lain, maka ia sanggup hidup dan kesehatan tubuhnya tetap baik. Makanan pokok tersebut menyerupai seluruh jenis biji-bijian, kurma, kismis, daging, susu dan kuliner turunannya. Termasuk dalam jenis kuliner pokok ini materi kuliner yang mempunyai kegunaan untuk menambahkan nikmat makanan, menyerupai garam, bumbu-bumbuan, cuka, bawang merah, bwang putih, dan minyak.

Dalil mereka mengenai illat ini ialah dikala aturan pengharaman tersebut bersifat sanggup dicerna oleh nalar (ma’qulul ma’na), yaitu supaya masyarakat tidak saling menipu dan untuk menjaga harta mereka, maka aturan tersebut harus diterapkan pada barang-barang yang menjadi pokok kehidupan.[6]


3.      Mazhab Syafi’i

Para Ulama Syafi’iyah beropini bahwa illat riba dalam jenis emas dan perak ialah nilai. Adapun illat riba’ pada empat jenis barang ribawi lainnya ialah makanan. Maksudnya, barang-barang itu termasuk barang yang sanggup dimakan, yang mencakupi tiga hal.

Pertama, kuliner yang dipakai sebagai kuliner pokok. Contohnya ialah gandum dan jelai, lantaran kedua kuliner ini pada umumnya dipakai sebagai materi kuliner pokok.

Kedua, kuliner yang dipakai sebagai buah. Dalam hadits yang mengenai barang-barang ribawi disebut jenis kurma, sehingga dimasukkan ke dalamnya kuliner homogen menyerupai kismis dan buah tin.

Ketiga, kuliner yang berfungsi untuk memperbaiki kuliner atau tubuh (sebagai obat). Dalam hadits barang ribawi disebutkan garam. Dan digabungkan ke dalam jenis ini aneka macam jenis materi obat-obatan menyerupai sanmaki, saqmoniya (scammony) dan jahe, serta aneka macam jenis pil, menyerupai pil kering.

Maka tidak dibedakan antara barang yang dipakai untuk memperbaiki rasa kuliner ataupun memperbaiki kesehatan badan. Makanan ialah untuk menjaga kesehatan, sedangkan obat-obatan ialah untuk mengembalikan mengembalikan kesehatan. Dengan demikian, kuliner ialah adalah segala jenis barang yang secara umum dipakai untuk materi makanan, baik secara kuliner pokok, buah maupun obat.

Dari klarifikasi di atas, illat riba’ berdasarkan ulama’ Syafi’iyah ialah kuliner atau nilai. Dalil para ulama’ Syafi’iyah ialah bahwa bila sebuah aturan dinyatakan dalam bentuk kata turunan (al-mustaq) maka makna yang terkandung dalam kata dasar (al-mustaq minhu) dari kata turunan itu ialah illat dari aturan tersebut. Contohnya ialah firman Allah, yang bermaksud:

 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan mencuri, potonglah tangan keduanya.” (al-Maidah: 38)

Dari ayat ini dipahami bahwa pencurian ialah illat dari pemotongan tangan. Jika hal ini telah difahami, maka dalam hadits Ma’mar bin Abdullah r.a. disebutkan bahwa ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘makanan dengan kuliner masing-masing harus serupa.’”

            Dari hadits ini sanggup dipahami bahwa kuliner ialah illat dari aturan riba’. Hal itu lantaran kata “ath-tha’aam” (makanan) berasal dari kata “ath-thu’m (sesuatu yang sanggup dimakan), sehingga mencakupi segala jenis barang yang sanggup dimakan.[7]


4.      Mazhab Hambali

Dalam mazhab Hambali terdapat tiga riwayat mengenai illat riba’. Yang paling masyhur di antara tiga riwayat ini ialah menyerupai mazhab Hanafi, yaitu bahwa illat riba’ ialah dosis atau timbangan dengan kesamaan jenis barang. Riwayat kedua serupa dengan mazhab Syafi’i. Riwayat ketiga menyatakan bahwa illat riba’ selain untuk jenis emas dan perak ialah kuliner yang ditakar dan ditimbang. Begitu pula, tidak terkena pada riba’ fadhl barang yang bukan makanan, menyerupai za’faran, besi, timah dan sebagainya. Ini ialah pendapat Said bin Musayyib sebagaimana telah dijelaskan. Dalilnya ialah sabda Rasulullah,

“Tidak ada riba’ kecuali dalam barang yang ditakar atau ditimbang dari barang-barang yang dimakan atau diminum.”[8]


Perbahasan ulama-ulama mazhab berhubung `illah riba sanggup dirumuskan di dalam jadual berikut:[9]

Mazhab
  

Pandangan Tentang `Illah Riba

Mazhab Hanafi
  

Berpendapat timbangan dan sukatan merupakan `illah riba tetapi menetapkan kadar timbangan atau sukatan tertentu yang dianggap riba.

Mazhab Maliki
  

`Illah riba bagi barangan ribawi seperti emas dan perak ialah naqdiyyah (sifat atau fungsi sebagai wang).

Bagi barang ribawi daripada kategori kuliner ulama mazhab Maliki membezakan `illahnya mengikut jenis sama ada riba nasiah atau riba fadl.

`Illah pengharaman riba nasiah ialah mat`umiyyah (fungsi atau sifat sesesuatu sebagai makanan.

Bagi riba fadl pula ulama mazhab Maliki menyampaikan `illahpengharamannya ialah kuliner ruji dan kuliner yang boleh disimpan lama.

Mazhab Syafie
  

Membahagikan barangan ribawi kepada dua kategori iaitu naqd (uang) dan barang makanan.

Ulama mazhab Syafie berpandangan `illah riba ialah naqdiyyah dan mat`umiyyah.

Mazhab Hanbali
  

`Illah riba ( riba jual beli) ialah timbangan dan sukatan.


F.     Hikmah Pengharaman Riba

1.      Riba berarti perbuatan mengambil harta orang lain tanpa hak. Nabi SAW bersabda: "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.“ Oleh lantaran itu mengambil harta orang lain tanpa hak, sudah niscaya haramnya.

2.      Riba sanggup melemahkan kreatifitas insan untuk berusaha atau bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh suplemen uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan cara mencari penghidupan, tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Hal semacam itu akan berakibat terputusnya materi keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak sanggup disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia 100% ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(hikmah ini niscaya sanggup diterima, dipandang dari segi perekonomian).

3.      Riba menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam hutang piutang. Keharaman riba menciptakan jiwa insan menjadi suci dari sifat lintah darat. Kalau riba diharamkan, seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (ini nasihat dari segi etika/akhlak).

4.      Pada umumnya pemberi piutang ialah orang yang kaya, sedang peminjam ialah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti menawarkan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Padahal tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (ini ditinjau dari segi sosial).


G.    Macam-macam Riba

الشا فعية قالوا: الربا إلى ثلاثة أقسام . الأول : ربا الفضل ، ومنه ربا القرض كأن يقرضه عشرين جنيها بشرط أن يكون له منفعة كأن يشترى سلعة أو يزوجه ابنته ، أو يأ خذ منه فائدة ما لية ونحو ذلك كما تقدم فى البيع الفاسد. الثانى: ربا النسيئة وهو المذكور . الثالث: ربا اليد ومعناه أنه يبيع المتجانسين كالقنح من غير تقابض.[10]


Ulama mazhab Syafi, membagikan riba kepada tiga yaitu:

1)      riba fadl;

2)      riba nasiah; dan

3)       riba yad.


Menurut mazhab Syafie, riba dalam tunjangan (riba qard) dianggap termasuk dalam kelompok riba fadl. Riba yad pula merujuk kepada jual beli barangan ribawi yang sama jenis dengan penangguhan penyerahan. Riba yad juga berlaku dalam penangguhan serahan dalam jual beli barangan ribawi yang berlainan jenis. Ulama mazhab selain Syafie menyerupai mazhab Hanafi merangkumkan apa yang dirujuk sebagai riba yad (oleh mazhab Syafie) ke dalam kelompok riba nasiah.





BAB III
PENUTUP



A.    Kesimpulan

Riba’ secara bahasa berarti tambahan. Sedangkan pengertian riba’ dalam istilah fuqaha (para hebat fiqh) ialah penambahan pada salah satu dari dua barang homogen yang dipertukarkan tanpa ada ganti atas suplemen tadi.

Ulama mazhab Syafi, membagikan riba kepada tiga yaitu:

1)      riba fadl;

2)      riba nasiah; dan

3)      riba yad.


B.     Saran

Agar kita tetap menjadi muslim yang berpegang teguh pada syariat Islam, kita sebaiknya sanggup menahan diri dan menjauhi segala larangan Tuhan swt. Dengan memperkuat keyakinan kita pada Tuhan swt, kita sanggup hidup dengan tenang, senang di dunia maupun di akhirat.

DAFTAR PUSTAKA



Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, alih bahasa Chatibul Umam dan Abu Hurairah, cet. ke-1 (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001).

Al Jazairi, Abdul Rahman.  Al Fiqhu ‘alal mazahib arba’, juz as-sani. (Darul Hadits. 2004).

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa Abdul Hayyie, dkk., cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani, 2011).



[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa Abdul Hayyie, dkk., cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani, 2011), hl: 306.

[2] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, alih bahasa Chatibul Umam dan Abu Hurairah, cet. ke-1 (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), hl: 149.

[3] Abdul Rahman Al Jazairi,  Al Fiqhu ‘alal mazahib arba’, juz as-sani, Darul Hadits, 2004, hl. 192.

[4] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa Abdul Hayyie, dkk., cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani, 2011), hl: 307.

[5] Wahbah, Fiqh Islam, hl: 313-319

[6] Ibid, hl: 321

[7] Ibid., hlm. 322-323

[8] Ibid., hlm. 325-326.

[10] Abdul Rahman Al Jazairi,  Al Fiqhu , hl. 192

Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter