BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pendidikan nasional tak sanggup dilepas dari konteks politik yang sedang berlaku di Negara kita, lantaran kerangka paradigma dan konsep- konsep serta pengewantahanya mempunyai latar belakang kesejahteraan yang berbeda dengan Negara- Negara yang system pendidikan nasionalnya tidak di campur tangani oleh pemerintah atau kalaupun ada itu dalam derajat yang sangat rendah.
Sejak lahir dan berkembangnya pergerakan nasional menuju Indonesia merdeka pendidikan menjadi tulang punggungnya yang utama, lantaran dari sanalah proses penyadaran masyarakat akan hak- hak dan kewajibanya sebagai insan dan masyarakat pribumi ditanamkan.
Dari judul yang ada yaitu pendidikan Islam dan politik intinya sanggup difahami dengan dua pengertian, Pertama, pendidikan Islam dan politik dimaksudkan suatu proses transformasi nilai-nilai sosial politik melaui institusi pendidikan Islam. Kedua, pendidikan Islam dan politik dimaksudkan mendeskripsikan perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam berdasarkan sejarah perpolitikan di Indonesia pada masa pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam goresan pena ini, penulis mencoba focus sesuai dengan pengertian pertama yakni melihat terjadinya proses transformasi nilai-nilai politik melalui institusi pendidikan Islam. Pembahsan ini akan banyak memakai pendekatan aspek historis, dengan mencoba menampilkan beberapa dilema yaitu relasi antara pendidikan Islam dan politik, implikasi sosialisasi politik dalam system pendidikan dan bagaimana pasrtisipasi mahasiswa dalam aktifitas politik.
B. Rumusan Masalah
1. Politik terhadap pendidikan Islam di Indonesia
2. Mensiasati kekurangan jam pelajaran agama di sekolah-sekolah
3. Quantum teaching dalam perspektif pendidikan islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Politik terhadap pendidikan Islam di Indonesia
Study kasus ini sangat nyata ketika pemerintah orde gres melanggengkan kekuasaanya selama 32 tahun, intervensi pemerintah melaui penyajian subjek tertentu dalam kurikulum (seperti mata pelajaran/kuliah pancasila); indoktrinasi atau penataran (seperti penataran P4), ialah bukti nyata bahwa pendidikan ialah salah satu sarana kepentingan politik penguasa.
Mochtar Buchori[1] menyatakan dalam pandanganya bahwa generasi politik yang mengatur kehidupan bangsa selama periode orde gres tumbuh pada waktu kondisi pendidikan kita sudah mulai menurun. Ekspansi system pendidikan yang berlangsung sangat cepat pada waktu itu, tanpa diketehui dan dikehendaki, telah merosotkan mutu sekolah-sekolah. Kemerosotan ini terjadi, lantaran elit pendidikan yang sangat kecil yang dimiliki dikala itu, harus direntang panjang-panjang untuk memungkinkan perluasan system yang cepat tersebut.
Pada masa Orde Baru birokrasi sebagai sarana efektif untuk melaksanakan intervensi kepada semua aspek kehidupan bernegara. Eksistensi penguasa concern utama bagi pemerintah, sehingga intervensi yang dilakukan oleh penguasa terhadap semua aspek kehidupan bernegara sebagai instrumen penting untuk mendorong kelestarian dan kelangsungan penguasa. Akibat dari system sentralis ini mebuat perilaku apatis dikalangan cendikiawan dan semua lapisan masyarakat untuk berfikir secara demokratris, kristis, dan kreatif.
Sistem pemerintahan Orde Baru ini, menghalangi munculnya gerakan oposisi sebagai social control terhadap pemerintahan atau penguasa. Oposisi dalam suatu Negara yang demokratis menjadi suatu keharusan poltik yang harus di tempatkan pada posisi yang penting. Di Indonesia ini di gerakan oposisi di pandang oleh penguasa sebagai pendobrak terhadap eksistensi pengauasa, sehingga munculnya oposisi selalu tidak sepi oleh kecurigaan pengausa, di dukung oleh otoritarian.
Berbeda dengan pernyataan sebelumnya kasus yang sama terjadi dimana masih terdapatnya pemimpin kita baik dalam skala nasional maupun tempat menjadikan pendidikan (apalagi pendidikan Islam) sebagai komoditas politik, sehingga “tema-tema” pendidikan kadang-ladang menjadi slogan politis dalam upaya melanggengkan kekuasaanya, entah dalam kasus masih dalam pemerintahanya maupun ketika menjelang Pilkada.
Sering dilupakan oleh kalangan pendidik bahwa salah satu aspek penting dalam pendidikan Islam ialah aspek politik. Dalam aspek ini di jelaskan relasi antara masyarakat dengan pemerintahan, relasi antar Negara, relasi antarorganisasi, dan sebagainya. Atas dasar ini, antara pendidikan islam dengan politik punya relasi erat yang sulit untuk dipisahkan.
Dalam sejarah, relasi antara pendidikan dengan politik bukanlah suatu hal yang baru. Sejak zaman Plato dan Aristoteles, para filsuf dan pemikir politik telah memberikan perhatian yang cukup intens terhadap dilema politik. Kenyataan ini contohnya ditegaskan dengan ungkapan “As is the state, so is the school ”, atau “What you want is the state, tou must put into the school “. Selain terdapat teori yang dominant dalam demokrasi yang mengasumsikan bahwa pendidikan ialah sebuah relasi bagi suatu tatanan demokratis[2].
Dalam sejarah Islam misalnya, relasi antara pendidikan dengan politik sanggup dilacak semenjak masa- masa pertumbuhan paling subur dalam lembaga- forum pendidikan Islam. Sepanjang sejarah terdapat relasi yang amat erat antara politik dengan pendidikan. Kenyataan ini sanggup dilihat dari pendirian beberapa forum pendidikan Islam di Timur Tengah yang justru disponsori oleh penguasa politik. Contoh yang paling populer ialah madrasah Nizhamiyah di Bagdad yang didirikan sekitar 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk, Nizham al- Mulk. Madrasah ini populer dengan munculnya para pemikir besar. Misalnya, Al- Ghozali sempat mentransfer pengetahuanya di forum ini, yakni menjadi guru.
Di Indonesia, munculnya madrasah merupakan konsekuensi dari proses modernisasi surau yang cenderung di sebabkan oleh terjadinya tarik menarik antara system pendidikan tradisional dengan munculnya forum pendidikan modern dari Barat. Namun, disadari oleh Ki Hajar Dewantara bahwa tugas ulama telah melahirkan system budaya kerakyatan yang bercorak kemasyarakatan dan politik, disamping spiritual. Hal ini terbukti bayangkanya para alumni pesantren yang melanjutkan studi ke universitas terkemuka baik di dalammupun di luar negeri[3].
Madrasah di Indonesia yang dikelola oleh suatu organisasi social kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh orientasi organisasinya. Madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah lebih bersifat ala Muhammadiyah. Demikian halnya denga madrasah yang dikelola oleh NU orientasi pendidikanya lebih menitik beratkan pada kemurnian mazhab.
Konsekuensi dari keragaman orientasi pendidikan tersebut ialah munculnya para tokoh formal dan informal yng mempunyai pemikiran dan pergerakan politik yang berbeda[4], ada yang berfikir lebih modernis, fundamentalis, tradisionalis dan nasionalis. Meski prilaku politik seorang tokoh semata- mata tidak hany di tentukan oleh institusi pendidikan tertentu dan masih ada factor lain (lingkungan, sosiokultural, potensi berfikir, dan sebagainya), efek suatu institusi pendidikan cukup berarti dalam membentuk aksara dan kepribadian seseorang untuk mempunyai paradigma berfikiryang berbeda.
Sejarah GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) juga amat menarik untuk dijadikan sebagai sample mengenai relasi signifikan antara pendidikan Islam dan politik. Sebab pada kasus ini politik menjadi mediasi untuk menumbuh kembangkan institusi pendidikan Islam. GUPPI yang semenjak awal berdirinya merupakan wadah organisasi Islam yang terbentuk sebagai perilaku peduli para tokoh muslim sehabis melihat tanda-tanda besarnya partisipasi politik para tokoh – tokoh muslim yang berakibat kurangnya perhatian mereka terhadap pendidikan Islam.
Namun dalam perjalanan berikutnya, seni administrasi untuk meningkatkan perkembangan dan kualitas pendidikan Islam, para tokoh- tokoh penggagas GUPPI lebih menentukan untuk bergabung dan berafiliai pada partai politik tertentu, dengan harapan bahwa melalui jalur ini kepentingan GUPPI untuk mengembangakan dan meningkatkan mutu pendidikan sanggup terpenuhi. Sayangnya, tugas politik yang dimainkan oleh para penggagas GUPPI di partai Golkar kurang maksimal, akibatnya cita- cita dan harapan yang di capai untuk menyalurkan kepentingan umat Islam dalam meningkatkan pendidikan Islam kurang memenuhi harapan.
Terlepas dari seluruh kegagalan tersebut, penulis hendak menyampaikan bahwa keterlibatan dalam berpolitik sanggup menjadikan mediasi untuk mnyalurkan kepentingannya secara individual maupun organisasi.
Secara umum bahwa pendidikan (Dalam konteks politik Indonesia) pada masa orba terang hanya berorietasi mengabdi kepada kepentingan Negara dan penguasa. Penciptaan insan penganalis sebagimana di canangkan DR. Daud Yusuf, dalam prakteknya justru merupakan proses pengebirian kebebasan akademik dan kreativitas mahasiswa serta melahirkan para birokrat kampus. Sehingga hasilnya ialah generasi yang apatis dengan lingkungan sekitar namun sangat self- centered. Mereka terang bukan insan yang dicita- citakan Muhammad Hatta dan Djarir dimana pencerahan, pemahaman, dan penyadaran akan hak dan kewajibannya sebagi anak bangsamenjadi landasan kiprahnya.
Reformasi yang telah bergulir, semestinya sanggup merintis jalan bagi pemulihan kembali demokratisasi yang selama beberapa dasawarsa mengalami diskontinuitas. Termasuk dalam hal ini ialah upaya mengembalika fungsi dan tugas pendidikan sebagiamana dicita- citakan oleh para pendiri bangsa yang termaksud dalam konstitusi, yang difomulasikan dalam kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembenahan secara mendasar terhadap system Pendidikan Nasional merupakan conditiosine quainin yang harus dimulai dari tataran yang paling dasar visi hingga dengan implementasi dalam kurikulum. Pada tataran paling dasar, tujuan pendidikan untuk membentuk kepribadian insan Indonesia yang tercerahkan dan mempunyai tanggung jawab, merupakan substansinya. Dengan landasan visi ibarat ini, maka pendidikan tidak lagi hanya ditujukan untuk memproduksi insan bakir dan berkeahlian demi malayani keperluan pasar tenaga kerja insan yang di kuasai oleh kehendak untuk mengontrol, mengekploitasi, dan berkuasa, tetapi yang di pentingkan ialah pertumbuhannya insan berbudaya yang sanggup menghayati dan memahami kehidupan bersama, sebagai komunitas mengada (the community of being) yang saling terkait satu sama lain dan lantaran saling menjaga dan membuahkan mengeksploitasi.
Untuk mewujudkan visi semacam itu di perlukan proses pendidikan yang memakai pendekatan pendidikan demokratis. Bukan lagi proses searah one way communication. sebagaimana yang kita temukan diruang-ruang kelas mulai dari Taman Kanak-kanak hingga keuniversitas, proses berguru mengajar bukan lagi proses pencekokan murid/mahasiswa dengan aneka macam materi yang terkesan sangat normatif bahkan sacral, tapi marupakan proses dialektika antara para pelakunya, dengan mempersalahkan fenomena-fenomena yang hangat dalam masyarakat.
Akhirnya denga perombakan system pendidikan nasional itulah kita berharap bahwa, pendidikan akan menjadi factor utama dalam proses menjadi bangsa yang modern beradab serta tercerahkan.
B. Mensiasati Kekurangan Jam Pelajaran Agama Di Sekolah-sekolah
Salah satu kasus yang sering dikemukakan para pengamat pendidikan islam yaitu adanya kekurangan jam pelajaran untuk pengajaran agama islam yang disediakan di sekolah-sekolah umum ibarat SD, SMP, atau SMA. Masalah inilah yang sering di anggap sebagai penyebab utama timbulnya kekurangan para pelajaran dalam memahami, menghayati dan mengamalkan pedoman agama. Sebaagi akhir dari kekurangan ini, para pelajar tidak mempunyai bekal yang memadai untuk membentengi dirinya dari aneka macam efek negatif akhir globalisasi yang menerpa kehidupan . Banyak pelajar yang terlibat dalam perbuatan yang kurang terpuji ibarat tawuran, pencurian, penodongan, penyalah gunaan obat -obatan terlarang, dan sebagainya. Semua ini karna para pelajar kurangnya bekal pendidikan agama.
Untuk mengatasi permasalahn tersebut di atas, solusi yang ditawarkan antara lain dengan menambah jumlah jam pelajaran agama di sekolah dan dengan menambah waktu untuk memberikan perhatian, kasih sayang, bimbingan dan pengawasan dari kedua orang bau tanah di rumah. Disini akan saya beri solusi alternatif untuk menambah jam pelajaran Agama :
Merubah orientasi dan fokus pengajaran agama yang semula bersifat subjek matter oriented menjadi pengajaran agama yang berorientasi pada pengalaman dan pembentukan perilaku keagamaan melalui penyesuaian hidup sesuai dengan agama.
Dengan cara menambah jam pelajaran agama yang diberikan di luar jam pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Dalam kaitan ini berupa aktivitas ekstra kurikuler ibarat pesantren kilat, ROHIS dan lain sebagainya.
Meningkatkan perhatian dan kasih sayang serta bimbingan serta pengawasan yang di berikan oleh kedua orang bau tanah di rumah. Hal ini berdasarkan pada pemikiran bahwa bawah umur yang sedang dirumah tumbuh sampaumur dan belum membentuk perilaku keagamaannya sangat memerlukan pemberian dari kedua orang tua.
Dengan cara melaksanakan tradisi keislaman yang berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnahb yang disertai dengan penghayatan akan makna dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Pembinaan perilaku keagamaan tersebut sanggup pula dilakukan dengan memanfaatkan aneka macam mass media yang tersedia, ibarat radio, surat kabar, buku bacaan, televisi, dll. Di ketahui bahwa salah satu ciri di kala modern ini ialah tersedianya aneka macam media komunikasi dan info di samping memberikan aneka macam pilihan yang negatif juga pilihan yang positif.[5] Atau rujukan lain, dalam melaksanakan praktikum IPA, guru bisa memberikan perlunya kejujuran dan kesabaran dalam melaksanakan praktek, alasannya ialah tanpasemua itu hasil dari praktek tidak akan memuaskan bahkan mungkin gagal.[6]
C. Quantum Teaching Dalam Perspektif Pendidikan Islam
Ada keprihatinan yang perlu ditanggapi dan direspon secara serius di Negeri kita berkenaan dengan pendidikan. Tampaknya pendidkan belum dianggap sebagai salah satu faktor pokok penyebab terburuknya bangsa ini. Terbukti bahwa tudingan-tudingan sebagian besar pengamat, apalagi para politisi hanya diarahkan pada ekonomi dan politik. Pendidikan seolah bukan belahan pokok penyeba nyaris ambruknya negeri ini.
Realitas ini memperlihatkan kapasitas dan wawasan bangsa ini masih belum bisa berpikir jauh ke depan. Artinya kapasitas dan wawasan kita rnasih berkutat pada kondisi kekinian saja sehingga solusi dan pemecahan problem juga rnelulu bersifat teknis-pragmatis, tidak strategis jangka panjang. Memang solusi teknis-pragmaris sangat dibutuhkan, tetapi mestinya solusi tersebut tidak mengorbankan program-program strategis jangka panjang lantaran itu diharapkan keberanian untuk memutuskan prioritas dibidang pendidikan sehingga sektor-sektor yang lain mengalarni penghematan. Mestinya kita semua tidak takut untuk berpihak dan kita sama-sama mengikat pinggang demi rneningkatkan pendidikan.
Pendidikan merupakan jadwal strategis jangka panjang. Karena itu, kerja-kerja dan perbaikan serta peningkatan bidang pendidikan tidak bisa dijalankan secara reaktif, sarnbil kemudian dan sekenanya, melainkan mesti dcngan cara proaktif, intensif dan strategis.
Membicarakan pendidikan melibatkan banyak hal yang harus direnungkan sebab, pendidikan meliputi keseluruhan tingkah laris insan yang dilakukan demi memperoleh kesinambungan, pertahanan dan peningkatan hidup. Dalam Bahasa Agama, demi memperoleh ridlo atau perkenan Allah. Sehingga keseluruhan tingkah laris tersebut membentuk keutuhan insan berbudi luhur (berakhlaq karirnah), atas dasar iman kapada Tuhan dan tanggung jawab pribadi dihari kernudian.
Dalam hal pendidikan Islam, maka Affandi Mochtar menyatakan bahwa kebijaksanaan pengernbangan pendidikan Islam pada masa depan harus diorientasikan pada sasaran keunggulan mengingat tantangan kompetisi baik pada tingkat lokal maupun global yang semakin luas.[7] Gagasan ibarat ini akan semakin baik apabila juga diikuti dengan pola kebijaksanaan yang adil dan tidak diskrirninatif dengan memberikan peluang dan dukungan yang seimbang terhadap semua bentuk forum pendidikan yang berkembang di masyarakat.
Diantara hambatan besar yang dihadapi untuk rnenjadi forum pendidikan yang unggul dan berkualitas ialah rendahnya kualitas aktivitas berguru mengajar (KBM), Lebih khusus lagi disebabkan oleh rendahnya daya kreativitas. dan profesionalisme Guru Dalam pengelolaan kelas, termasuk bagaimana menyusun Langkah-langkah dalam proses pengajaran yang seharusnya. Misalnya guru belum terbebas dari penerapan metode Pelajaran yang masih terlalu mementingkan subject matter (seperti terlihat dalam Garis-garis besar jadwal pengajaran, GBPP, yang rigid) daripada siswa, dalam hal ini siswa sering merasa dipaksa untuk menguasai pengetahuan dan rnelahap info daripada Guru tanpa memberi peluang kepada para siswa untuk melaksanakan perenungan secara kritis. Pada gilirannya kondisi ibarat ini melahirkan proses belajar-mengajar rnenjadi satu arah. Guru memberikan aneka macam pelajaran dan info berdasarkan GBPP, sedang siswa dalam kondisi terpaksa harus menelan. dan rnenghafal secara mekanis apa-apa yang telah disampaikan oleh guru. Guru memberikan pernyataan-pernyataan, dan murid mendengarkan dengan patuh. Pendidikan menjadi sangat analog dengan aktivitas menabung, dimana guru menjadi penabung dan murid ialah celengannya.[8]
Metode pengajaran semacam ini menyebabkan para siswa menjadi tidak mempunyai keberanian untuk rnengemukakan pendapat, tidak kreatif dan mandiri, apalagi untuk berpikir inovatif dan problem solving, suasana berguru yang penuh keterpaksaan itu berdampak pada hilangnya upaya mengaktivasi potensi otak, sehingga potensi otak yang luar biasa itu belum pernah berhasil mengaktual, dan pada akibatnya menghipnotis kualitas lulusannya.
Dengan demikian sebuah metode yang lebih cocok bagi para siswa di masa kini ini harus ditemukan, untuk kentudian diterapkan. Apapun nama dan istilah metode tersebut tidak jadi soal, asalkan ia lebih menekankan tugas aktif para siswa. Guru tentu saja tetap dianggap lebih berpengalaman dan lebih banyak pengetahuannya, tetapi ia tidak pemegang satu-satunya kebenaran. Sebab, kebenaran bisa saja tiba dari para siswa.
Sehubungan dengan kasus ini dan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sampaumur ini telah ditemukan rancangan system pengajaran yang dikenal dengan istilah Quantum Teaching, yaitu rancangan system pengajaran yang menggairahkan dan bertumpu pada prinsip-prinsip dan teknik-teknik Quantum Learning di ruang-ruang kelas di sekolah. Dengan kata lain system pengajaran ini dirancang untuk mempraktekkan secara terstruktur dan terarah metode Quantum Learning di ruang kelas. Systern pengajaran ini diformulasikan untuk mencetak siswa-siswa yang tak hanya mempunyai keterampilan akademis, tetapi juga mempunyai keterampilan. hidup (life skill) sebuah keterampilan penting yang penggunaannya tidak dibatasi oleh dinding-dinding ruangan kelas, melainkan oleh langit, udara, maritim dan bumi.[9]
Quantum Teaching merangkaikan hal-hal yang dianggap terbaik rnenjadi sebuah paket multisensori, multikecerdasan, dan kornpatibel dengan otak, yang pada akibatnya akan melejitkan kemampuan guru untuk mengilhami dan kemampuan murid untuk berprestasi.
Sebuah pendekatan berguru yang segar, mengalir, praktis, dan gampang diterapkan, Quantum Teaching memberikan suatu sintesis dari cara-cara gres untuk memaksimalkan dampak perjuangan pengajaran melalui perkembangan relasi penggubahan belajar, dan penyarnpaian kurikulum. Metodologi ini dibangun berdasarkan pengalaman delapan belas tahun dan penelitian terhadap 25.000 siswa dan sinergi pendapat dari .ratusan guru.
Quanturn Teaching meliputi petunjuk spesifik untuk rnenciptakan lingkungan berguru yang efektif, merancang kurikulum, memberikan isi, dan memudahkan proses belajar.
Quantum Teaching merupakan karya Bobbi De Porter, Kepala Learning Forum, sebuah perusahaan yang berbasis di Oceanside, California. Dia seorang profesional di bidang pendidikan dan mempunyai daya kreatifitas yang sangat mengagurn.
Dalarn Islam, setiap pekerjaan termasuk pekerjaan guru harus dilakukan secara profesional, dalam arti dilakukan secara benar. Itu hanya rnungkin dilakukan oleh orang yang ahli. Karena bila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak andal maka tunggulah kehancurannya. Kehancuran di sini sanggup diartikan secara terbatas dan bahkan juga hingga berantai dan berakibat terjadinya kehancuran secara luas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan Islam dan politik dimaksudkan sebagai suatu proses transformasi nilai-nilai sosial politik melaui institusi pendidikan Islam. Kemudian juga pendidikan Islam dan politik dimaksudkan mendeskripsikan perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam berdasarkan sejarah perpolitikan di Indonesia pada masa pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Tarnsformasi nilai-nilai politik melalui institusi pendidikan dilakukan dengan melakukanintervensi terhadap kebijakan pendidikan Islam di Indonesia, sementara ada beberapa tugas dan fungsi pendidikan Islam dalam Politik diantaranya ialah Pendidikan Islam sebagai sarana untuk kepentingan politik penguasa, Pendidikan Islam sebagai wahana kepentingan keagamaan dan sarana mempertahankan identitas ke-Islaman, Pendidikan Islam sebagai sarana melahirkan warga Negara yang baik, Pendidikan Islam sebagai wahana melahirkan elit-elit bangsa, Pendidikan Islam sebagai wahana untu melahirkan high politik (politik tingkat tinggi).
Kemudian juga melalui politik kebijakan-kebijakan yang mengarah pada upaya pengikatan kulitas pendidikan sanggup dilakukan dengan ikut serta dalam system perpolitikan atau paling tidak berada dalam bulat kebijakan baik berskala local maupun nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar Buchori “Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia”, dalam Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal.1
James.S.Colemanditulis oleh Supriyanto dalam H. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelejensia Dan Perilaku Politik, Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993, hlm. 192
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Yayasan Risalah, Jakarta, 1983, hlm. 6-7
Tayar Yusuf, Metodologi Pengajaran Agama Dan Bahasa Arab , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 73.
Rahim, Husni, 2001, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia, Cet. I, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, h. 11
Sidi, Djati Indra, 2001, Menuju Masyarakat Belajar, Cet. I, Jakarta : Paramadina, h. 27
Porter, De, Bobbi, 1999, Quantum Learning, Cet. V, Bandung : Kaifa
[1] Mochtar Buchori “Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia”, dalam Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal.19
[2] James.S.Colemanditulis oleh Supriyanto dalam H. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001
[3] M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelejensia Dan Perilaku Politik, Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993, hlm. 192
[4]Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Yayasan Risalah, Jakarta, 1983, hlm. 6-7
Oleh Agus Yulianto pada Rabu, 16 Maret 2011
[6] Tayar Yusuf, Metodologi Pengajaran Agama Dan Bahasa Arab , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 73.
[7] Rahim, Husni, 2001, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia, Cet. I, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, h. 11
[8] Sidi, Djati Indra, 2001, Menuju Masyarakat Belajar, Cet. I, Jakarta : Paramadina, h. 27
[9]Porter, De, Bobbi, 1999, Quantum Learning, Cet. V, Bandung : Kaifa
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pendidikan nasional tak sanggup dilepas dari konteks politik yang sedang berlaku di Negara kita, lantaran kerangka paradigma dan konsep- konsep serta pengewantahanya mempunyai latar belakang kesejahteraan yang berbeda dengan Negara- Negara yang system pendidikan nasionalnya tidak di campur tangani oleh pemerintah atau kalaupun ada itu dalam derajat yang sangat rendah.
Sejak lahir dan berkembangnya pergerakan nasional menuju Indonesia merdeka pendidikan menjadi tulang punggungnya yang utama, lantaran dari sanalah proses penyadaran masyarakat akan hak- hak dan kewajibanya sebagai insan dan masyarakat pribumi ditanamkan.
Dari judul yang ada yaitu pendidikan Islam dan politik intinya sanggup difahami dengan dua pengertian, Pertama, pendidikan Islam dan politik dimaksudkan suatu proses transformasi nilai-nilai sosial politik melaui institusi pendidikan Islam. Kedua, pendidikan Islam dan politik dimaksudkan mendeskripsikan perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam berdasarkan sejarah perpolitikan di Indonesia pada masa pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam goresan pena ini, penulis mencoba focus sesuai dengan pengertian pertama yakni melihat terjadinya proses transformasi nilai-nilai politik melalui institusi pendidikan Islam. Pembahsan ini akan banyak memakai pendekatan aspek historis, dengan mencoba menampilkan beberapa dilema yaitu relasi antara pendidikan Islam dan politik, implikasi sosialisasi politik dalam system pendidikan dan bagaimana pasrtisipasi mahasiswa dalam aktifitas politik.
B. Rumusan Masalah
1. Politik terhadap pendidikan Islam di Indonesia
2. Mensiasati kekurangan jam pelajaran agama di sekolah-sekolah
3. Quantum teaching dalam perspektif pendidikan islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Politik terhadap pendidikan Islam di Indonesia
Study kasus ini sangat nyata ketika pemerintah orde gres melanggengkan kekuasaanya selama 32 tahun, intervensi pemerintah melaui penyajian subjek tertentu dalam kurikulum (seperti mata pelajaran/kuliah pancasila); indoktrinasi atau penataran (seperti penataran P4), ialah bukti nyata bahwa pendidikan ialah salah satu sarana kepentingan politik penguasa.
Mochtar Buchori[1] menyatakan dalam pandanganya bahwa generasi politik yang mengatur kehidupan bangsa selama periode orde gres tumbuh pada waktu kondisi pendidikan kita sudah mulai menurun. Ekspansi system pendidikan yang berlangsung sangat cepat pada waktu itu, tanpa diketehui dan dikehendaki, telah merosotkan mutu sekolah-sekolah. Kemerosotan ini terjadi, lantaran elit pendidikan yang sangat kecil yang dimiliki dikala itu, harus direntang panjang-panjang untuk memungkinkan perluasan system yang cepat tersebut.
Pada masa Orde Baru birokrasi sebagai sarana efektif untuk melaksanakan intervensi kepada semua aspek kehidupan bernegara. Eksistensi penguasa concern utama bagi pemerintah, sehingga intervensi yang dilakukan oleh penguasa terhadap semua aspek kehidupan bernegara sebagai instrumen penting untuk mendorong kelestarian dan kelangsungan penguasa. Akibat dari system sentralis ini mebuat perilaku apatis dikalangan cendikiawan dan semua lapisan masyarakat untuk berfikir secara demokratris, kristis, dan kreatif.
Sistem pemerintahan Orde Baru ini, menghalangi munculnya gerakan oposisi sebagai social control terhadap pemerintahan atau penguasa. Oposisi dalam suatu Negara yang demokratis menjadi suatu keharusan poltik yang harus di tempatkan pada posisi yang penting. Di Indonesia ini di gerakan oposisi di pandang oleh penguasa sebagai pendobrak terhadap eksistensi pengauasa, sehingga munculnya oposisi selalu tidak sepi oleh kecurigaan pengausa, di dukung oleh otoritarian.
Berbeda dengan pernyataan sebelumnya kasus yang sama terjadi dimana masih terdapatnya pemimpin kita baik dalam skala nasional maupun tempat menjadikan pendidikan (apalagi pendidikan Islam) sebagai komoditas politik, sehingga “tema-tema” pendidikan kadang-ladang menjadi slogan politis dalam upaya melanggengkan kekuasaanya, entah dalam kasus masih dalam pemerintahanya maupun ketika menjelang Pilkada.
Sering dilupakan oleh kalangan pendidik bahwa salah satu aspek penting dalam pendidikan Islam ialah aspek politik. Dalam aspek ini di jelaskan relasi antara masyarakat dengan pemerintahan, relasi antar Negara, relasi antarorganisasi, dan sebagainya. Atas dasar ini, antara pendidikan islam dengan politik punya relasi erat yang sulit untuk dipisahkan.
Dalam sejarah, relasi antara pendidikan dengan politik bukanlah suatu hal yang baru. Sejak zaman Plato dan Aristoteles, para filsuf dan pemikir politik telah memberikan perhatian yang cukup intens terhadap dilema politik. Kenyataan ini contohnya ditegaskan dengan ungkapan “As is the state, so is the school ”, atau “What you want is the state, tou must put into the school “. Selain terdapat teori yang dominant dalam demokrasi yang mengasumsikan bahwa pendidikan ialah sebuah relasi bagi suatu tatanan demokratis[2].
Dalam sejarah Islam misalnya, relasi antara pendidikan dengan politik sanggup dilacak semenjak masa- masa pertumbuhan paling subur dalam lembaga- forum pendidikan Islam. Sepanjang sejarah terdapat relasi yang amat erat antara politik dengan pendidikan. Kenyataan ini sanggup dilihat dari pendirian beberapa forum pendidikan Islam di Timur Tengah yang justru disponsori oleh penguasa politik. Contoh yang paling populer ialah madrasah Nizhamiyah di Bagdad yang didirikan sekitar 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk, Nizham al- Mulk. Madrasah ini populer dengan munculnya para pemikir besar. Misalnya, Al- Ghozali sempat mentransfer pengetahuanya di forum ini, yakni menjadi guru.
Di Indonesia, munculnya madrasah merupakan konsekuensi dari proses modernisasi surau yang cenderung di sebabkan oleh terjadinya tarik menarik antara system pendidikan tradisional dengan munculnya forum pendidikan modern dari Barat. Namun, disadari oleh Ki Hajar Dewantara bahwa tugas ulama telah melahirkan system budaya kerakyatan yang bercorak kemasyarakatan dan politik, disamping spiritual. Hal ini terbukti bayangkanya para alumni pesantren yang melanjutkan studi ke universitas terkemuka baik di dalammupun di luar negeri[3].
Madrasah di Indonesia yang dikelola oleh suatu organisasi social kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh orientasi organisasinya. Madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah lebih bersifat ala Muhammadiyah. Demikian halnya denga madrasah yang dikelola oleh NU orientasi pendidikanya lebih menitik beratkan pada kemurnian mazhab.
Konsekuensi dari keragaman orientasi pendidikan tersebut ialah munculnya para tokoh formal dan informal yng mempunyai pemikiran dan pergerakan politik yang berbeda[4], ada yang berfikir lebih modernis, fundamentalis, tradisionalis dan nasionalis. Meski prilaku politik seorang tokoh semata- mata tidak hany di tentukan oleh institusi pendidikan tertentu dan masih ada factor lain (lingkungan, sosiokultural, potensi berfikir, dan sebagainya), efek suatu institusi pendidikan cukup berarti dalam membentuk aksara dan kepribadian seseorang untuk mempunyai paradigma berfikiryang berbeda.
Sejarah GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) juga amat menarik untuk dijadikan sebagai sample mengenai relasi signifikan antara pendidikan Islam dan politik. Sebab pada kasus ini politik menjadi mediasi untuk menumbuh kembangkan institusi pendidikan Islam. GUPPI yang semenjak awal berdirinya merupakan wadah organisasi Islam yang terbentuk sebagai perilaku peduli para tokoh muslim sehabis melihat tanda-tanda besarnya partisipasi politik para tokoh – tokoh muslim yang berakibat kurangnya perhatian mereka terhadap pendidikan Islam.
Namun dalam perjalanan berikutnya, seni administrasi untuk meningkatkan perkembangan dan kualitas pendidikan Islam, para tokoh- tokoh penggagas GUPPI lebih menentukan untuk bergabung dan berafiliai pada partai politik tertentu, dengan harapan bahwa melalui jalur ini kepentingan GUPPI untuk mengembangakan dan meningkatkan mutu pendidikan sanggup terpenuhi. Sayangnya, tugas politik yang dimainkan oleh para penggagas GUPPI di partai Golkar kurang maksimal, akibatnya cita- cita dan harapan yang di capai untuk menyalurkan kepentingan umat Islam dalam meningkatkan pendidikan Islam kurang memenuhi harapan.
Terlepas dari seluruh kegagalan tersebut, penulis hendak menyampaikan bahwa keterlibatan dalam berpolitik sanggup menjadikan mediasi untuk mnyalurkan kepentingannya secara individual maupun organisasi.
Secara umum bahwa pendidikan (Dalam konteks politik Indonesia) pada masa orba terang hanya berorietasi mengabdi kepada kepentingan Negara dan penguasa. Penciptaan insan penganalis sebagimana di canangkan DR. Daud Yusuf, dalam prakteknya justru merupakan proses pengebirian kebebasan akademik dan kreativitas mahasiswa serta melahirkan para birokrat kampus. Sehingga hasilnya ialah generasi yang apatis dengan lingkungan sekitar namun sangat self- centered. Mereka terang bukan insan yang dicita- citakan Muhammad Hatta dan Djarir dimana pencerahan, pemahaman, dan penyadaran akan hak dan kewajibannya sebagi anak bangsamenjadi landasan kiprahnya.
Reformasi yang telah bergulir, semestinya sanggup merintis jalan bagi pemulihan kembali demokratisasi yang selama beberapa dasawarsa mengalami diskontinuitas. Termasuk dalam hal ini ialah upaya mengembalika fungsi dan tugas pendidikan sebagiamana dicita- citakan oleh para pendiri bangsa yang termaksud dalam konstitusi, yang difomulasikan dalam kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembenahan secara mendasar terhadap system Pendidikan Nasional merupakan conditiosine quainin yang harus dimulai dari tataran yang paling dasar visi hingga dengan implementasi dalam kurikulum. Pada tataran paling dasar, tujuan pendidikan untuk membentuk kepribadian insan Indonesia yang tercerahkan dan mempunyai tanggung jawab, merupakan substansinya. Dengan landasan visi ibarat ini, maka pendidikan tidak lagi hanya ditujukan untuk memproduksi insan bakir dan berkeahlian demi malayani keperluan pasar tenaga kerja insan yang di kuasai oleh kehendak untuk mengontrol, mengekploitasi, dan berkuasa, tetapi yang di pentingkan ialah pertumbuhannya insan berbudaya yang sanggup menghayati dan memahami kehidupan bersama, sebagai komunitas mengada (the community of being) yang saling terkait satu sama lain dan lantaran saling menjaga dan membuahkan mengeksploitasi.
Untuk mewujudkan visi semacam itu di perlukan proses pendidikan yang memakai pendekatan pendidikan demokratis. Bukan lagi proses searah one way communication. sebagaimana yang kita temukan diruang-ruang kelas mulai dari Taman Kanak-kanak hingga keuniversitas, proses berguru mengajar bukan lagi proses pencekokan murid/mahasiswa dengan aneka macam materi yang terkesan sangat normatif bahkan sacral, tapi marupakan proses dialektika antara para pelakunya, dengan mempersalahkan fenomena-fenomena yang hangat dalam masyarakat.
Akhirnya denga perombakan system pendidikan nasional itulah kita berharap bahwa, pendidikan akan menjadi factor utama dalam proses menjadi bangsa yang modern beradab serta tercerahkan.
B. Mensiasati Kekurangan Jam Pelajaran Agama Di Sekolah-sekolah
Salah satu kasus yang sering dikemukakan para pengamat pendidikan islam yaitu adanya kekurangan jam pelajaran untuk pengajaran agama islam yang disediakan di sekolah-sekolah umum ibarat SD, SMP, atau SMA. Masalah inilah yang sering di anggap sebagai penyebab utama timbulnya kekurangan para pelajaran dalam memahami, menghayati dan mengamalkan pedoman agama. Sebaagi akhir dari kekurangan ini, para pelajar tidak mempunyai bekal yang memadai untuk membentengi dirinya dari aneka macam efek negatif akhir globalisasi yang menerpa kehidupan . Banyak pelajar yang terlibat dalam perbuatan yang kurang terpuji ibarat tawuran, pencurian, penodongan, penyalah gunaan obat -obatan terlarang, dan sebagainya. Semua ini karna para pelajar kurangnya bekal pendidikan agama.
Untuk mengatasi permasalahn tersebut di atas, solusi yang ditawarkan antara lain dengan menambah jumlah jam pelajaran agama di sekolah dan dengan menambah waktu untuk memberikan perhatian, kasih sayang, bimbingan dan pengawasan dari kedua orang bau tanah di rumah. Disini akan saya beri solusi alternatif untuk menambah jam pelajaran Agama :
Merubah orientasi dan fokus pengajaran agama yang semula bersifat subjek matter oriented menjadi pengajaran agama yang berorientasi pada pengalaman dan pembentukan perilaku keagamaan melalui penyesuaian hidup sesuai dengan agama.
Dengan cara menambah jam pelajaran agama yang diberikan di luar jam pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Dalam kaitan ini berupa aktivitas ekstra kurikuler ibarat pesantren kilat, ROHIS dan lain sebagainya.
Meningkatkan perhatian dan kasih sayang serta bimbingan serta pengawasan yang di berikan oleh kedua orang bau tanah di rumah. Hal ini berdasarkan pada pemikiran bahwa bawah umur yang sedang dirumah tumbuh sampaumur dan belum membentuk perilaku keagamaannya sangat memerlukan pemberian dari kedua orang tua.
Dengan cara melaksanakan tradisi keislaman yang berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnahb yang disertai dengan penghayatan akan makna dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Pembinaan perilaku keagamaan tersebut sanggup pula dilakukan dengan memanfaatkan aneka macam mass media yang tersedia, ibarat radio, surat kabar, buku bacaan, televisi, dll. Di ketahui bahwa salah satu ciri di kala modern ini ialah tersedianya aneka macam media komunikasi dan info di samping memberikan aneka macam pilihan yang negatif juga pilihan yang positif.[5] Atau rujukan lain, dalam melaksanakan praktikum IPA, guru bisa memberikan perlunya kejujuran dan kesabaran dalam melaksanakan praktek, alasannya ialah tanpasemua itu hasil dari praktek tidak akan memuaskan bahkan mungkin gagal.[6]
C. Quantum Teaching Dalam Perspektif Pendidikan Islam
Ada keprihatinan yang perlu ditanggapi dan direspon secara serius di Negeri kita berkenaan dengan pendidikan. Tampaknya pendidkan belum dianggap sebagai salah satu faktor pokok penyebab terburuknya bangsa ini. Terbukti bahwa tudingan-tudingan sebagian besar pengamat, apalagi para politisi hanya diarahkan pada ekonomi dan politik. Pendidikan seolah bukan belahan pokok penyeba nyaris ambruknya negeri ini.
Realitas ini memperlihatkan kapasitas dan wawasan bangsa ini masih belum bisa berpikir jauh ke depan. Artinya kapasitas dan wawasan kita rnasih berkutat pada kondisi kekinian saja sehingga solusi dan pemecahan problem juga rnelulu bersifat teknis-pragmatis, tidak strategis jangka panjang. Memang solusi teknis-pragmaris sangat dibutuhkan, tetapi mestinya solusi tersebut tidak mengorbankan program-program strategis jangka panjang lantaran itu diharapkan keberanian untuk memutuskan prioritas dibidang pendidikan sehingga sektor-sektor yang lain mengalarni penghematan. Mestinya kita semua tidak takut untuk berpihak dan kita sama-sama mengikat pinggang demi rneningkatkan pendidikan.
Pendidikan merupakan jadwal strategis jangka panjang. Karena itu, kerja-kerja dan perbaikan serta peningkatan bidang pendidikan tidak bisa dijalankan secara reaktif, sarnbil kemudian dan sekenanya, melainkan mesti dcngan cara proaktif, intensif dan strategis.
Membicarakan pendidikan melibatkan banyak hal yang harus direnungkan sebab, pendidikan meliputi keseluruhan tingkah laris insan yang dilakukan demi memperoleh kesinambungan, pertahanan dan peningkatan hidup. Dalam Bahasa Agama, demi memperoleh ridlo atau perkenan Allah. Sehingga keseluruhan tingkah laris tersebut membentuk keutuhan insan berbudi luhur (berakhlaq karirnah), atas dasar iman kapada Tuhan dan tanggung jawab pribadi dihari kernudian.
Dalam hal pendidikan Islam, maka Affandi Mochtar menyatakan bahwa kebijaksanaan pengernbangan pendidikan Islam pada masa depan harus diorientasikan pada sasaran keunggulan mengingat tantangan kompetisi baik pada tingkat lokal maupun global yang semakin luas.[7] Gagasan ibarat ini akan semakin baik apabila juga diikuti dengan pola kebijaksanaan yang adil dan tidak diskrirninatif dengan memberikan peluang dan dukungan yang seimbang terhadap semua bentuk forum pendidikan yang berkembang di masyarakat.
Diantara hambatan besar yang dihadapi untuk rnenjadi forum pendidikan yang unggul dan berkualitas ialah rendahnya kualitas aktivitas berguru mengajar (KBM), Lebih khusus lagi disebabkan oleh rendahnya daya kreativitas. dan profesionalisme Guru Dalam pengelolaan kelas, termasuk bagaimana menyusun Langkah-langkah dalam proses pengajaran yang seharusnya. Misalnya guru belum terbebas dari penerapan metode Pelajaran yang masih terlalu mementingkan subject matter (seperti terlihat dalam Garis-garis besar jadwal pengajaran, GBPP, yang rigid) daripada siswa, dalam hal ini siswa sering merasa dipaksa untuk menguasai pengetahuan dan rnelahap info daripada Guru tanpa memberi peluang kepada para siswa untuk melaksanakan perenungan secara kritis. Pada gilirannya kondisi ibarat ini melahirkan proses belajar-mengajar rnenjadi satu arah. Guru memberikan aneka macam pelajaran dan info berdasarkan GBPP, sedang siswa dalam kondisi terpaksa harus menelan. dan rnenghafal secara mekanis apa-apa yang telah disampaikan oleh guru. Guru memberikan pernyataan-pernyataan, dan murid mendengarkan dengan patuh. Pendidikan menjadi sangat analog dengan aktivitas menabung, dimana guru menjadi penabung dan murid ialah celengannya.[8]
Metode pengajaran semacam ini menyebabkan para siswa menjadi tidak mempunyai keberanian untuk rnengemukakan pendapat, tidak kreatif dan mandiri, apalagi untuk berpikir inovatif dan problem solving, suasana berguru yang penuh keterpaksaan itu berdampak pada hilangnya upaya mengaktivasi potensi otak, sehingga potensi otak yang luar biasa itu belum pernah berhasil mengaktual, dan pada akibatnya menghipnotis kualitas lulusannya.
Dengan demikian sebuah metode yang lebih cocok bagi para siswa di masa kini ini harus ditemukan, untuk kentudian diterapkan. Apapun nama dan istilah metode tersebut tidak jadi soal, asalkan ia lebih menekankan tugas aktif para siswa. Guru tentu saja tetap dianggap lebih berpengalaman dan lebih banyak pengetahuannya, tetapi ia tidak pemegang satu-satunya kebenaran. Sebab, kebenaran bisa saja tiba dari para siswa.
Sehubungan dengan kasus ini dan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sampaumur ini telah ditemukan rancangan system pengajaran yang dikenal dengan istilah Quantum Teaching, yaitu rancangan system pengajaran yang menggairahkan dan bertumpu pada prinsip-prinsip dan teknik-teknik Quantum Learning di ruang-ruang kelas di sekolah. Dengan kata lain system pengajaran ini dirancang untuk mempraktekkan secara terstruktur dan terarah metode Quantum Learning di ruang kelas. Systern pengajaran ini diformulasikan untuk mencetak siswa-siswa yang tak hanya mempunyai keterampilan akademis, tetapi juga mempunyai keterampilan. hidup (life skill) sebuah keterampilan penting yang penggunaannya tidak dibatasi oleh dinding-dinding ruangan kelas, melainkan oleh langit, udara, maritim dan bumi.[9]
Quantum Teaching merangkaikan hal-hal yang dianggap terbaik rnenjadi sebuah paket multisensori, multikecerdasan, dan kornpatibel dengan otak, yang pada akibatnya akan melejitkan kemampuan guru untuk mengilhami dan kemampuan murid untuk berprestasi.
Sebuah pendekatan berguru yang segar, mengalir, praktis, dan gampang diterapkan, Quantum Teaching memberikan suatu sintesis dari cara-cara gres untuk memaksimalkan dampak perjuangan pengajaran melalui perkembangan relasi penggubahan belajar, dan penyarnpaian kurikulum. Metodologi ini dibangun berdasarkan pengalaman delapan belas tahun dan penelitian terhadap 25.000 siswa dan sinergi pendapat dari .ratusan guru.
Quanturn Teaching meliputi petunjuk spesifik untuk rnenciptakan lingkungan berguru yang efektif, merancang kurikulum, memberikan isi, dan memudahkan proses belajar.
Quantum Teaching merupakan karya Bobbi De Porter, Kepala Learning Forum, sebuah perusahaan yang berbasis di Oceanside, California. Dia seorang profesional di bidang pendidikan dan mempunyai daya kreatifitas yang sangat mengagurn.
Dalarn Islam, setiap pekerjaan termasuk pekerjaan guru harus dilakukan secara profesional, dalam arti dilakukan secara benar. Itu hanya rnungkin dilakukan oleh orang yang ahli. Karena bila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak andal maka tunggulah kehancurannya. Kehancuran di sini sanggup diartikan secara terbatas dan bahkan juga hingga berantai dan berakibat terjadinya kehancuran secara luas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan Islam dan politik dimaksudkan sebagai suatu proses transformasi nilai-nilai sosial politik melaui institusi pendidikan Islam. Kemudian juga pendidikan Islam dan politik dimaksudkan mendeskripsikan perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam berdasarkan sejarah perpolitikan di Indonesia pada masa pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Tarnsformasi nilai-nilai politik melalui institusi pendidikan dilakukan dengan melakukanintervensi terhadap kebijakan pendidikan Islam di Indonesia, sementara ada beberapa tugas dan fungsi pendidikan Islam dalam Politik diantaranya ialah Pendidikan Islam sebagai sarana untuk kepentingan politik penguasa, Pendidikan Islam sebagai wahana kepentingan keagamaan dan sarana mempertahankan identitas ke-Islaman, Pendidikan Islam sebagai sarana melahirkan warga Negara yang baik, Pendidikan Islam sebagai wahana melahirkan elit-elit bangsa, Pendidikan Islam sebagai wahana untu melahirkan high politik (politik tingkat tinggi).
Kemudian juga melalui politik kebijakan-kebijakan yang mengarah pada upaya pengikatan kulitas pendidikan sanggup dilakukan dengan ikut serta dalam system perpolitikan atau paling tidak berada dalam bulat kebijakan baik berskala local maupun nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar Buchori “Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia”, dalam Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal.1
James.S.Colemanditulis oleh Supriyanto dalam H. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelejensia Dan Perilaku Politik, Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993, hlm. 192
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Yayasan Risalah, Jakarta, 1983, hlm. 6-7
Tayar Yusuf, Metodologi Pengajaran Agama Dan Bahasa Arab , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 73.
Rahim, Husni, 2001, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia, Cet. I, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, h. 11
Sidi, Djati Indra, 2001, Menuju Masyarakat Belajar, Cet. I, Jakarta : Paramadina, h. 27
Porter, De, Bobbi, 1999, Quantum Learning, Cet. V, Bandung : Kaifa
[1] Mochtar Buchori “Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia”, dalam Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal.19
[2] James.S.Colemanditulis oleh Supriyanto dalam H. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001
[3] M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelejensia Dan Perilaku Politik, Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993, hlm. 192
[4]Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Yayasan Risalah, Jakarta, 1983, hlm. 6-7
Oleh Agus Yulianto pada Rabu, 16 Maret 2011
[6] Tayar Yusuf, Metodologi Pengajaran Agama Dan Bahasa Arab , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 73.
[7] Rahim, Husni, 2001, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia, Cet. I, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, h. 11
[8] Sidi, Djati Indra, 2001, Menuju Masyarakat Belajar, Cet. I, Jakarta : Paramadina, h. 27
[9]Porter, De, Bobbi, 1999, Quantum Learning, Cet. V, Bandung : Kaifa
Comments
Post a Comment