-->

MAKALAH Pancasila Sebagai Etika Politik

Post a Comment

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang  Masalah
Masalah etika merupakan masalah yang makin mendapat perhatian di dunia, bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hokum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apakah yang dimaksud  etika secara umum?
2.    Apakah yang dimaksud  etika pancasila?
3.    Apa saja bidang etika politik?
4.    Apa pengertian dari nilai, moral dan norma?
5.    Apakah  maksud dari pancasila sebagai dasar fundamental bagi bangsa dan negara RI?
6.    Bagaimana  etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui maksud etika secara umum.
2.    Untuk mengetahui maksud etika pancasila.
3.    Untuk mengetahui bidang etika politik.
4.    Untuk mengetahui pengertian dari nilai, moral dan norma.
5.    Untuk mengetahui maksud dari pancasila sebagai dasar fundamental bagi bangsa dan negara RI.
6.    Untuk mengetahui etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Etika Secara Umum
Dalam bentuk tunggal, etika berasal dari bahasa Yunani Kuno “ethos”. Dalam bentuk jamak “ta etha”  artinya adat kebiasaan. Istilah etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan, atau ilmu tentang adat kebiasaan. 
Menurut beberapa tokoh etika didefinisikan sebagai berikut:
1.    Ali
Etik diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai yng berkenaan dengan akhlak, bisa juga diartikan nilai mengandung benar  dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sedangkan, etika menurutnya adalah ilmu tentang yang baik dan yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral/akhlak.
2.    Salam
Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai ilmu dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Ia juga mengartikan bahwa etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.
3.    Amin
Etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.

4.    Thoha
Etika merupakan ilmu yang mengatur pergaulan manusia sesama mereka. Dan juga ilmu yang dapat menentukan tujuan yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.
Dari beberapa pengertian etika diatas dapat penulis simpulkan bahwa etika merupakan ilmu akhlak atau ilmu budi pekerti yang memberikan pengertian tentang suatu perbuatan baik dan jelek atau buruk.
B.    Etika Pancasila
Etika Pancasila yang dijiwai nilai-nilai sila-sila Pancasila merupakan etika Pancasila, yang meliputi:
1.    Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan etika yang berlandaskan pada kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan etika yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
3. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Persatuan Indonesia, merupakan etika yang menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan.
4. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat dalam Permusyawaratan/Perwakilan, merupakan etika yang menghargai kedudukan, hak dan kewajiban warga masyarakat/warga negara, sehingga tidak memaksakan pendapat orang lain.
5. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan etika yang menuntun manusia untuk mengembangkan sikap adil terhadap sesama manusia, mengembangkan perbuatan-perbuatan luhur yang mencerminkan sikapa dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.

C.    Bidang Etika Politik

Hukum dan kekuasaan negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Adapun ada beberapa bidang etika politik yaitu :
1.    Legitimasi Sosiologis
Paham sosiologis tentang legitimasi. Mempertanyakan motivasimotivasi apakah yang nyata-nyata membuat masyarakat mau menerima kekuasaan atau wewenag seseorang, sekelompok orang atau penguasa. Magnis-Suseno menyebutkan motivasi penerimaan kekuasaan sebagaimana dirumuskan oleh Weber yaitu:
a.    “Legitimasi Tradisional” yakni keyakinan dalam suatu masyarakat tradisonal, bahwa pihak yang menurut tradisi lama memegang pemerintahan memang berhak untuk memerintah, misalnya golongan Bangsawan atau keluarga raja dan memang patut untuk ditaati.
b.    “Legitimasi Kharismatik” Berdasarkan perasaan kagum, hormat, dan cinta masyarakat terhadap seseorang pribadi yang sangat mengesankan sehingga masyarakat bersedia taat kepadanya.
c.    “Legitimasi rasional-Legal” Berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seseorang atau penguasa.


2.    Legalitas
Suatu tindakan adalah legal apabila dilakukan sesuai dengan hokum atau peraturan yang berlaku. Jadi legalitas adalah kesesuaian dengan hokum yang berlaku. Legalitas menuntut agar kekuasaan ataupun wewenang dilaksanakan sesuai hukum yang berlaku. Jadi suatu tindakan adalah sah apabila sesuai, tidak sah apabila tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena itu legalitas merupakan salah satu kriteria keabsahan suatu kekuasaan atau wewenang.

3.    Legitimasi Etis
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan wewenang ataupun kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan pemerintah apakah Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Pertanyaan yang timbul merupakan unsur penting untuk mengarahkan “kekuasaan” dalam menggunakan kebijakan-kebijakan yang semakin sesuai tuntutan kemanusian yang adil dan beradab.
4.    Legitimasi Kekuasaan
Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan. Sehingga penguasa memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggung jawaban. Kewibawaan penguasa yang paling meyakinkan adalah keselarasan social, yakni tidak terjadi keresahan dalam masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidakpuasan, tantangan, perlawanan, dan kekacauan menandakan bahwa masyarakat resah. Sebaliknya, keselarasan akan tampak apabila masyarakat merasa tenang, tentram dan sejahtera. Jadi secara etika politik seorang penguasa yang sesungguhnya adalah keluhuran budinya.
5.    Legitimasi Moral dalam Kekuasaan
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan Negara baik legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Tujuannya adalah agar kekuasaan itu mengarahkan kekuasaan kepamakaian kebijakan dan cara-cara yang semakin sesuai dengan tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab. Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Apabila masyarakatnya adalah masyarakat yang religius, maka ukuran apakah penguasa itu memiliki etika politik atau tidak tidak lepas dari moral agama yang dianut oleh masyarakatnya.

D.    Pengertian nilai, moral, dan norma

Nilai menurut Kamus Poerwdarminto berarti: sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Prof. Dardji Darmodihardjo, S.H., dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Filsafat Pancasila” menyatakan: Nilai (value) termasuk dalam pokok bahasan penting dalam filsafat. Persoalan nilai dibahas dalam salah satu cabang filsafat, yaitu Aksiologi (Filsafat Nilai). Nilai biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda yang abstrak, yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (good ness). Selanjutnya dikatakan, menilai berarti menimbang, yakni suatu kegiatan manusia umtuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang kemudian dilanjutkan dengan memeberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu bernialai positif (berguna, indah, baik dan seterusnya) atau sebaliknya, bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia, yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa dan kepercayaannya.
Dengan demikian nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik dsadari maupun tidak disadari.
Moral menurut Kamus Poerwodarminta berarti: ajaran tentang baik-buruknya perbuatan dan kelakuan (akhlak, kewajiban dan sebagainya).
Menurut Prof. Notonagono, S.H., moral (nilai kebaikan) yang bersumber pada kehendak (karsa) manusia.
    Norma menurut Kamus Poerwodarminto berarti: ukuran (untuk menentukan sesuatu): ugeran.
Dalam diktat “Kepemimpinan Kejuangan” yan dikeluarkan oleh Lembaga Pengabdian pada masyarakat (LPM) UPN “Veteran” Jakarta tahun 1997, norma diartikan sebagai berikut: “Petunjuk-petunjuk, kaidah-kaidah, aturan-aturan yang mengatur tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan kesadaran atas sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi”.

E.    Pancasila sebagai dasar fundamental bagi bangsa dan negara RI

1. Seorang filsuf Indonesia, Prof. Notonagoro, SH., membagi nilai dalam tiga macam nilai pokok, yaitu:
a.    Nilai Material, apabila sesuatu itu berguna bagi unsur jasmani mnusia.
b.    Nilai Vital, jika berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan (beraktifitas).
c.    Nilai Kerohanian, apabila ia berguan bagi rohani manusia.
Nilai Kerohanian ini dapat dibedakan lebih lanjut menjadi:
1)    Nilai kebenaran atau kenyataan, yang bersumber pada unsur akal (rasio) manusia.
2)    Nilai keindahan, yang bersumber pada unsur rasa (estetis) manusi.
3)    Nilai Religius, yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan melalui akal dan budi nuraninya.

Jadi, yang mempunyai nilai itu tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda materil) saja, tetapi juga sesuatu yang tidak berwujud (imaterial). Bahkan sesuatu yang iamterial itu seringkali mempunyai nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia, seperti nilai religius.
Manusia menggunakan penilaian terhadap sesuatu yang bersifat rohaniah menggunakan budi nuraninya dengan dibantu oleh indera, akal, perasaan, kehendak dan keyakinan.
Dalam bidang pelaksanaannya, (operasional), nilai-nilai ini dijabarkan dalam ukuran yang normatif, yang lazim disebut norma atau kaidah.
    2. Nilai-nilai Pancasila, sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996, pada hakikatnya adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum serata watak bangsa Indonesia yang pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi Dasar Negara Republik Indonesia.  Dalam hubungannya dengan pengertian nilai seperti diatas, Pancasila tergolong nilai kerohanian, tetapi nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital. Dengan perkataan lain, Pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu didalamnya terkandung pula nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, vital, kebenaran/kenyataan, estetis, etis maupun nilai religius. Hal ini dapat dibuktikan dari sila-sila Pancasila dari sila yang pertama sampai dengan kelima yang tersusun secara sistematis, hierarkhis dan bulat utuh.
     3. Nilai-nilai Pancasila juga mempunyai sifat objektif dan sekaligus sifat subjektif
Objektif, berarti sesuai dengan obyeknya, umum, dan universal yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri menunjukkan adanya sifat-sifat yang abstrak, umum dan universal. Inti dari nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain, baik dalam adat, kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan, maupun dalam hidup keagamaan dan lain-lainnya. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dimana Pembukaan menurut Ilmu Hukum, memenuhi syarat sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, tidak dapat diubah oleh orang atau lembaga manapun kecuali pembentuk negara. Ini berarti nilai-nilai Pancasila abadi dan objektif. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996 (diperkuat oleh Ketetapan MPR No. /MPR/1973 jo. Ketetapan MPR No. ix/MPR/1978) tetap berlaku, yang didalamnya ditegaskan, bahwa Pembukaan UUD 1945 (yang dijiwai Pancasila) tidak dapat diubah secara hukum, juga tidak dapat diubah oleh MPR hasil Pemilu, karena mengubah Pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan negara (yang di proklamasikan tanggal 17 Agustus 1945).
Subjektif, yaitu nilai-nilai Pancasila juga bersifat dalam arti keberadaan nilai-nilai itu bergantung pada bangsa Indonesia sendiri. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia, sebagai hasil penilaian dan pemikiran filsafat bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (padangan hidup) bangsa Indonesia yang paling sesuai, yang diyakini bangsa Indonesia sebagai petunjuk yang paling baik, benar, adil dan bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila mngandung keempat macam nilai kerohanian seperti disebut diatas, yang manifestasinya sesuai dengan sifat budi nurani bangsa Indonesia.
        Jadi, nilai-nilai Pancasila itu bagi bangsa Indonesia menjadi landasan atau dasar serta motivasi segala perbuatannya, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam kehidupan kenegaraan.    

F.    Etika Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, bahwa etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan ispirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.
Diuraikan enam etika berbangsa untuk mewujudkan tujuan diatas yaitu :
1.    Etika sosial dan budaya
2.    Etika politik dan pemerintahan
3.    Etika ekonomi dan bisnis
4.    Etika penegakan hukum yang berkeadilan
5.    Etika keilmuan
6.    Etika lingkungan

Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter